3.5/5
Asia
Box Office
Crime
Drama
Fantasy
Investigation
Romance
SciFi
South Korea
The Jose Flash Review
Thriller
Time Travel
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Time Renegades [시간이탈자 ]
Tak salah memang jika ada
anggapan bahwa film (walau sebenarnya lebih cenderung benar untuk serial
K-drama-nya) Korea Selatan identik dengan melodrama romantis yang cheesy tapi
seringkali berhasil memancing emosi para penggemarnya yang sudah mendunia. Namun
jangan salah, Korea Selatan juga piawai meramu genre identik mereka dengan
genre lain sehingga terasa fresh. Salah satu yang cukup notable adalah unsur
fantasi dan crime dari Windstruck (2004),
yang ditulis dan disutradarai oleh Kwak Jae-yong. Ia pula yang berada di balik
romantic comedy fenomenal Korea Selatan yang mendunia dan sampai di-remake di
banyak versi, My Sassy Girl (2001).
Tahun 2016 ini ia kembali bereksperimen menggabungungkan berbagai tema
sekaligus ke dalam core drama romantis lewat Time Renegades (TR). Dengan dukungan aktor-aktris populer macam Im
Soo-jung (I’m a Cyborg, but That’s OK),
Lee Jin-wook (Miss Granny), Jo
Jung-suk (Architecture 101), Jung
Jin-young (Miracle in Cell No. 7 dan Ode to My Father), sampai Lee Min-ho.
Tak heran jika TR sempat menduduki posisi jawara box office Korea Selatan di
minggu pembukaannya dengan raihan sebesar US$ 2.5 juta dan US$ 3.94 juta dalam
lima hari pertama.
TR punya dua plot di setting
waktu yang berbeda pula, yaitu 1983 dan 2015. Di tahun 1983 menjelang malam
pergantian tahun, seorang guru musik di sebuah SMA, Ji-Hwan berniat melamar
sang kekasih, Yoon-Jung, seorang guru science di SMA yang sama. Naas, ada
seseorang yang menjembret tas Yoon-Jung. Konsekuensinya, Ji-Hwan yang berhasil
menangkap si penjambret sempat mengalami kondisi kritis karena tusukan dari
penjambret.
Sementara itu di tahun 2015,
seorang detektif muda bernama Gun-Woo dalam sebuah misi juga sempat mengalami
kondisi kritis. Untuk mengembalikan kesadarannya, Gun-Woo ditolong oleh alat
pacu jantung tua yang dulu juga pernah menyelamatkan nyawa Ji-Hwan. Sejak dari
kejadian itu, Ji-Hwan dan Gun-Woo ‘saling bertemu’ lewat mimpi. Ketika Ji-Hwan
tidur, lewat mimpi ia seolah menjalani kehidupan Gun-Woo, begitu juga
sebaliknya.
Keadaan menjadi semakin
menegangkan (bagi kita, penonton, sih seru) ketika di tahun 2015 Gun-Woo
menemukan kasus tak terselesaikan dari tahun 1983 yang melibatkan Yoon-Jung.
Ji-Hwan yang berada di tahun 1983 tentu sulit dipercaya oleh orang-orang di
sekitarnya sehingga kasus pembunuhan yang ia lihat di tahun 2015 melalui
Gun-Woo pun tak terelakkan. Kini tekad Gun-Woo dan Ji-Hwan untuk bekerja sama
menemukan si pelaku pembunuhan sebenarnya sebelum jatuh korban lain di tahun
2015.
Secara garis besar, TR memang
punya premise yang sangat menarik. Time travel atau time paradox mungkin sudah
cukup sering diangkat, terutama Hollywood, begitu juga dengan blending tema
romance, seperti yang paling saya ingat
The Time Machine (2002) dan The
Butterfly Effect. Karena masih berupa fiksi (dan ada pula yang
menganggapnya sekedar fantasi), belum ada pembuktian yang empirik bahwa time
travel memungkinkan terjadi, maka segala sesuatunya yang terjadi sebagai akibat
dari perjalanan waktu adalah sebuah paradoks. Dalam film, ini harus dijaga
dengan sangat hati-hati untuk mencegah plothole sekecil apapun. Tak mudah
memang, karena jujur, sebenarnya inevitable, tapi setidaknya harus ada
logika-logika utama yang dipatuhi, atau jika punya teori (aturan) sendiri,
harus selalu dipatuhi. Tanpa perlu susah-susah memikirkan logika yang terlalu
jauh tentang aspek sci-fi (khususnya time paradox), di permukaan cerita TR tak
terasa punya masalah yang begitu berarti. Penonton terawam pun bisa dengan
mudah memahaminya. Kemudian, kemasan yang ternyata lebih dominan dan lebih
bikin penasaran penonton ketimbang konsep time paradox-nya adalah thriller
investigatif yang ditata dengan
baik pula dan pada banyak kesempatan, menegangkan. Sedikit mengingatkan saya
akan Montage (2013), mulai setup tentang unsolved case sampai konsep ‘pancingan’ agar kasusnya terselesaikan, saya
sempat berpikir mungkin ini ciri-ciri khas sinema Korea Selatan bertemakan
investigatif.
Terakhir, TR tak lupa memberikan
sentuhan romance yang oleh beberapa penonton mungkin akan dianggap sebagai
melodrama khas Korea Selatan, lengkap dengan sematan konsep kepercayaan
tradisional tentang reinkarnasi. Bagi saya, unsur romance yang ditampilkan TR
masih dalam kadar yang sangat wajar. Jauh dari kesan melodrama atau cheesy.
Malahan, menurut saya unsur traditional belief menjadi penguat kesimpulan yang
manis pula untuk unsur romance-nya. Mem-blending berbagai aspek ini menjadi
satu adonan, nyatanya dilakukan dengan sangat baik dan seimbang oleh Jae-yong.
Alhasil, meski di beberapa part masih ada ke-kurang lancar-an storytelling,
terutama dalam menjelaskan lapisan-lapisan cerita tertentu, secara keseluruhan
TR bisa dikatakan sebagai satu paket mix-up yang cukup solid. Pun juga
menawarkan cerita yang menarik untuk diikuti dan tetap bikin penasaran hingga
akhir film.
Bisa dibilang kesemua
aktor-aktris pengisi peran-peran sentral tampil sesuai porsi. Terutama sekali
Lee Jin-wook sebagai Gun Woo yang menurut saya tampil sedikit lebih menonjol
dibandingkan Jo Jung-Suk sebagai Ji-Hwan. Secara keseluruhan, keduanya
sama-sama memberikan performa yang baik sesuai porsi peran. Im Soo-jung sebagai
Yoon-Jung sekaligus Jung So-eun juga berhasil mengimbangi keduanya meski dengan
porsi yang sebenarnya tak terlalu banyak. Setidaknya sebagai karakter wanita
yang porsinya paling banyak, Soo-jung masih mampu menjadi daya tarik
tersendiri. Di urutan berikutnya, Jung Jin-young sebagai Kang Seung-beom juga
layak mendapatkan kredit tersendiri karena berhasil membuat penonton penasaran
atas kemisteriusan karakternya.
Sebagai sebuah film dengan dua setting
waktu yang berjalan secara paralel, editing TR memegang peranan penting.
Beruntung editing Shin Min-kyung menurut saya, top notch. Tak hanya rapi dalam
mengedit kedua setting waktu sehingga tidak menimbulkan kebingungan dari
penonton, cut-to-cut kedua setting waktu yang berbeda secara back-to-back di
opening sekaligus menimbulkan kesan gripping action scene, layak mendapatkan
pujian terbesar. Sinematografi Lee Siung-jae pun membingkai kedua setting
berbeda dengan sentuhan yang berbeda sesuai dengan mood dominan masing-masing
setting (soft dan romantic untuk 1983 serta dark dan dinamis untuk setting
2015), lengkap dengan prop-prop cantik hasil desain produksi Lee Yo-han serta
desain kostum yang cukup remarkable dari Jang ju-hee. Sementara musik dari Kim
Jin-sung di beberapa momen terdengar (dramatis) berlebihan, tapi setidaknya tak
sampai mengganggu keseluruhan mood film. In matter of fact, sangat mendukung dan
terdengar unik terutama di adegan-adegan menegangkan.
Jika Anda menggemari tema time
travel/time paradox, sekaligus tidak anti dengan unsur romance yang cukup kuat,
TR bisa dijadikan referensi yang menarik untuk ditonton. Bahkan mungkin sayang
untuk dilewatkan. Sebaliknya, jika Anda penggemar romance a la Korea Selatan,
TR tetap bisa jadi sajian yang manis, dengan variasi warna yang berbeda dari romance biasa.
Lihat data film ini di IMDb.