3.5/5
anthology
Cult
Fantasy
Hollywood
Horror
Indie
interwoven
occultism ritual
Omnibus
redemption
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Southbound
Pernah menyaksikan film antologi
atau yang di sini dikenal sebagai omnibus, dimana dalam satu film panjang
terdiri dari beberapa film pendek? Bagi saya, menyaksikan antologi horor punya
kenikmatan tersendiri. Alasannya terutama karena tingkat keberhasilan film horor diukur dari kemampuannya merangkai adegan menegangkan atau menyeramkan sehingga
bisa dengan efektif tersampaikan dalam waktu yang tak terlalu panjang. Dengan
racikan dan urutan yang pas, antologi horor bisa jadi paket hiburan yang
menarik. Apalagi dengan feel grindhouse a la B-class movie yang somehow,
ngangenin. Sayang tak banyak antologi horor yang masuk bioskop Indonesia.
Selain karena rata-rata diproduksi secara independen yang mana peredarannya
jadi terbatas, tak banyak distributor yang tertarik membawa ke sini karena
potensi penonton yang tak terlalu banyak, akibat dari minim promo yang akhirnya
menjadi segmented. Padahal di Amerika Serikat sendiri ada beberapa judul
antologi horor yang menurut saya menarik dan bahkan wajib tonton bagi penggemar
horor, seperti seri V/H/S (2012) dan
favorit saya, ABC’s of Death (2012 - bayangkan, ada 26 film pendek yang
judulnya urut sesuai alfabet! Menarik bukan?). Bagi yang belum tau, Indonesia juga pernah berpartisipasi di
proyek antologi Amerika Serikat ini, yaitu L
for Libido besutan salah satu sutradara Rumah
Dara, Timo Tjahjanto, dengan bintang antara lain Kelly Tandiono, Paul
Foster, Gary Iskak, dan Epy Kusnandar. Selain itu ada pula Safe Haven di antologi V/H/S/2
(2013) karya Gareth Evans dan Timo Tjahjanto yang dibintangi Fachri Albar,
Hannah Al Rashid, Oka Antara, dan Epy Kusnandar.
Selain antologi/omnibus, ada lagi
istilah interwoven, yaitu kumpulan film-film pendek yang terkumpul masih punya
benang merah yang saling menyambung. Studio major Hollywood lebih sering
menggunakan jenis ini. Bisa dipahami, kesinambungan cerita menjadi satu
kesatuan yang utuh lebih penting untuk konsumsi layar lebar. Sebut saja
film-film Iñárritu seperti Amores Perros
dan Babel, Vantage Point, atau Go!.
Kali ini Brad Miska, Chris Harding, Roxanne Benjamin, dan Radio Silence yang
pernah bekerja sama di seri-seri V/H/S,
mencoba sekali lagi menghadirkan antologi dengan konsep lain lagi. Mereka turut
menggandeng Greg Newman dan Badie-Hamza-Malik B. Ali yang pernah melahirkan
horor-horor indie macam Stake Land, The House of the Devil, The Innkeepers, dan Starry Eye, untuk menghadirkan Southbound.
Berdasarkan idiom Bahasa Inggris ‘going south’ yang artinya berujung buruk atau
tidak sesuai ekspektasi, ada lima segmen di Southbound
yang saling berkaitan: The Way Out, Siren, The Accident, Jailbreak,
dan The Way In. Beruntung kali ini
ada distributor film lokal yang mengimpornya untuk ditayangkan di
bioskop-bioskop Indonesia.
Dibuka dengan The Way Out (TWO), Mitch dan Jack tampak
sedang dikejar-kejar oleh sosok makhluk aneh yang melayang-layang. Semakin aneh
lagi, semakin jauh mereka mengendarai mobil, mereka ternyata hanya
berputar-putar di tempat yang sama. TWO menjadi pembuka sekaligus pemanasan
untuk memperkenalkan seperti apa gambaran Southbound
seluruhnya. Tak membiarkan semuanya terjawab jelas, fokus cerita beralih ke
segmen berikutnya, Siren.
Sadie, Ava, dan Kim adalah
personel band cewek yang sedang perjalanan menuju lokasi konser. Di tengah
jalan, van mereka mogok dan peradaban terdekat jaraknya masih bermil-mil. Mau
tak mau mereka menerima tumpangan dari pasangan aneh yang seolah punya gaya
hidup ala 70-an yang mengaku anak tetangganya seorang montir. Sesampai di rumah
pasangan itu, Sadie merasakan ada yang aneh dengan pasangan ini. Terutama
setelah Sadie mendengar pasangan itu menyebut kematian Alex, salah satu
personel band mereka yang meninggal dunia. Namun Ava dan Kim tidak menghiraukan
kecurigaan Sadie. Keanehan semakin menjadi-jadi ketika makan malam bersama
keluarga Kensington yang tak kalah anehnya.
Segmen ketiga, The Accident, membidik seorang pria
bernama Lucas yang menyetir di highway sambil menelepon istrinya, Claire. Tak
sengaja Lucas menabrak seorang gadis yang akhirnya terluka parah. Saking
paniknya, Lucas membawa gadis yang untungnya masih bernafas itu mencari
pertolongan di kota terdekat. Anehnya, kota itu bak tak berpenghuni. Rumah
sakit yang ia temukan pun seolah sudah terbengkalai puluhan tahun. Dengan
bantuan petunjuk lewat telepon dari 911, Lucas terpaksa menangani sendiri gadis
yang kondisinya semakin parah itu dengan cara yang sangat ekstrim.
Jailbreak mengestafet cerita dari seorang wanita yang memberi
petunjuk Lucas lewat line 911. Setelah menutup telepon, ia mengunjungi sebuah
bar. Tak lama duduk, seorang pria masuk dengan membawa shotgun. Mengaku bernama
Danny, ia mencari adik perempuannya, Jessie. Akhirnya seorang bartender membawa
Danny ke belakang Freez’n Over sambil memperingatkannya untuk segera
meninggalkan kota itu selagi bisa. Setelah bertemu sang adik, barulah Danny
sadar bahwa peringatan sang bartender sebelumnya bukan tanpa sebab.
Terakhir, film ditutup dengan The Way In yang menjelaskan bagaimana
awal mula segmen pertama, The Way Out,
bermula. Sebuah keluarga kecil yang terdiri dari Cait dan Daryl, beserta putri
tunggal mereka, Jem. Mereka berencana menghabiskan akhir pekan kali ini bersama
di sebuah vila sebelum Jem mulai kuliah. Siapa sangka, mereka menjadi korban
home invasion oleh sekelompok pria bertopeng. Daryl yang akhirnya sadar siapa
komplotan bertopeng ini dan tujuan mereka datang tak punya banyak pilihan
selain berusaha semaksimal mungkin agar Jem selamat. Keadaan menjadi berbalik
ketika ada sosok mengerikan yang memburu komplotan bertopeng ini.
Punya lima segmen yang saling
berhubungan dan runtut menjadikan Southbound
bak satu film utuh. Ini menguntungkan sehingga cerita bisa dinikmati dengan
lebih mudah, tanpa harus banyak memikirkan benang merahnya. Apalagi ending
segmen terakhir memang terhubung langsung dengan segmen pembuka, sehingga menjadikannya
ibarat garis yang membentuk lingkaran penuh. Memang pada akhirnya menimbulkan
pertanyaan, jika sejak segmen pertama hingga terakhir berjalan secara linear,
bagaimana mungkin endingnya kembali menyambung ke adegan pembuka?
Jika Anda melihat tiap segmen
sebagai film-film pendek yang berdiri sendiri, maka bisa jadi Anda akan merasa
bahwa kesemuanya tak memiliki konsistensi ketegangan dan ke-solid-an cerita.
Ini tak salah, karena menurut saya pun kesemua segmen ini tak punya porsi (termasuk
juga tingkat ‘ke-penting-an’) yang sama. Pada akhirnya ada beberapa segmen yang
begitu menonjol sementara yang lainnya biasa saja. Itu wajar sadalam sebuah
antologi. Toh, film juga perlu me-manage ‘rollercoaster’ film agar tiap
momen-nya terasa pas dan efektif untuk penonton. Tak mungkin terus-terusan
disodori ketegangan. Jika harus memilih, maka saya mengurutkan dari segmen paling
favorit sampai yang paling biasa saja sebagai berikut: The Accident, Siren, The Way In, The Way Out, dan terakhir, Jailbreak.
Kelimanya menurut saya sama-sama menyuguhkan cerita horor waddafuck yang
sama-sama mengerikan dan unik dengan gaya visual yang mengingatkan saya akan Twilight Zone.
Above all, yang membuat saya mengapresiasi
Southbound lebih dari sekedar
antologi horor biasa adalah konsep besar tentang redemption yang menjadi underline
permasalahan di tiap segmen. Ada yang berhasil menebus kesalahan dengan
memperbaikinya hingga akhirnya selamat, tapi ada pula yang alih-alih menebus
kesalahan tapi justru memperburuk karma. Narasi dari penyiar radio yang membuka
sekaligus menutup film menjadi konklusi yang mempertajam tema besar ini.
Southbound tak memakai nama-nama aktor terkenal untuk mengisi
peran-perannya. Namun bukan berarti kesemuanya tak mampu menjadi daya tarik
selama durasi berjalan. Hampir tiap aktornya memainkan karakter masing-masing
sesuai dengan porsinya dan berhasil. Beberapa yang menurut saya paling menarik
perhatian adalah Fabianne Therese sebagai Sadie (segmen Siren), Mather Zickel sebagai Lucas (segmen The Accident), Hassie Harrison sebagai Jem, Chad Villella sebagai
Mitch, dan Matt Bettinelli-Olpin sebagai Jack. Terakhir, Max dan Nick Folkman
sebagai si kembar Kensington yang tampak mengerikan di balik sikap pendiamnya.
Kelima segmen Southbound tak hanya disutradarai dan
naskahnya ditulis oleh orang yang berbeda-beda, tapi juga sinematografer dan
editor yang berbeda-beda pula. Konsistensi kesinambungan cerita dan pace yang
terjaga bak satu film utuh yang dikerjakan oleh orang yang sama, jelas menjadi
poin kelebihan tersendiri. Gaya visual grindhouse memang bukan sesuatu yang
benar-benar baru, tapi karena termasuk jarang di peredaran luas, maka desain
produksi Jennifer Moller beserta timnya patut diberi kredit tersendiri,
terutama dalam menjaga kontinuiti tema desain sepanjang film. Terakhir, tentu
tak boleh melupakan scoring dari The Gifted yang memasukkan musik-musik synth
ala horor 70-80’an seperti Twilight Zone
yang begitu signatural sekaligus membangun nuansa eerie.
Di tengah suguhan horor klasik a
la James Wan yang mewarnai scene horor beberapa tahun terakhir, kehadiran Southbound dengan konsep antologi
interwoven, ide-ide cerita waddafuck, dan kemasan grindhouse a la B-class movie
jelas terasa begitu menyegarkan. Apalagi kemudian ternyata ia berhasil membawa
konsep besar yang cukup solid pula, maka saya tak akan heran jika kelak ia menjelma
menjadi salah satu antologi horor klasik sepanjang masa.
Lihat data film ini di IMDb.