3/5
Comedy
Drama
Indonesia
Pop-Corn Movie
Remake
Romance
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Love You... Love You Not
Thailand sejak dulu dikenal punya
banyak kemiripan dengan Indonesia. Tak hanya dari ciri-ciri fisik bangsanya,
tapi juga kebudayaan dan gaya hidup. Maka tak heran jika perfilman Thailand
yang beberapa tahun terakhir termasuk yang paling maju di Asia Tenggara, bisa
dengan mudah diterima oleh penonton Indonesia. Jumlahnya tak banyak yang masuk
ke sini, tapi rata-rata menjadi bahan pembicaraan di banyak kalangan. Salah
satunya yang terakhir di impor ke sini adalah I Fine… Thank You Love You (IFTYLY), komedi romantis dengan sedikit bumbu
komedi seks yang diproduksi oleh GTH. Mungkin banyak komedinya yang terasa
garing bagi penonton sini (termasuk saya), tapi harus diakui punya naskah
romantis yang digarap rapi, manis, dengan step-step yang kuat. Maka tak heran
jika MVP membeli hak untu me-remake ke versi Indonesia dengan nilai yang cukup
tinggi (konon dengar-dengar sebesar 50.000 dolar Amerika Serikat). Bukan hal
yang mudah agar versi Indonesia-nya ini bisa diterima oleh masyarakat Indonesia
yang sudah terlanjur skeptis dengan karyanya bangsanya sendiri dengan cap
plagiat. Padahal bahkan Hollywood pun tak jarang me-remake film-film dari
berbagai negara. Tapi MVP terus percaya diri melaju dengan bintang yang
diharapkan bisa mengundang penonton; Chelsea Islan dan Hamish Daud. Sayangnya
sutradara yang digandeng tidak begitu meyakinkan, yaitu Sridhar Jetty yang
sebelumnya menggarap banyak film horor, seperti 13, Hantu Juga Selfie,
dan Hotline 666: Delivery to Hell.
Sementara perombakan naskah aslinya dilakukan oleh Mira Santika yang pernah
menulis naskah Mika.
Secara garis besar, Love You Love You Not (LYLYN) punya
cerita yang sama dengan IFTYLY. Seorang tutor kursus Bahasa Inggris, Amira,
terpaksa harus mengajar Juki, seorang montir berattitude buruk, yang bertekad
bisa fasih berbahasa Inggris agar bisa mengejar sex partnernya yang orang
Jepang dan sekarang pindah ke Amerika. Sementara Amira yang seperti kebanyakan
wanita muda lainnya, bermimpi mendapatkan pasangan bak Prince Charming, tak
menyadari perlahan sebenarnya jatuh hati terhadap Juki yang jelas-jelas jauh
dari mimpinya.
I really don’t mind if they don’t
do many changes to its core story. Saya juga tak keberatan jika banyak
elemen-elemen (terutama elemen romantis) dari aslinya yang memang ditata dengan
bagus, seperti metafora cerita Cinderella dan terjemahan lagu untuk
menyampaikan dialog. Tapi saya berharap setidaknya LYLYN melakukan pelokalan
jokes agar lebih dekat dengan penonton Indonesia, sehingga bisa menjadi paket
romantic comedy bercita rasa lokal yang bagus pula. Well rupanya LYLYN tak
digarap serapi materi aslinya, meski sebagian besar memang masih dipertahankan,
kecuali endingnya yang konon diubah dengan pertimbangan perkembangan karakter
dan esensi cerita yang lebih bold. Jika Anda pernah menyaksikan IFTYLY, setiap
step adegannya ditata dengan sangat rapi dan runtut sehingga tiap
perkembangannya terasa masuk akal. LYLYN sedikit ‘mengacak’ susunannya, namun
yang terjadi adalah beberapa keanehan dalam cerita. Terutama yang paling saya
ingat adalah bagaimana Juki mengenal gebetan Amira yang kaya raya, Taufan.
Secara keseluruhan, editing terasa yang paling patut bertanggung jawab terhadap
feel tidak berkesinambungan. Tak usah heran jika Anda merasa ada beberapa
perpindahan adegan yang tidak menyatu dan seperti potongan-potongan adegan yang
berdiri sendiri. Namun yang paling parah adalah proses belajar bahasa Inggris
dari Juki yang tidak meyakinkan step-stepnya. Bandingkan dengan versi aslinya
yang mana proses belajar sebagai latar kisah cintanya bisa menyatu dengan sangat
baik dan meyakinkan. Di sini perkembangan proses belajar Bahasa Inggris Juki
hanya ditampilkan seadanya, kalau bukan sebagai sarana penyampaian materi
jokes.
Beberapa jokes dari versi aslinya
yang menurut saya tidak lucu, tetap dipertahankan di sini. Seperti misalnya
perangkap cicak dan mercon pantat. Sayangnya, hasilnya tetap tidak lucu. Namun
yang patut saya apresiasi adalah beberapa guyonan khas lokal yang justru
seringkali lebih berhasil dalam memancing tawa. Mulai yang bersifat plesetan
bahasa, komedi nakal yang menyerempet materi seksual, sampai guyonan-guyonan
khas 90-an yang pernah dipopulerkan oleh Warkop DKI dan Kadir-Doyok. Memang
banyak jokes yang on-off, namun secara kesleuruhan masih sangat menghibur.
Meski tak terlalu istimewa,
Chelsea Islan cukup baik memerankan Amira, termasuk untuk adegan-adegan
komikal. Tak ada masalah juga dengan chemistry yang dibangunnya bersama Hamish
Daud yang juga mampu tampil komikal dengan baik. Sayangnya, aksen Betawi Hamish
Daud masih sering tidak konsisten. Dengarkan saja bagaimana ia mengucapkan
‘Gemini’. Untuk urusan lawakan, komika Fico Fachriza dan Reynold Hamzah mampu
mencuri perhatian dengan beberapa adegan komedi terlucu sepanjang film. Namun
Kemal Palevi yang sering ‘hilang’ dari adegan gagal untuk mengimbangi kelucuan
Fico dan Reynold.
Untuk teknis, selain editing
gambar yang terkesan bekerja terburu-buru sehingga terkesan tidak runtut,
editing suara pun patut bertanggung jawab atas banyak sekali pemenggalan lagu
yang acakadut bak FTV. Untungnya tata kamera Rei Supriadi termasuk oke, baik
dalam framing dan pergerakan kamera yang sinematis. Sayang adegan slow-mo-nya
masih patah-patah, dan gambar-gambar wideshot yang jelas menggunakan drone
terlihat pecah-pecah. Divisi lain yang patut mendapatkan kredit lebih adalah
penata artistik dan busana yang membuat gambar dan warna-warni di layar tampak
begitu cantik dan berkarakter kuat.
Harus diakui, LYLYN memang masih
jauh dari sempurna dengan berbagai kekurangan teknis maupun naskah yang tidak
sekuat dan serapi aslinya. Tidak terlalu nyaman pula untuk diikuti. Namun juga
bukan termasuk produksi yang buruk. Setidaknya secara keseluruhan, ia masih
mampu menjadi sajian komedi romantis yang cukup menghibur. Apalagi jika Anda
termasuk fans Chelsea Islan atau Hamish Daud.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.