3/5
Action
Adventure
Based on a Game
Crime
Franchise
Gore
Hollywood
Pop-Corn Movie
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Hitman: Agent 47
Film yang diangkat dari video
game sejak dulu tak punya track record yang begitu bagus, apalagi sekuelnya.
Meski mungkin masih cukup banyak meraup keuntungan, namun kritikus dan fanboy
kerap memberikan review negatif. Padahal tujuan adaptasi video game ke film
semata-mata tidak hanya memuaskan (sekaligus membidik sebagai calon penonton)
penggemarnya, tapi juga mempromosikan game-nya ke penonton yang tidak akrab
dengan versi video game-nya. Setidaknya nama franchise nya jadi dikenal lebih
banyak audience. Tahun 2007 Fox pernah mengadaptasi salah satu game yang
dikembangkan oleh IO Interactive asal Denmark, Hitman. Kritikus membencinya, namun hanya dengan budget sekitar 20
juta dollar ternyata berhasil mengumpulkan hampir 100 juta dollar di
seluruh dunia. In my opinion, Hitman
versi Xavier Gens ini setidaknya menyajikan film action yang cukup menghibur
meski tak ada yang istimewa juga. Alih-alih membuat sekuel, Fox memutuskan
me-reboot Hitman yang sayangnya
prosesnya tak berjalan mulus. Terutama setelah kematian Paul Walker yang
awalnya didapuk menggantikan Timothy Olyphant yang menolak tampil lagi. Peran
Agent 47 alias sang Hitman dipercayakan kepada Rupert Friend, aktor Inggris
yang belum begitu dikenal meski sebenarnya cukup sering mengambil peran pendukung
bersetting lawas, seperti Pride &
Prejudice, The Last Legion, The Young Victoria, dan terakhir, serial Homeland. Bangku sutradara pun
dipercayakan kepada Aleksander Bach, sutradara iklan asal Polandia yang belum
pernah menggarap film layar lebar sebelumnya. Dari pemilihan nama-nama yang tak
begitu populer ini dan budget yang lagi-lagi tak begitu banyak (konon hanya
sekitar 35 juta dollar), sebenarnya bisa diduga kalau Fox tidak memposisikan
reboot bertajuk Hitman: Agent 47
(HA47) sebagai proyek utama yang high profile.
Di installment ini Agent 47 masih
digambarkan sebagai pembunuh bayaran yang diprogram secara genetis dengan
kekuatan, kecepatan, stamina, dan intelijensia lebih. Hanya saja kali ini
ceritanya tak lagi bermain-main dengan misi di luar tubuh Syndicate (yang mana
di installment sebelumnya disebut sebagai The Organization, dan di game disebut
sebagai The Agency). Misi Agent 47 berkaitan dengan asal-usulnya dan kreator
program yang ada pada dirinya. Seperti biasa pula, dimunculkan sosok gadis
cantik yang ternyata adalah kunci dari misi pembunuhan yang diemban oleh Agent
47, Katia van Dees.
Mengusung plot yang tak jauh-jauh
dari konflik eksistensi ICA (International Contracts Agency) sebenarnya pilihan
yang pas untuk memahami latar belakang Agent 47, sekaligus menarik seiring
dengan perkembangan karakter Agent 47 sendiri. Tak ada yang salah pula dengan
bangunan plotnya yang meski tak begitu istimewa, namun bergerak dengan timing
yang pas. Yes, mungkin ada cukup banyak dialog yang menggelikan dan sama sekali
tidak ada yang berkesan, namun secara keseluruhan masih mampu jadi sajian yang
sangat menghibur. Apalagi diwarnai adegan-adegan aksi praktikal yang terasa
cukup keren, meski lagi-lagi, tak terlalu istimewa juga. Mediocre, namun
menghibur.
Yang mungkin membuat HA47 terasa
kurang ‘berenergi’ sebagai sebuah sajian action pop corn adalah penyutradaraan
Bach yang masih kurang dinamis. Terasa sekali ada cukup banyak adegan yang
terkesan terlalu ‘lelet’. Itu pulalah yang mungkin turut menyusahkan editor
Nicolas De Toth (The Sum of All Fears,
Terminator 3: Rise of the Machines, Live Free or Die Hard, X-Men Origins: Wolverine) untuk
menjadikannya terkesan lebih dinamis. Namun kesan sedikit stylish sudah
dipamerkan Bach lewat satu adegan, yaitu ketika Agent 47 dan Katia naik lift ke
helipad dengan iringan score yang gokil.
Susah bagi saya untuk menilai
sepak terjang Rupert Friend. Sama sekali tidak buruk dan cukup menampilkan
adegan-adegan aksi yang badass, namun tetap saja belum menunjukkan kharisma
yang pas untuk karakter Agent 47 yang dingin dan bengis. Hannah Ware sebagai
Katia jelas menonjol sepanjang film yang lebih banyak didominasi oleh pria.
Apalagi sepak terjangnya termasuk memuaskan sebagai kick-ass chick sekaligus
cukup berhasil menghidupkan perannya yang termasuk kompleks. Zachary Quinto
yang terhitung paling populer di jajaran cast-nya juga mendukung dengan baik,
meski jelas bukan performance terbaiknya.
Sinematografi Óttar Guðnason
membingkai tiap adegan aksi dengan sangat pas, maupun wide shot yang sangat memanfaatkan
keindahan panorama latarnya, terutama ikon-ikon Singapura dan jalanan urbannya
secara maksimal. Sayang tidak diimbangi tata suara yang tergolong di bawah
rata-rata untuk film action. Fasilitas surround memang masih terasa
dimanfaatkan di sana-sini, namun jelas tidak sedahsyat dan semaksimal film
action lain. Yang paling terasa minus jelas dialognya yang seringkali terdengar
tenggelam di kanal utama. Scoring Marco Beltrami pas mendukung dan memompa
adrenaline di adegan-adegannya, meski termasuk biasa saja. Tak sampai jadi
score yang memorable.
Sebenarnya dari fakta di
lapangan, jelas lagi-lagi Fox tak memposisikan HA47 sebagai project high
profile yang dikerjakan dengan ambisius. Maka tak perlu pula punya ekspektasi
yang terlalu tinggi ketika menyaksikannya. Nikmati saja sajian action
mediocre-nya yang cukup brutal dan menghibur, as it was made as.
Lihat data film ini di IMDb.