3/5
Action
Bromance
Buddy
Comedy
Crime
Espionage
Hollywood
Investigation
Pop-Corn Movie
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Central Intelligence
Action-comedy dengan tema buddy
adalah salah satu formula favorit Hollywood yang sering diangkat ke layar
lebar. Formula dasarnya mudah: menyatukan dua orang dengan latar belakang yang
jauh berbeda atau kepribadian bertolak belakang sehingga menimbulkan kelucuan-kelucuan
ketika harus menyelesaikan sebuah konflik. Kebanyakan sih mengambil latar
belakang kepolisian atau agen rahasia untuk membangun konfliknya. Entah sudah
ada berapa puluh atau malah ratusan pasangan buddy yang pernah dipopulerkan
dengan berbagai variasi, mulai Afro-American dan Caucasian di franchise
legendaris Lethal Weapon sampai
Afro-American dan Chinese di franchise
Rush Hour. Afro-America tampaknya menjadi salah satu karakter wajib ada di
film buddy action-comedy Hollywood. Mungkin faktor karakter Afro-American yang
identik big-mouth dan kocak menjadi daya tarik tersendiri. Terkesan rasis
memang, tapi jika untuk kausa yang positif dan berhasil, why not? Embrace it!
Sutradara Rawson Marshall Thurber
yang kita kenal lewat Dodgeball: A True Underdog
Story dan We’re the Millers,
tertarik juga untuk mengangkat action-comedy yang sudah menjadi root-nya selama
ini dengan tema buddy bertajuk Central
Intelligence (CI). Dengan menggandeng penulis naskah dari serial Hulu, The Mindy Project dan FTV Megawinner, Ike Barinholtz dan David
Stassen, Thurber sekaligus ‘menyatukan’ New Line Cinema (yang merupakan bagian
dari WarnerBros) dan Universal Pictures, yang mana merupakan pertama kalinya
setelah Twister 20 tahun yang lalu.
Konsepnya yang menggabungkan tema buddy dengan tema teenage bullying menjadi
lebih menarik (setidaknya untuk dijadikan value added atau sekedar setup joke).
Calvin Joyner bekerja sebagai
seorang akuntan di sebuah perusahaan. Saat ini Calvin merasa seiring dengan
waktu dirinyanya semakin mengalami kemunduran ketimbang kemajuan. Bagaimana
tidak, asistennya dulu kini ‘melangkahi’ jabatannya setelah dipromosikan oleh
atasan, ditambah tekanan dari sang istri, Maggie, yang terus-terusan
menginginkan anak. Saking malunya, Calvin enggan menghadiri pesta reuni SMA
karena dulu ia dinobatkan sebagai ikon sekolah yang diprediksi akan menjadi
orang besar. Ketika tiba-tiba ada friend request dari seseorang bernama Bob
Stone di Facebook, Calvin penasaran siapa sosok yang mengaku teman SMA-nya ini.
Setelah ketemuan, Calvin kaget setengah mati ternyata Bob Stone adalah Robbie
Weirdicht yang dulunya overweight dan jadi korban bullying favorit satu
sekolah. Bagi Bob, Calvin adalah sosok pahlawan yang menolongnya ketika ia
dipermalukan di sekolah dulu. Kini Bob bertransformasi menjadi sosok tinggi
tegap bak binaragawan.
Siapa sangka pertemuan kembali
Calvin dan Bob adalah awal dari petualangan yang merubah nasib Calvin yang
selama ini dirasa membosankan. Bob mengaku sebagai seorang agen CIA yang sedang
dikejar-kejar oleh satuannya karena difitnah membelot ketika menyelesaikan misi
menangkap sosok Black Badger yang berniat menjual kode rahasia satelit kepada
penawar tertinggi. Sempat dilanda kebingungan, Calvin tak punya pilihan selain
ikut terlibat dalam aksi kejar-kejaran ini. Calvin semakin bingung ketika pihak
CIA menjelaskan justru Bob yang berkhianat dan bahkan membunuh partnernya
sendiri, Phil. Along the way, Calvin harus menyelidiki sendiri mana yang bisa
ia percaya.
Sebenarnya dengan membaca premise
dan konsep secara garis besar, apa yang ditawarkan CI tergolong teramat sangat
generik. Membuka cerita dengan sangat baik, di tengah-tengah naskah CI terasa
mulai kedodoran, terutama ketika karakter Calvin kebingungan memilih pihak;
mempercayai Bob atau CIA. Bahkan cukup lama adegan berputar-putar untuk
meyakinkan (atau malah membingungkan) Calvin tanpa memberikan materi setup yang
cukup penting berarti bagi laju cerita. Setelah berhasil mengembalikan keseruan
di klimaks, CI malah menawarkan konklusi yang kelewat prechy tentang bullying.
It’s okay actually, tapi ketika disampaikan dengan terlalu serius (apalagi
untuk sebuah komedi) hasilnya malah jadi berlebihan ketimbang menyentuh. Shortly,
sebenarnya CI masih kebingungan menyeimbangkan komedi aksinya dengan valued
content yang ingin disampaikan sehingga hasil akhirnya terkesan fully-stuffed,
tidak sepenuhnya mulus berjalan beriringan ataupun saling mendukung.
Naskah yang sempat mengalami
kedodoran mempengaruhi pula pada nuansa CI secara keseluruhan. Memang bombardir
adegan-adegan aksi terhitung cukup banyak, tapi di antaranya terbentang cukup
lama adegan-adegan drama (memang masih diselipi jokes-nya sih) yang membuat
nuansa film berubah drastis menjadi lebih lengang. Tak heran jika di banyak
kesempatan, CI lebih terasa seperti FTV atau film video ketimbang sajian layar
lebar.
Namun tentu yang menjadi concern
terbesar penonton adalah bisa tertawa terbahak-bahak lewat bertemunya Dwayne ‘The
Rock’ Johnson dan Kevin Hart, ketimbang jalinan cerita. For that purpose, tim
penulis naskah cukup berhasil menyuntikkan berbagai jenis joke, terutama
referenced jokes (termasuk ‘bitch’ pronounce dari Aaron Paul yang merujuk pada
karakternya di serial Breaking Bad),
racial jokes (‘black don’t go to the psychiatrist, they go to the barbershop’
LOL!), hingga slapstick jokes yang jelas lebih bisa berhasil memancing tawa
lebih banyak penonton karena tak butuh referensi apa-apa untuk memahaminya.
Worked and failed, tergantung seberapa jauh Anda bisa dibuat tertawa oleh
humor-humornya, yang receh atau yang butuh referensi lebih.
Duet Dwayne Johnson dan Kevin
Hart jelas menjadi spotlight utama penonton, secara memang itu pula yang menjadi komoditas utama CI. Secara
keseluruhan, keduanya cukup mampu membangun chemistry yang meyakinkan sekaligus
kocak, meski ada beberap momen yang masih terkesan awkward. Dwayne Johnson
sendiri kali ini ditantang untuk menghidupkan momen yang lebih serius, terutama
ketika Bob dihadapkan pada trauma masa SMA-nya. Luckily, he did it very well.
Sementara Hart cukup berhasil pula menjadi comedic character. Sayangnya,
transisi antara Calvin sebelum bertemu Bob yang kelewat serius dan depresif
hingga setelah bertemu Bob menjadi jauh lebih ceriwis bak Chris Tucker, terasa
terlalu drastis dan terkesan dibuat-buat. Either salah naskah yang menuliskan perkembangan
karakternya, Thurber yang mengarahkan, atau Hart sendiri yang salah menginterpretasi
karakter yang dimainkannya.
Di deretan peran pendukung, Aaron
Paul sebagai Phil, mantan partner Bob, tampil gokil dengan sedikit banyak
merujuk pada karakter Jesse Pinkman yang ia perankan di serial Breaking Bad. Cameo dari Jason Bateman
dan Melissa McCarthy pun tak kalah gokil-nya. Terakhir, Danielle Nicolet
sebagai Maggie, istri Calvin yang cukup menarik perhatian lewat kharisma
smart-sexy meski porsinya tak begitu banyak.
CI didukung sinematografi dari Barry
Peterson yang mungkin memang tak terlalu istimewa, tapi lebih dari cukup
efektif ber-storytelling. Editing Michael L. Sale sendiri sebenarnya cukup berperan
dalam menjaga pace secara keseluruhan, termsauk ketika sampai pada plot yang
sempat mengalami kedodoran. Kredit khusus untuk pemilihan soundtrack yang
memanjakan anak gaul 90-an macam My Lovin’
(You’re Never Gonna Get It) dari En Vogue, Unbelievable dari EMF, Me So
Horny dari 2 Live Crew, Jump Around
dari House of Pain, Party Up (Up in Here)
dari DMX, sampai My Own Worst Enemy
dari Lit dan Song 2 dari Blur.
Beberapa tergolong overrated, tapi bagi saya cukup membangkitan nostalgia kejayaan
era 90-an.
Meski menjanjikan valued content
lebih ketimbang buddy action-comedy lainnya, tanpa dukungan penulisan naskah
yang solid dan seimbang, serta penyutradaraan yang benar-benar tepat, CI harus
jatuh menjadi just another one. Namun jika Anda hanya ingin dibuat tertawa oleh
Dwayne Johnson-Kevin Hart dan merasa punya referensi film dan Afro-American
yang cukup luas, CI boleh lah menjadi pilihan hiburan ringan.
Lihat data film ini di IMDb.