4.5/5
Action
Adventure
Based on TV show
Blockbuster
Box Office
Espionage
Franchise
Hollywood
Investigation
Pop-Corn Movie
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Mission: Impossible - Rogue Nation
Tom Cruise memang sempat jadi
salah satu aktor Hollywood yang punya cukup kharisma, bahkan sebagai
one-man-show sekalipun, untuk menjadi box office hit maker. Namun beberapa judul film
terakhirnya, seperti Jack Reacher, Oblivion, dan Edge of Tomorrow, meski hasil box office (dan juga hasil
akhirnya)-nya tidak termasuk buruk, tetap saja di bawah target yang diharapkan
dari film Tom Cruise biasanya. Namun ada satu franchise yang tetap bisa menjadi
andalan Tom Cruise, apalagi ia tak hanya menjadi aktor utamanya, tetapi juga
duduk di salah satu bangku produser. Apalagi kalau bukan Mission: Impossible (M:I) yang sudah dipegangnya sejak tahun 1996.
Speaking of M:I, franchise yang diangkat dari serial TV ini harus diakui tidak
pernah punya hasil yang buruk, baik dari segi kualitas film maupun penghasilan
box office-nya. Well, mungkin tak selalu punya adegan-adegan yang memorable,
namun secara keseluruhan tak pernah sampai terjerumus badly. Mission: Impossible – Ghost Protocol
(MIGP) tahun 2011 lalu membuktikan kekuatannya yang masih lebih dari cukup
untuk terus hidup, Malahan mengalami perbaikan yang cukup signifikan dibanding
M:I-2 dan M:I-3. Maka apa yang disuguhkan di installment ke-5 ini, Mission: Impossible – Rogue Nation
(MIRN) masih menjadi semacam pertaruhan akan reputasi franchise tentang
agen-agen rahasia IMF (Impossible Mission Force) ini.
JJ Abrams yang ‘memegang’ peranan
penting di franchise ini sejak M:I-3 masih duduk di bangku produser, dan kali
ini menunjuk Christopher McQuarrie di bangku sutradara dan penulis naskah.
Keputusan ini masuk akal, mengingat McQuarrie sebelumnya sudah beberapa kali
bekerja sama dengan Tom Cruise, mulai Valkyrie,
Jack Reacher, dan Edge of Tomorrow. Soal reputasi,
McQuarrie punya pengalaman dan reputasi yang lebih dari cukup mumpuni dalam
menangani film aksi blockbuster.
Baik sebagai penulis naskah
maupun sutradara, McQuarrie berhak mendapatkan kredit pujian sebesar-besarnya.
Sebagai penulis naskah, McQuarrie berhasil menuangkan kompleksitas cerita bak
installment pertamanya, dengan alur yang sangat rapi, dan takaran teka-teki,
aksi stunt, serta humor yang serba pas. Well okay, mungkin bagi yang
benar-benar mengamati pola penceritaan M:I, tak ada yang benar-benar baru,
seperti keterlibatan orang dalam dan Ethan Hunt, yang lagi-lagi menjadi buruan
para atasan karena kenekadannya. Namun kali ini McQuarrie berhasil sedikit
memelintir adegan demi adegan, sehingga terkesan lebih menarik tanpa terasa
ribet dan membingungkan. Just as solid as the first installment. Bagi penggemar
cerita spionase klasik, McQuarrie memasukkan cukup banyak ke-khas-annya,
termasuk adegan penangkapan yang, I have to say, one of the best ever in
espionage genre. Tak perlu tampil bombastis namun cerdas. Aspek khas lain dari
M:I, yaitu topeng realistis, juga turut dimasukkan di saat yang tak terduga.
But above all I like from the script, yang paling saya suka dan hargai adalah
esensi utama yang disampaikan oleh McQuarrie, yaitu seberapa jauh peran
agen-agen rahasia di mata para petinggi.
Namun yang terpenting, as the
director, McQuarrie juga sangat terampil dalam memvisualisasikan semua visinya
dengan timing yang serba pas, sehingga ketegangan tiap adegan terjaga dengan
sangat baik. Ini yang terpenting dalam mempertahankan keseruan mengikuti kisah
M:I. Urusan adegan stunt yang (juga) selalu menjadi signatural M:I, MIRN
mungkin tidak se-breathtaking ataupun se-memorable di M:I atau MIGP, apalagi
sudah diletakkan di opening, namun tetap saja patut mendapatkan kredit
tersendiri. Khususnya untuk Tom Cruise yang mengaku melakoni adegan stunt ini
sendiri.
Di jajaran cast, Tom Cruise,
Jeremy Renner, dan Ving Rhames tampil tak berbeda dengan di
installment-installment sebelumnya. Sementara Simon Pegg yang kali ini
diberikan porsi jauh lebih banyak, terbukti mampu memberi warna baru dalam
franchise sehingga terkesan lebih ceria dan menggelitik di saat-saat yang
tepat. Alec Baldwin (Alan Hunley), Sean Harris (Solomon Lane), Simon McBurney
(Atlee), dan Tom Hollander (Prime Minister) juga cukup kuat memerankan peran
masing-masing.
Namun yang paling mencuri
perhatian tentu saja Rebecca Ferguson sebagai Ilsa Faust, yang tak hanya
menjadi pemanis ataupun sembarang badass chick. Dengan sex appeal yang
segunung, Rebecca berhasil menghidupkan karakter manipulatif ini dengan sangat
menarik. Tak heran jika ke depannya Rebecca akan lebih sering mengisi
peran-peran badass chick dengan sex-appeal tinggi.
Divisi teknis turut punya andil
yang sangat kuat dalam kesuksesan MIRN. Mulai sinematografi yang tak hanya
berhasil mengeksploitasi eksotisme berbagai latarnya, mulai Vienna, UK, hingga Cassablanca,
hingga mampu menyatu dengan adegan-adegan aksinya. Seiring dengan editing yang
serba pas dan tepat, menjadikan adegan-adegan aksi dan investigasi MIRN tak
pernah kehilangan momen. Tata suara juga memanfaatkan fasilitas Dolby Atmos
dengan sangat maksimal. Jika biasanya Anda hanya mendengarkan suara hujan atau
helikopter lewat di kanal atas, kali ini siap-siap menoleh ketika sepeda motor
terlempar lewat kanal atas. That’s my favorite use of Dolby Atmos, not only in
this movie, but among all my Dolby Atmos experience ever! Penggunaan Nessun Dorma dari opera Turandot sebagai salah satu elemen music
score sepanjang film juga menghadirkan kelas tersendiri bagi MIRN.
So dengan berbagai effort luar
biasa dari tiap pendukungnya, MIRN jelas menjadi salah satu installment terbaik
untuk M:I, setidaknya setara dengan installment pertama. Sayang sekali jika
Anda sampai melewatkannya di layar bioskop, apalagi jika Anda punya akses ke
teater dengan tata suara Dolby Atmos.
Lihat data film ini di IMDb.