3.5/5
Action
Comedy
Indonesia
Mafia
Pop-Corn Movie
Romance
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Gangster
Mafia atau gangster mungkin jadi
salah satu sub-genre yang menarik. Negara manapun nyatanya bisa mengangkat tema
ini ke dalam berbagai medium penceritaan, terutama film. Tak hanya Eropa,
Amerika Serikat, dan Jepang yang punya cerita cukup banyak dan panjang tentang
mafia. Bahkan pedalaman kumuh dan miskin di India pun punya cerita epik mafia
yang digagas oleh Anurag Kashyap lewat Gangs
of Wasseypur tahun 2012 lalu. Indonesia sendiri sebenarnya punya riwayat
yang cukup panjang tentang mafia dan gangster, mengingat premanisme sudah
mendarah daging dalam sebagian besar masyarakat kita sejak dulu, mulai kalangan
bawah sampai atas sekalipun. Tak heran jika sebagian besar masyarakatnya merasa
lebih bangga jadi ‘preman’ ketimbang cendekiawan di sini, apalagi faktor batas
‘ditakuti’ dan ‘dihormati’ sangat-sangat tipis. Starvision menangkap fenomena
ini dengan dibantu oleh penulis naskah Jujur Prananto dan salah satu sutradara
langganan mereka, Fajar Nugros.
Di tengah-tengah lesunya penonton
film Indonesia, Starvision tak mau ambil resiko menggarap film bertema gangster
yang terlalu serius. Sebaliknya, Chand Parwez Servia lebih melirik selera pasar
terbesar film Indonesia: tontonan yang murni menghibur. Fajar Nugros menangkap
konsep ini dengan membuat Gangster
semenghibur mungkin. Tak perlu terlalu banyak alur cerita yang ribet, serius,
dan lebih banyak dialog ketimbang laganya. Maka Gangster lahir dengan konsep blend martial art action dengan komedi
yang memang dekat dengan keseharian masyarakat Indonesia.
Sosok utama di sini adalah
Jamroni, pemuda desa yang harus menerima fakta bahwa selama ini dirinya bukan
anak kandung dari ayahnya yang baru saja meninggal. Ditambah motivasi mengejar
pujaan hati sejak kecil, Sari, Jamroni nekad ke Jakarta. Tak sengaja Jamroni
bertemu seorang gadis yang sedang lari dari rumah karena akan dijodohkan,
Retta. Siapa sangka membantu Retta justru membawanya pada masalah yang lebih
besar dan melibatkan perseteruan dengan dua pemimpin gangster yang sama-sama
‘memegang’ Jakarta, Hastomo dan Amsar.
Di atas kertas (apalagi kertas
flyer promosinya), sinopsis Gangster
terkesan ribet. Padahal pada kenyataannya alur cerita hanya dijadikan dasar
berjalannya adegan semata, bukan komoditas jualan utama. Memvisualisasikannya
secara dinamis dan cepat, Fajar jelas lebih memfokuskan dalam menghadirkan
adegan-adegan yang menghibur dan remarkable. Mulai dari segi koreografi bela
dirinya, dialog-dialog yang serius maupun komedik, karakter-karakter yang
menarik, desain latar dan kostumnya, bahkan sampai sound effect tukang roti.
Jajaran ensemble cast yang all-star juga menjadi komoditas Gangster untuk tampil lebih menarik dan meriah. Namun bukan berarti tak punya gagasan utama yang bold. Setidaknya tema 'janji' dengan cukup bold ditunjukkan lewat karakter Amsar-Hastomo dan Jamroni-Sari. Above all, yang
paling berhasil menurut saya adalah blend yang seimbang antara action dan
komedinya. Ada saat di mana satu adegan benar-benar terasa komikal namun berhasil
bikin ketawa karena chaotic humornya yang memang lucu, tapi di adegan lain
ketegangan karena keseriusan adegan juga mampu terasa dengan maksimal.
Adegan-adegan pertarungannya pun cukup berhasil bikin exciting meski masih ada
beberapa yang keliatan kaku, tidak begitu convincing, dan terkesan seperti
sudah diatur, terutama 3-way fight antara Kelly Tandiono-Yayan Ruhian-Dian
Sastro. Maklum dengan waktu latihan yang konon hanya 1.5 bulan, ditambah latar
belakang para aktor yang bukan fighter sungguhan, apa yang tampak di layar
sebenarnya sudah patut dihargai lebih.
Kelemahan terbesar Gangster sebenarnya terletak pada twist
end-nya. Bukan karena seperti apa endingnya, tapi lebih karena ketidak
peduliannya memberi waktu bagi penonton untuk merasakan emosi dari ending yang
cukup potensial itu. Editing yang terkesan ‘hajar bleh’, konsisten dinamis
sejak awal, langsung menjadikan ending ini bak tukikan tajam rollercoaster yang
terasa antiklimaks. Sayang sekali.
Sebagai salah satu komoditas
terbesar, jajaran cast-nya bisa dikatakan cukup bisa menjadi ensemble cast yang
keren, meski penampilannya tak merata. Hamish Daud selaku pemeran utama tak
lebih dari sekedar fighting machine utama. Tak banyak perkembangan karakter
yang cukup berarti diberikan kepadanya. Nina Kozok yang menjadi
‘pendamping’-nya juga tak begitu menonjol selain fisiknya yang memang menarik
dan aksennya yang sering tidak konsisten. Scene stealer jelas Dwi Sasono yang
dengan mood-swing-nya berhasil menciptakan rollercoaster emosi di tiap adegan
yang melibatkan dirinya, apalagi ketika beradu dialog dan akting bersama Agus
Kuncoro.
Di jajaran cast pendukung, mulai
Kelly Tandiono, Yayan Ruhian, Ganindra Bimo, Andrea Bimo, Dominique Sanda,
bahkan sampai Dian Sastro, Dede Yusuf, Eriska Rein, dan Lukman Sardi yang
perannya murni untuk menyemarakkan film, juga berhasil menciptakan excitement
tersendiri di setiap penampilannya.
Tak ada yang istimewa dengan
teknisnya, meski harus saya puji, sangat tertata dengan rapi. Mulai tata kamera
Padri Nadeak, editing Yoga Krispratama, sampai tata suara yang maksimal. Tak
hanya kanal 7.1 yang dimanfaatkan dengan maksimal untuk adegan-adegan laga,
tapi juga editing music yang punya timing begitu pas dan blending dengan
adegan. Keren!
Jika Anda mengharapkan Gangster menjadi cerita gangster/mafia
yang serius, jelas Anda salah ekspektasi. Niat sejak awal sebagai tontonan yang
murni menghibur dengan berbagai formula yang masih jarang dipadukan di film
Indonesia, Gangsters sudah lebih dari
cukup. Masih jauh dari sempurna, tapi cukup banyak yang remarkable dan highly entertaining!
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.