2.5/5
Adventure
Animation
Blockbuster
Box Office
coming of age
Family
Friendship
Hollywood
Pop-Corn Movie
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Good Dinosaur
Setelah musim panas lalu menuai
sukses besar, lewat Inside Out, baik secara kritik maupun komersial, musim dingin ini Disney-Pixar mempersembahkan animasi
keduanya di tahun 2015. Ini memang bukan kebiasaan mereka merilis lebih dari 1
judul dalam 1 tahun. Maklum, The Good
Dinosaur (TGD) ini rencana awalnya dirilis musim panas 2014. Namun TGD
diterpa cukup banyak masalah, yang paling krusial adalah ‘dipecat’-nya
sutradara Bob Peterson (Up!) dan
beberapa kru lain yang konon disebabkan oleh perbedaan kreatif. Kursi sutradara
pun berpindah ke Peter Sohn (short animation Partly Cloudy yang jadi animasi pembuka Up!). Buntutnya, Finding Dory
pun terdorong mundur hingga musim panas 2016 karena rencana tanggal rilis
awalnya ditempati oleh TGD. Sebagai studio animasi yang sudah punya reputasi
animasi-animasi dengan cerita unik, penuh makna, dan storytelling yang bisa
dinikmati anak-anak maupun dewasa (meski seringkali tema-temanya lebih bisa
dinikmati penonton dewasa ketimbang anak-anak), berbagai masalah yang terjadi di
balik layar ini diharapkan tidak berimbas pada produk akhir. Well, history
tells that issues that much often affect the final result. Toh tema dinosaurus
bukan hal yang baru lagi, termasuk Walt Disney sendiri yang pernah membuat
gabungan animasi-live action Dinosaur
di tahun 2000 yang meski mengumpulkan ratusan juta dollar, namun terhitung tak
terlalu baik, mengingat budgetnya yang tertinggi di tahun 2000.
Secara unik, TGD bercerita dari
sudut pandang seekor Apatosaurus bernama Arlo yang merasa minder karena tak
sehebat anggota keluarga yang lain; ayah Henry, ibunda Ida, serta kedua
kakaknya, Libby dan Buck. Berniat memberi semangat putra bungsunya dalam
menemukan bakat terbaiknya, Henry mengajak Arlo ‘bertualang’. Siapa sangka
petualangan ini berbuntut petaka. Arlo terpisah dari sang ayah dan terdampar di
tanah yang tak ia kenal. Tak sendiri, Arlo ditemani Spot, seorang manusia gua
yang awalnya menjadi musuh Arlo, namun akhirnya menjadi teman perjalanan
senasib sepenanggungan untuk mencari jalan pulang. Tentu saja alam yang liar
tak membuat perjalanan mereka menjadi mulus. Mulai kawanan Pterodactyl ganas,
hingga Velociraptor yang tak kalah buasnya. Arlo dan Spot bahu-membahu untuk
saling melindungi dan above all, saling menemukan jati diri.
Membaca plot di atas, lantas
membandingkan ide-ide cerita film Pixar sebelumnya, akan terasa sangat generik.
Saya pribadi teringat dengan salah satu animasi Disney klasik, The Lion King (TLK). Mulai tema
petualangan mencari jati diri (coming of age) hingga trauma kehilangan ayah. Uniknya, kali ini
mereka meletakkan plot itu dalam setting alternate universe, ketika tak semua
dinosaurus benar-benar punah setelah hujan meteor yang selama ini dituding
sebagai penyebab punahnya dinosaurus di muka bumi. Tak hanya itu, di sini
karakter dinosaurus dibuat bisa berbicara, sementara manusia gua justru tak
mengenal bahasa. Tak ada masalah sebenarnya, meski terkadang terasa
inappropriate bagi saya. Namun di mata saya, isu terbesar TGD adalah nuansa
keseluruhan film yang cenderung gelap dan depresif. TLK juga punya momen-momen
gelapnya, namun diseimbangkan dengan kehadiran karakter Pumbaa-Timon yang memberi cukup banyak sense of humor dan membuat nuansa sedikit lebih ceria. Apalagi kemasan musikal membuatnya jadi mengasyikkan untuk ditonton. TGD tak punya itu semua. So sejak awal kita dibuat depresi
dengan ‘tekanan sosial’ yang dirasakan oleh Arlo. Perjalanan yang dilaluinya
pun terasa semakin gelap dan depresif. Hubungan persahabatan yang dijalin
dengan Spot memang dihadirkan lewat beberapa adegan manis, tapi sama sekali tak
berhasil memberi warna lebih pada nuansa kelamnya. Ini belum lagi ditambah
kehadiran Thunderclap, Downpour, dan Coldfront, trio Pterodactyl dan kawanan
Velociraptor yang ganas luar biasa. Saya sebagai penonton yang dewasa saja
merasa semakin stress dengan kehadiran villain-villain ini. Bisa dibayangkan
bagaimana efeknya pada anak-anak. Tak heran jika Anda akan selalu menemukan
penonton-penonton cilik yang menangis keras (bukan karena terharu, tapi karena
ketakutan) di tiap show-nya. Belum lagi ternyata TGD menghadirkan adegan-adegan
yang terlampau mengerikan untuk menggambarkan kerasnya kehidupan pra sejarah.
Speaking of inappropriate scenes, TGD juga menampilkan cukup banyak violence,
ancaman kematian, sampai flying (iya, dalam arti teler, bukan harafiah!). Oh
yes, I know some people will say, film animasi kan bukan cuma konsumsi
anak-anak, tapi orang dewasa juga. But remember this, dengan desain
karakter-karakter dan kemasan seperti ini, jelas akan lebih menarik perhatian
anak-anak. Orang tua pun akan dengan mudah memilihkan film ini untuk ditonton
anak-anaknya. So, sengaja menampilkan adegan-adegan tak layak dan berlebihan
seperti ini untuk film animasi yang seharusnya family friendly, apalagi dari
Pixar, membuat saya mengerutkan kening. What the hell has happened to Pixar? Even all Jurassic Park movies were still less vicious than this.
Okay, let’s leave those
inappropriate elements for a moment. Let’s take a look at another aspects. Tak banyak part
yang menunjukkan perkembangan hubungan antara Arlo dan Spot, sehingga susah
bagi saya untuk merasakan emosi dari keduanya. Well, jika Anda mudah dibuat
tersentuh oleh kasus kehilangan keluarga, mungkin masih bisa berhasil. Saya
pernah kehilangan anggota keluarga, namun yang ditampilkan di sini sama sekali
tak berhasil menggerakkan emosi saya. Satu-satunya cara untuk menghadirkan
keseruan petualangan pun lewat kehadiran para villain, yaitu Pterodactyl dan
Velociraptor. Namun apakah kehadiran mereka berhasil membuat ceritanya jadi
lebih menarik? Well, belum seminggu saya menonton film ini, saya sudah tak
ingat lagi nama masing-masing karakter mereka. Ditambah desain karakter yang
sama sekali tak memorable dan tergolong generik untuk karakter dinosaurus.
Kehadiran mereka pun seperti sekedar ada untuk menghalang-halangi tujuan
karakter utama. Tanpa kedalaman karakter lebih yang seharusnya bisa membuat
karakternya jadi lebih memorable. In short, semua kejadian yang ada di layar
seperti berjalan begitu saja, tanpa memberikan rasa apa-apa selain gelap,
pedih, dan depresif. Begitu juga dengan adegan akhir yang konon membuat terharu
beberapa penonton, tapi lagi-lagi gagal menggerakkan saya. Mungkin karena
saking painful-nya storytelling yang saya alami sepanjang hampir dua jam
sebelumnya, yang membuat saya susah untuk bisa berempati. It’s like, susah
untuk merasa kasihan terhadap seseorang yang pernah menyakiti Anda.
Tak ada voice talent yang
benar-benar remarkable di sini. Raymond Ochoa (Arlo), Jack Bright (Spot),
Jeffrey Wright (Poppa), Frances McDormand (Momma), semuanya biasa-biasa saja.
Tak buruk, tapi juga tak ada yang cukup remarkable maupun memorable. Yang
menarik mungkin Steve Zahn yang mengisi suara Thunderclap, salah satu
Pterodactyl dengan joke relevation yang gagal memberi sense of humor pada TGD.
Penggabungan animasi
karakter-karakter yang begitu komikal dengan latar yang sangat realis terbukti
tidak terasa aneh di sini. Ya, Arlo tampak seperti boneka hidup yang
berjalan-jalan di alam liar, tapi saya masih bisa menikmati keindahannya. Dan
siapa pun pasti terpana melihat animasi air yang begitu nyata. Tata suara pun
ditata dengan sangat maksimal dalam menghadirkan ‘teror’-nya. Tak ketinggalan
fasilitas surround (bahkan Dolby Atmos) yang dimanfaatkan dengan sangat
maksimal untuk menghidupkan tiap adegannya.
In the end, TGD di mata saya
menjadi film animasi Disney-Pixar dengan storytelling yang sangat-sangat kasar.
Pixar yang biasanya mengemas isu-isu menarik dan penting sehingga bisa dipahami
dan yang paling penting, dinikmati, oleh semua golongan umur, kali ini membuat
orang-orang dewasa pun merasa inappropriate. Belajar dari banyaknya kasus penonton yang membawa anaknya, coba pikir berkali-kali sebelum memutuskan untuk mengajak anak-anak Anda, terutama yang masih balita, menonton TGD. Sebaliknya, jika Anda ingin menonton sendiri dan selama ini
menyukai animasi-animasi Pixar karena sekedar bisa bikin terharu, mungkin
beberapa adegan TGD bisa menggerakkan emosi Anda. Buat saya sih tidak. This was even
worse than Cars 2 dan Brave.
P.S.: Ada opening animation Sanjay's Super Team. Menarik, menggabungkan tema religi Hindu dan konsep superhero. Visually stunning with superb audio quality. Meski hasil akhirnya buat saya, secara storytelling yang tanpa dialog tidak terlalu berkesan untuk jangka waktu yang lama.
P.S.: Ada opening animation Sanjay's Super Team. Menarik, menggabungkan tema religi Hindu dan konsep superhero. Visually stunning with superb audio quality. Meski hasil akhirnya buat saya, secara storytelling yang tanpa dialog tidak terlalu berkesan untuk jangka waktu yang lama.
Lihat data film ini di IMDb.