4/5
Action
Adventure
Blockbuster
Box Office
Comedy
Crime
Drama
Franchise
Heist
Hollywood
Magic
Pop-Corn Movie
sequel
Summer Movie
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Now You See Me 2
Now You See Me (NYSM) adalah sebuah kejutan di tahun 2013, bahkan
bagi Summit Entertainment sekalipun yang saat itu sangat membutuhkan franchise
baru sebagai ‘tambang emas’ pasca berakhirnya Twilight Saga di tahun 2012. Dengan budget sekitar US$ 75 juta, NYSM
berhasil mengumpulkan US$ 351 juta lebih di seluruh dunia. Sebenarnya
kesuksesan NYSM ini sangat beralasan. Mengusung tema sulap spektakuler yang
tergolong sangat jarang diangkat ke layar lebar, dipadukan dengan tema heist
yang bisa memoles tampilan spektakuler sulapnya menjadi sajian seru dan
menegangkan, NYSM jelas punya potensi besar untuk dijadikan franchise berusia
panjang. Apalagi ia juga punya ensemble karakter-karakter menarik yang kerap
menjadi modal penting bagi pengembangan franchise, seperti Fast & Furious yang sudah hampir jilid ke-8. Maka tak lama
setelah dirilis, keputusan membuatkan sekuelnya pun diumumkan. Meski sutradara
Louis Leterrier akhirnya memutuskan mundur dan memilih mengarahkan film komedi
Sacha Baron Cohen, The Brothers Grimsby,
Jon M. Chu Step Up 2 The Streets, Step Up 3D, dan G.I. Joe: Retaliation) sebagai pengganti juga nama yang tak boleh
diremehkan, terutama untuk film dengan atraksi visual memanjakan mata dan
beritme dinamis. Aktris Isla Fisher juga memutuskan mundur karena kehamilan
ketiganya bersama Sacha Baron Cohen. Tenang, sosok wanita di gang The Four
Horsemen digantikan oleh karakter baru yang diperankan oleh Lizzy Caplan yang
tak kalah menarik. Begitu antusiasnya Summit hingga mengumumkan rencana
pembuatan installment ketiganya setahun sebelum perilisan installment kedua,
yaitu dirilis sekitar 2017/2018 dengan Jon M. Chu yang masih duduk di bangku
sutradara. Summit Entertainment pun menjanjikan formula franchise besar summer
movie: bigger and merrier with more characters.
Now You See Me 2 (NYSM2) dibuka setahun setelah aksi bak Robin Hood
mereka dengan kemasan pertunjukan sulap spektakuler. The Four Horsemen memilih
untuk hidup low profile, jauh dari publisitas, sambil mempersiapkan pertunjukan
spektakuler lainnya yang menunggu instruksi dari The Eye. Agen FBI, Dylan
Rhodes, yang sebenarnya juga bagian dari komplotan The Four Horsemen, akhirnya
memutuskan aksi mereka selanjutnya. Sial, The Four Horsemen dijebak dan diculik
di tengah-tengah pertunjukan. Daniel Atlas, Merritt McKinney, Jack Wilder yang
ternyata masih hidup, dan Lula, our new female Horseman, tiba-tiba terlempar ke
Macau. Satu-satunya petunjuk mereka adalah kehadiran saudara kembar Merritt,
Chase yang membawa mereka ke Walter Mabry, mantan partner Owen yang event
besarnya mereka sabotase sebelumnya. Walter memalsukan kematiannya sendiri dan
berniat membalas dendam kepada Owen yang dianggapnya mencuri idenya dulu. Untuk
itulah The Four Horsemen direkrut (baca: diperas) untuk mencuri memory stick
milik Owen yang diduga akan digunakan untuk mencuri data pengguna perangkat
yang dijualnya.
Sementara itu, Dylan berusaha
keras mencari tahu apa yang terjadi dengan The Four Horsemen. Maka ia datang
kepada Thaddeus yang saat ini berada di balik sel karena menanggung hukuman
atas yang dilakukan oleh The Four Horsemen setahun sebelumnya. Dylan dan
Thaddeus sepakat untuk bekerja sama menemukan The Four Horsemen. Seperti yang
bisa ditebak, Walter punya rencana jahat di balik penggunaan The Four Horsemen
sebagai ‘pion’-nya.
Daya tarik utama dari NYSM
sebenarnya adalah kejutan-kejutan cerita yang diberikan dengan setup-setup
sulap rumit yang spektakuler. Saya sendiri mengakui ide dan kedetailan
aksi-aksi sulap yang dihadirkan, tapi tidak sebagai sebuah satu jalinan film
cerita yang gagal membuat saya peduli akan nasib para karakternya. Berita
buruknya, tak banyak franchise dengan pengulangan jenis dan pola kejutan yang
sama bisa berhasil kembali memikat untuk kesekian kalinya. Contoh yang paling
mudah adalah pola twist Wild Things
(James McNaughton, 1998) yang saat itu begitu fresh tak lagi berhasil untuk
sekuel-sekuelnya yang akhirnya berakhir untuk konsumsi home entertainment saja.
Sayangnya, NYSM2 termasuk kategori gagal dalam hal ini. Balutan plot yang
diimplementasikan, yang sedikit banyak mengingatkan saya akan plot Ocean’s Twelve (Steven Soderbergh,
2004), pun tak banyak membantu membangkitkan excitement saya. Lagi-lagi saya
tidak dibuat peduli dengan nasib karakternya, hanya sekedar penasaran ‘itu
gimana sih kok bisa begitu?’. Setelah mendapatkan jawaban, ya sudah. Just
‘oh…’. Tidak ada perasaan takjub ataupun kekaguman.
Sebenarnya sejak awal film saya
memang tak memasang ekspektasi apa-apa, secara NYSM juga tak memberikan impresi
apa-apa selain pertunjukan sulap spektakuler yang bikin penasaran “how did they
do it?”. Dengan ekspektasi demikian, saya pun masih bisa menikmati satu jam
pertama dari NYSM2. Meski adegan chip heist menurut saya terlalu panjang dan
tak perlu oper-operan sebanyak itu juga, saya masih bisa menikmati energi yang
coba dihadirkan. Namun film jadi terkesan makin dibuat rumit tanpa esensi yang
begitu berarti sejak masuk paruh kedua. Mungkin maksud hati ingin menampilkan
multi layer twist yang terkesan cerdas, tapi di mata saya tak begitu punya urgensi
selain sekedar gaya-gayaan. Saya yang sejak awal tak terlalu peduli dengan para
karakternya pun makin terjerumus dalam kebosanan. Klimaks memang kembali
sedikit membangkitkan rasa penasaran dengan formula pertunjukan sulap
spektakuler. Ya, setidaknya upaya ini masih bisa bikin saya kembali penasaran,
meski pada akhirnya sekali lagi saya hanya bereaksi, “oh gitu aja to”. Jujur,
level pertunjukan klimaks NYSM2 masih di bawah NYSM. Adegan penjelasan post-revealing
yang terlalu detail terkesan unnecessary, tapi untungnya diedit dengan cepat
sehingga tak sampai (lagi-lagi) melelahkan saya.
Aktor-aktor inti seperti Jesse
Eisenberg, Woody Harrelson, Dave Franco, Mark Ruffalo, Morgan Freeman, dan
Michael Caine masih memberikan performa yang tak beda jauh dari NYSM. Eisenberg
sudah begitu melekat dengan karakter Daniel Atlas dan menjadi yang paling
noticeable. Double performance Harrelson di sini sebagai Merritt sekaligus Chase
tergolong biasa saja, tak memberikan tambahan value apa-apa dari performa di
seri sebelumnya. Sementara Lizzy Caplan yang dipasang sebagai the Horsemen’s
Sweetheart berhasil mencuri perhatian dan menggantikan peran Isla Fisher dengan
karakternya sendiri yang memang appealing.
Daniel Radcliffe sebagai Walter
Mabry tampil menarik. Image Harry Potter dan babyface yang melekat begitu kuat
pada dirinya (yang membuat dirinya sebagai seorang ayah di The Woman in Black masih terasa aneh) bisa sedikit terlepaskan di
sini. Terakhir, Jay Chou dipercaya sebagai Li yang sayangnya, tak punya banyak
porsi maupun peran penting, selain sekedar cameo (dan bonus pengisi
soundtrack?).
Di balik lemahnya naskah,
sinematografi dari Peter Demin dan editing Stan Salfas memegang peranan penting
agar setidaknya hasil akhir NYSM2 masih bisa dinikmati dan diikuti. Detail pertunjukan
sulap berhasil direkam oleh Demin, sementara Salfas juga berhasil menjaga ritme
cerita menjadi dinamis di balik perkembangan plot yang terlalu berbelit-belit.
Bryan Tyler masih memberikan nafas grande dan blockbuster di tiap adegan,
terutama adegan-adegan pertunjukan sulap yang menjadi lebih terasa megah. Plus,
full-orkestra di credit yang begitu memanjakan telinga lewat surround sound
mixing-nya. Pilihan soundtrack pun lebih dari cukup untuk mewarnai suasana
energetic sepanjang film, mulai This Magic
Moment dari The Drifters, Purple Haze
dari Jimi Hendrix, Magic Moment dari
Perry Como, Freedom dari Pharrell
Williams, Magic Stick dari 50 Cent
feat. Lil’ Kim, sampai warna-warna urban oriental seperti Jay Chou sendiri,
MJ116 featuring MC Hot Dog, KO Star, dan Luo Jin.
Fasilitas Dolby Atmos masih
dimanfaatkan untuk beberapa momen. Sedikit terasa terutama pada kanal-kanal ceiling, seperti suara brankas
yang dijatuhkan ke laut, dan pesawat yang melaju kencang, meski secara
keseluruhan tak terlalu signifikan pula.
So, set your expectation right.
Jika Anda termasuk yang ‘mendewakan’ NYSM pertama, maka besar kemungkinan Anda
tetap akan memuja-muja NYSM2. Tapi jika Anda termasuk penonton seperti saya
yang hanya menikmati pertunjukan-pertunjukan sulap spektakulernya saja, nikmati
saja tiap suguhan pertunjukannya. Tak perlu buang-buang tenaga untuk memikirkan
twist atau plot ‘sok ribet’-nya yang sebenarnya tak perlu. Setidaknya dengan
cara demikian, NYSM2 masih bisa sekedar menjadi hiburan ringan. NYSM3? Well,
mungkin saja proyeknya bakal tetap dilanjutkan. Semoga siapa saja penulis
naskah dan sutradara yang ditunjuk bisa menemukan pakem cerita yang lebih
menarik untuk membuat franchise-nya berumur panjang seperti Fast and Furious.