3/5
Action
Based on Book
Depressive
Franchise
Hollywood
Pop-Corn Movie
Reboot
Remake
SciFi
Superheroes
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Fantastic Four (2015)
Semenjak dibeli oleh Disney,
Marvel menjadi salah satu raksasa
Hollywood yang tiap tahun terus-terusan mencetak rekor baru. Tak heran jika
studio lain yang sudah lebih dulu mengantongi hak untuk karakter-karakter
Marvel kalang kabut. Salah satunya adalah Fox yang mengantongi hak untuk X-Men dan Fantastic Four. Sementara X-Men
masih mampu terus menyedot penonton dan mengumpulkan dolar, Fantastic Four versi Tim Story yang
sudah dibuat 2 installment tak begitu disukai terutama oleh para kritikus.
Salah satu alasannya adalah kemasan yang dianggap terlalu ringan dan ceria.
Padahal kalau mau jujur, sejak dulu komik Fantastic
Four (F4) memang punya image superhero dengan cerita ringan, nuansa ceria,
dan karena lebih bersifat ‘kekeluargaan’, maka kadar kekerasannya pun tergolong
mild. Dua installment versi Tim Story pun sama sekali tak melenceng dari
pakemnya, malahan masih sangat menghibur dengan pemilihan cast-nya yang
termasuk pas. Kini, supaya hak-nya tidak diambil kembali oleh Marvel, maka Fox
berupaya untuk membuat reboot dengan pendekatan yang berbeda. Digandenglah
Josh Trank yang sebelumnya pernah menarik perhatian lewat mockumentary
superhero, Chronicle. Dibantu Jeremy
Slater (The Lazarus Effect) dan Simon
Kinberg (Mr and Mrs Smith, X-Men: The Last Stand, X-Men: Days of Future Past, dan Sherlock Holmes), maka disusunlah F4
versi baru. Rupanya versi ini tak begitu disukai pihak studio sehingga
produksinya pun dipenuhi dengan kontroversi. Hasil akhirnya mendapat review
negatif di mana-mana. Buntutnya Josh Trank menyalahkan pihak studio atas hasil
akhirnya lewat twitter. Bahkan ada petisi yang meminta Fox berhenti memproduksi
F4 lagi dan segera mengembalikan haknya ke Marvel. Saya sendiri penasaran,
seburuk apakah F4 versi Josh Trank ini?
Josh Trank membuat F4 dengan
kemasan yang memang 180 derajat berbeda dari pakemnya. F4 yang sejatinya ceria
berubah menjadi cerita yang dark dan depresif, bak The Dark Knight versi Nolan. Bedanya, pendekatan Nolan cocok dengan
konsep besar yang sangat kuat. Sementara Trank tidak punya motivasi yang kuat
untuk membuat F4 se-dark itu. Alih-alih berfokus pada petualangan dan aksi seru
para superhero ini memberantas kejahatan, F4 menghabiskan tiga perempat
durasinya untuk menyampaikan konsep bagaimana terbentuknya F4, mulai pembangunan
mesin teleportasi yang menjadi asal mula semua ‘bencana’ yang menghabiskan
separuh durasi sendiri, hingga penjelajahan dimensi lain yang mengingatkan saya
akan feel sci-fi horor macam Prometheus.
Saya sebenarnya sama sekali tidak keberatan dengan penceritaan ‘the beginning’
seperti ini yang jujur, cukup kreatif dan realistis, termasuk dalam
menceritakan asal mula Dr. Doom. Namun jika sampai menjadi tiga perempat durasi
sendiri dan menyisakan showdown utamanya tak lebih dari 10 menit, I guess that’s not what we really want to know and see from a
superhero movie, was it?
Tak hanya konsep besar yang
terkesan salah sasaran, F4 versi Trank nyatanya juga tak didukung oleh naskah
dan penyutradaraan yang mumpuni, terutama dalam mengembangkan
karakter-karakternya. Lihat saja interaksi antar karakternya yang terkesan serba
dingin. Keempat karakter utamanya
pun secara personal terkesan seperti geek depresif pendiam yang tidak
membuat saya kaget jika suatu hari menjadi berita karena kasus penembakan atau
bunuh diri. Penonton juga tak diajak untuk mengenal karakternya secara personal
dan mendalam sehingga susah untuk menaruh simpati kepada mereka. Keanehan lain
adalah hubungan antara Ben Grimm dengan ketiga lainnya, mengingat Ben baru
mengenal Johnny, Sue, dan Victor sesaat sebelum berteleportasi ke dimensi lain.
Kesemuanya menjerumuskan F4 versi Trank menjadi tontonan yang meski punya pace
yang cukup dan masih berjalan dengan nyaman, tetap saja terasa datar.
Level kekerasan yang turut
meningkat seiring dengan nuansa darknya, menjadikan F4 film superhero yang
kurang nyaman disaksikan oleh seluruh keluarga, terutama bagi anak-anak di
bawah 10 tahun. Entah apa yang ada di benak Trank membuat manusia yang meledak
dan darah yang splattering ke tembok. Entah juga apa yang membuat MPAA
meloloskan rating PG-13 dengan adegan-adegan kekerasan yang mengerikan untuk
ranah superhero.
Bukan salah keempat pemeran
utamanya; Miles Teller, Michael B. Jordan, Kate Mara, dan Jamie Bell, untuk
datarnya karakter yang mereka perankan. Mereka tampil sesuai dengan naskah yang
memang tak banyak menuntut kualitas akting, bahkan cenderung tidak kuat. Toby
Kebbell sebagai villain, Victor von Doom juga tak buruk, namun juga gagal
menjadi mengesankan. Sementara Reg E. Cathey sebagai Dr Franklin Storm
sebenarnya punya karakter yang menarik, namun lagi-lagi tak diberi penghormatan
yang layak di akhir film.
Untuk visual effect, tak ada yang
benar-benar baru maupun mengesankan. Gambaran dimensi lain pun bukan gambaran
yang visioner. Sementara dukungan sound effect tak terlalu mengalami kendala,
meski effect Dolby Atmos-nya tergolong biasa saja. Ada beberapa efek yang
menarik, seperti ketika pusaran perpindahan dimensi, namun secara keseluruhan
tergolong biasa saja.
In the end, bagi saya F4 versi
Trank ini sebenarnya tak sesampah yang ramai dibicarakan banyak orang. Saya masih
mampu bertahan mengikuti jalinan alur ceritanya tanpa ada keinginan untuk walk
out. Pun juga tak sampai tertidur. Namun saya juga tidak bisa mengelak kalau F4
versi ini memang presentasi yang jauh dari memuaskan. Apalagi untuk sebuah film
superhero, once again, this is definitely the least version you’ll care to see.
Lihat data film ini di IMDb.