The Jose Flash Review
Serena

Pasangan Bradley Cooper dan Jennifer Lawrence memang pernah mencuri perhatian dunia ketika tampil di Silver Linings Playbook (2012) yang menganugerahkan 1 Oscar untuk Lawrence dan nominasi Oscar untuk Cooper. Puas dengan hasilnya, sutradara sekaligus penulis naskah, David O. Russell, kembali menggandeng mereka berdua untuk berduet di proyek berikutnya, American Hustle (2013) yang lagi-lagi menganugerahkan keduanya nominasi Oscar. Mungkin faktor ini yang membuat film berbudget (relatif) rendah, Serena. Diangkat dari novel karya Ron Rash keluaran tahun 2008. Awalnya proyek ini akan ditangani oleh Darren Aronofsky dengan bintang Angelina Jolie, namun akhirnya jatuh ke tangan Susanne Bier dan dibintangi J-Law.

Secara garis besar, Serena yang konon berbudget sekitar 25-30 juta dolar ini tampak seperti produksi yang sangat bagus. Apalagi dengan setting era depresi tahun 1930-an, semuanya tampak begitu meyakinkan. Namun rupanya permasalahan bukan terletak pada desain produksi, tapi pada penceritaannya. Serena sejatinya adalah sebuah drama romance yang harus berakhir dengan cukup tragis, yang menariknya, punya bumbu-bumbu psychological thriller. Seorang wanita muda yang keluarganya tewas dalam kebakaran, Serena, bertemu dengan seorang pria penguasa kayu, George Pemberton, yang akhirnya menikahi dirinya. Serena rupanya punya intelektual di atas rata-rata sehingga turut andil dalam bisnis suaminya. Inilah yang menyebabkan partner-partner George sebelumnya tak suka. Cerita pun semakin bergulir ketika Serena keguguran dan dinyatakan tidak mungkin hamil lagi. Tekanan demi tekanan membuat kejiwaan Serena terguncang.

Premise yang cukup menarik, namun karena tidak dieksekusi dengan maksimal menjadikan hasil akhirnya sama sekali tidak mengesankan. Diawali dengan proses jatuh cinta antara Serena dan George yang terkesan gampangan, atmosfer Serena selanjutnya menjadi terlalu depresif dengan kemasan yang sangat drama. Maka ketika muncul adegan-adegan psychological thriller dan, bahkan sedikit gore, jelas penonton menjadi terkejut (dalam arti negatif). Alhasil, secara keseluruhan Serena terkesan seperti sebuah paket drama yang datar dan membosankan, dengan berbagai subplot tanpa fokus yang tidak jelas mau dibawa ke arah mana. Menurut saya faktor utamanya adalah adaptasi yang mentah-mentah dari novelnya. Well, saya tidak perlu membaca novelnya untuk bisa menemukan gaya penceritaan ala novel di versi filmnya. Serena versi film sama sekali tidak menemukan bentuk visual yang pas untuk adaptasinya.  Coba bayangkan jika misalnya sejak awal sudah dikemas sebagai drama thriller yang misterius namun seduktif. Ambil contoh Original Sin-nya Antonio Banderas dan Angelina Jolie deh. I think Serena will be a much more appealing movie.

Untung saja performance Bradley Cooper, dan lebih lagi, Jennifer Lawrence, begitu kuat, hidup, dan dramatis, termasuk chemistry yang terasa riil, membuat Serena menjadi sedikit lebih layak untuk disimak. Sementara pemeran pendukungnya, seperti Rhys Ifans, Sean Harris, dan Toby Jones tidaklah buruk, namun memang harus diakui juga tidak berkesan.

Like I said before, yang patut diapresiasi paling utama dari Serena adalah desain produksinya, terutama tergambar lewat properti dan kostum yang terlihat genuine sesuai eranya. Sinematografi yang membingkai semua keindahan desain produksinya pun turut mendukung, termasuk misty mountain Republik Ceko yang menjadi lokasi syutingnya. Sementara tata suara dan score tidak ada yang begitu istimewa.


Serena sebenarnya bisa saja jadi sajian yang remarkable jika di-‘desain’ dengan kemasan penceritaan yang lebih tepat. Sayangnya Susanne Bier (After the Wedding) dan penulis naskah Christopher Kyle mungkin memang bukan orang yang tepat. Sehingga performance sekuat Cooper-Lawrence saja belum cukup untuk menjadikannya terasa lebih istimewa.

Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.