Hitmaker Studio selama ini
dikenal sebagai produsen film-film horor yang dibesut oleh sutradara Jose
Poernomo, seperti Rumah Kentang, 308, Rumah
Gurita, Mall Klender, dan tahun ini, Tarot. Namun tahun 2015 ini, Hitmaker Studio memproduksi film yang
di luar kebiasaannya: drama romantis. Film berjudul Sunshine Becomes You (SBY) yang diangkat dari novel national best
seller karya Ilana Tan keluaran 2012 ini dirilis hanya seminggu setelah induk
perusahaan Hitmaker Studio, Soraya Intercine Film, merilis Single dari Raditya Dika. Disutradarai oleh Rocky Soraya, dan
naskahnya diadaptasi oleh Riheam Junianti yang sudah menjadi langganan
produksi-produksi Soraya maupun Hitmaker, SBY didukung oleh bintang-bintang
muda yang punya fanbase cukup besar, yaitu Herjunot Ali, Nabilah JKT48, dan Boy
William.
Ray Hirano, anggota group B-boy
berdarah Jepang-Indonesia, tertarik dengan seorang gadis di tempatnya mengajar
tari, Mia Clark. Selain memang cantik dan berbakat, Mia juga punya darah
Indonesia sehingga bisa mengobati kekangenannya berbahasa Indonesia selama
tinggal di New York. Namun rupanya Mia tidak terlalu menanggapi sinyal-sinya
Ray, sampai suatu hari memperkenalkan Mia pada kakaknya, Alex Hirano, seorang
pianis penting di generasinya yang super perfeksionis, kasar, dan temperamen.
Sebuah kecelakaan yang tak disengaja disebabkan oleh Mia membuat tangan Ray
terluka. Sebagai bentuk penyesalan, Mia menawarkan diri menjadi asisten Alex
sampai tangan Alex sembuh. Alex setuju dan dimulailah neraka bagi Mia yang
harus meladeni perfeksionisme Alex. Namun justru dari peristiwa ini sedikit
demi sedikit Alex lebih mengenal Mia. Kedekatan pun terjalin dan mereka saling
tertarik. Ray mulai merasakan kedekatan mereka tetapi memutuskan untuk tidak
mengambil sikap apa-apa. Apalagi setelah mengetahui fakta tentang Mia yang
membuat keduanya mengesampingkan ego masing-masing.
Meski diangkat dari novel, gaya storytelling yang dipilih untuk SBY serupa dengan Eiffel, I’m in Love produksi Soraya yang jadi box office tahun 2003
lalu. Cheesy, formulaic, dan dragging, namun berkat dialog yang cukup menarik
diikuti serta perkembangan chemistry antara Alex-Mia di paruh pertama film yang
mengalir lancar, setidaknya part ini masih menjadi semacam enjoyable cheesiness.
Namun kesemuanya ini jadi berbalik 180 derajat ketika memasuki paruh kedua,
yaitu ketika formula disease exploitation drama mengambil alih cerita.
Adegan-adegan long take yang seolah mandeg berkembang mulai terasa
dragging-nya. Alih-alih menghanyutkan emosi, saya justru mulai merasakan kebosanan,
sehingga tak peduli ending seperti apa yang akan dipakai. Toh semua kemungkinan
ending sudah sangat generik dipakai. Termasuk aftermath pada karakter Alex yang
juga bukan barang baru.
Jika Anda mengikuti filmografi
Soraya, tentu Anda tahu bagaimana Shandy Aulia diposisikan sebagai Soraya’s
sweetheart. Begitu sering digandeng di film-film produksi mereka namun dengan
kualitas dan karakteristik yang cenderung serupa. Nabilah JKT48 di SBY ini
rupanya meneruskan tradisi Soraya dalam penggambaran karakter utama wanitanya.
Sangat tipikal dengan karakter-karakter yang diperankan Shandy Aulia
sebelumnya, mulai dari watak, gesture, hingga kecenderungan perkembangannya. Nabilah
tak tampil begitu buruk, apalagi ini adalah penampilan pertamanya di layar
lebar, namun tentu masih jauh dari kata bagus. Performance-nya ketika melakoni
adegan-adegan balet pun cukup convincing, meski tidak sampai mengundang decak
kagum berlebih. Sayangnya fisik yang tergolong chubby agak mengganggu, apalagi
untuk perannya yang seorang penari balet kontemporer profesional. Herjunot
masih tak beranjak jauh dari karakter-karakter yang sudah-sudah, misalnya
sebagai Ferre di Supernova: Ksatria,
Putri, dan Bintang Jatuh, atau Zainuddin di Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Masih melankoli, hanya ditambahkan
sedikit kejudesan yang mungkin tak akan terlalu sulit bagi Herjunot. Penampilannya
ketika memainkan piano (tentu saja musik yang terdengar bukan berasal dari
permainan tangannya, tapi diakali dengan editing) tidak terlalu meyakinkan.
Meski demikian, setidaknya Herjunot dan Nabilah cukup berhasil membangun
chemistry yang convincing. Kualitas akting yang setara dengan Herjunot juga
ditampilkan Boy William sebagai Ray Hirano. Selain dari tiga cast utama, ada pula Annabella Jusuf tampil mencuri perhatian berkat parasnya yang menarik, Sam Brodie yang masih menjadi tipikal diri sendiri namun cukup berhasil menyegarkan suasana, serta cameo dari Kimmy Jayanti.
Latar New York tentu terlihat
begitu megah dan cantik di tangan sinematografer Dicky Maland dan Jose
Poernomo. Pergerakan kamera yang begitu smooth dan mem-framing adegan demi
adegan cantik, berhasil mengeksplor latar-latarnya. Sementara itu ada cukup
banyak yang patut dipertanyakan untuk properti. Misalnya sheet lagu Sunshine Becomes You di piano Alex
dengan not-not balok berukuran besar-besar dan tebal seperti yang biasa
dimainkan oleh pemain piano anak-anak pemula. Padahal kita tahu bahwa Alex
adalah pianis kelas dunia.
Tata suara tak terlalu istimewa,
selain sekedar cukup menampilkan dialog yang jelas terdengar. Pilihan-pilihan
lagu yang mengiringi pun tergolong pas, menarik, dan tidak terasa ada
pengulangan yang biasa dilakukan di film-film produksi Soraya/Hitmaker sehingga
terkesan brainwash. Favorit saya Sunshine Becomes You, Selamanya, dan Melaju Kencang. Sayang ada satu score yang hanya mengaransemen ulang score
film klasik Cinema Paradiso (1988)
yang digubah Ennio Morricone, tanpa ditulis di kredit pula.
Diangkat dari novel metropop yang
ringan, SBY memang punya target audience utama remaja perempuan. Dengan kemasan
ala Eiffel I’m in Love yang ringan
dan manis (kalau tidak mau dikatakan cheesy), tentu SBY bisa dengan mudah
disukai oleh target audience utamanya. Belum lagi ditambah pemilihan cast yang
memang sedang menjadi idola mereka. Saya pribadi menikmatinya ketika menjadi romantic
comedy seperti di paruh pertama film. Enjoyable dan dengan perkembangan
karakter yang menarik. Sayangnya paruh kedua menciderai kenikmatan keseluruhan
film menjadi total cheesy. Tanpa detail adegan yang begitu diperhatikan (tapi
juga akan diabaikan oleh penonton awam) dan penampilan aktor-aktris yang
biasa-biasa saja, SBY di mata saya bukan sajian yang mengesankan. Bahkan kadang
menggelikan dan painful. But yes, tentu saya bukan termasuk target audience
utamanya. Jadi, jika Anda merasa termasuk target audience utamanya dan
kebetulan juga menyukai Eiffel I’m in
Love atau film-film drama romantis produksi Soraya yang lain, mungkin Anda
akan bisa menikmati SBY di liburan Natal dan tahun baru ini.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.