3.5/5
Adventure
Alien
Based on a Game
Buddy
Comedy
Family
Hollywood
Pop-Corn Movie
SciFi
The Jose Flash Review
Video Games
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Pixels
Entah sudah menjadi bagian dari
strategi atau kebetulan yang manis, tahun 2015 ini seolah menjadi surga bagi
generasi 80-90an. Dimulai Mad Max Fury
Road, Jurassic World, Terminator Gynesis, sampai yang baru
saja, Mission: Impossible – Rogue Nation. Satu yang tak boleh dilupakan adalah Pixels yang membawa game-game arcade
(atau yang di sini lebih dikenal dengan istilah ding-dong) 16 bit yang juga
menjadi salah satu tonggak sejarah pop culture di era 80-an. Meski tidak bisa
dikatakan sebagai game changer, karena film bertemakan game arcade klasik di
layar 2000-an sudah lebih dulu diangkat oleh Scott Pilgrim vs the World dan bahkan film animasi Disney, Wreck It Ralph, film yang diangkat dari
film pendek berjudul sama tahun 2010 karya sutradara Perancis, Patarick Jean,
ini tetap saja menarik perhatian, tentu saja terutama bagi penonton yang pernah
menjadi fans game-game seperti Pac-Man,
Donkey Kong, dan The Centipedes.
Di atas kertas, Pixels tampak seperti sebuah sajian
hiburan yang sangat seru dan menyenangkan. Setidaknya trailernya sudah
memberikan gambaran itu. Ditambah sutradara Chris Columbus yang sudah sangat
berpengalaman dalam menggarap film-film keluarga seperti Home Alone, Mrs. Doubtfire,
Harry Potter and the Sorcerer’s Stone,
Harry Potter and the Chamber of Secrets,
dan Percy Jackson & The Olympians:
The Lightning Thief. Namun ada satu hal yang membuat banyak kalangan ragu
dengan hasilnya, yaitu keterlibatan Adam Sandler yang mana film-filmnya
beberapa tahun terakhir selalu flop. Tak hanya membintangi, Sandler juga
memproduseri di bawah bendera Happy Madison-nya. Well, seperti bisa diduga
humor-humor yang disajikan di Pixels
ini bakal terasa sangat Sandler-ish.
Ternyata hasilnya tidak seburuk
yang banyak dikatakan kritikus. Di balik naskah generik tentang invasi alien
dengan bumbu komedi dan cerita para loser yang berubah menjadi action heroes,
lengkap dengan bumbu-bumbu asmara, namun punya referensi-referensi akurat yang
cukup banyak, seperti score game tertinggi yang memang beneran ada, dan
karakter Eddie yang seperti gabungan dari beberapa gamer sungguhan, Pixels di tangan Chris Columbus masih
menjadi film komedi petualangan yang seru, sangat menghibur, dan cocok untuk
ditonton bersama seluruh anggota keluarga. Plus, yang paling menarik dari naskah adalah membandingkan game jaman dulu yang bisa dipelajari lewat polanya, dan game jaman sekarang yang random. Pixels seolah mengatakan bahwa keduanya sama-sama punya kelebihan masing-masing. Tapi jangan terlalu serius dan
mengharapkan cerita alien yang serius pula. Bersenang-senang saja seperti ketika
menyaksikan Mars Attacks atau Evolution. Tak ada wujud alien yang sebenarnya, selain menyamar menjadi ikon-ikon 80-an, seperti Madonna. I have to say, Chris berhasil
menghidupkan game-game yang selama ini hanya dimainkan di layar dengan kualitas
16 bit menjadi sebuah live action adventure yang nyata dan lebih seru dengan
skala human-size, serta porsi dan timing yang serba pas. Tak lupa ditambahkan
karakter Q-Bert dengan porsi yang cukup banyak sebagai cute-factor untuk
mencuri hati penonton cilik yang tentu saja tidak begitu familiar dengan
karakter-karakter game arcade di sini.
Memang, tak bisa dipungkiri,
guyonan Sandler-ish masih mewarnai sebagian besar frame comedic-nya, terutama
yang bergaya slapstick, play-dumb, dan awkward moment, yang lagi-lagi
kebanyakan gagal untuk mengundang tawa lepas. Entah faktor apa. Mungkin gaya
guyonannya sudah tidak relevan dengan penonton jaman sekarang atau sudah
terlampau basi untuk terus-menerus didaur ulang di film-filmnya. Yang pasti
yang dulu terdengar lucu, sekarang sudah tidak lagi.
Sebagai aktor, tak ada yang
istimewa dengan Adam Sandler. Masih sama seperti peran-peran sebelumnya, bahkan
penampilannya terasa seperti sudah lelah dan ogah-ogahan memainkan peran
sejenis. Untung saja ada Josh Gad yang setidaknya menyelakamatkan sisi humor Pixels dengan tingkahnya. Masih belum
sekuat komedian segenerasinya, seperti Jonah Hill, tapi kelucuannya semakin
terasah seiring dengan berjalannya durasi. Kevin James sebagai presiden mungkin
terasa kurang tampil maksimal, baik dalam konteks kharisma sebagai presiden
maupun sebagai comedy presence. Peter Dinklage juga masih lebih banyak gagal
dalam menyampaikan line-line maupun gimmick komedinya, sementara Sean Bean yang
sebelumnya jauh dari image komedi malah terasa lebih lucu. Michelle Monaghan
tak istimewa tapi cukup berhasil menjadi karakter hot mom yang loveable dan
penuh pesona. Tak lupa si cilik Matt Lintz yang meski porsinya tak terlalu
banyak dibandingkan karakter cilik di film sejenis, ternyata cukup mampu
mencuri hati penonton.
Tak perlu meragukan visualisasi
yang memang menjadi salah satu komoditas utamanya. Bukan hal baru namun tetap
saja memanjakan mata dan masih mampu membuat saya beberapa kali bergumam “wow!”.
Sementara sound fx juga ditata dengan demikian dahsyat, termasuk dalam membagi
kanal surroundnya. Sayang keseimbangan dengan suara dialog kurang begitu
terjaga. Entah memang demikian adanya atau hanya di teater tempat saya
menonton, keseluruhan dialog terdengar tenggelam dan tak secrisp sound fx dan
music-nya.
In the end, come on. Don’t be
snob. Untuk apa Anda bawel soal alur cerita ketika menyaksikan pure
entertainment ringan seperti Pixels? Pun
demikian, cerita generiknya masih menyelipkan esensi menemukan jati diri dengan
cukup efektif kok. Tak ketinggalan heart factor yang juga masih cukup berhasil.
Ajak adik, anak, atau keponakan yang tidak familiar dengan game-game dingdong,
dan perkenalkan dengan cara yang seru dan memanjakan panca indra.
Lihat data film ini di IMDb.