3D
4/5
Adventure
Animation
Blockbuster
Box Office
Comedy
Family
Franchise
Friendship
Hollywood
IMAX
Kid
Parenting
Pop-Corn Movie
Psychological
quotebanner
sequel
Summer Movie
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Finding Dory
Meski konsisten memproduksi
animasi-animasi dengan cerita orisinil yang selalu unik, Pixar sesekali
menengok kembali karya-karya paling remarkable (dan tentu saja yang laris)
untuk kemungkinan dibuatkan sekuel atau perkembangan franchise. Apalagi franchise
dengan kekuatan besar adalah aset-aset penting bagi perusahaan yang harus
dilestarikan. Speaking of franchise, Pixar tentu punya banyak sekali stock
valuable material. Malah tiap film panjang (dan bahkan tak terkecuali film-film
pendek juga) yang diproduksi mereka punya kekuatan sebagai franchise yang
rata-rata setara. Sampai sekarang terhitung sudah ada Toy Story (3 menuju 4 film), Cars
(2 menuju 3 film), dan Monsters Inc.
(2 film). Setelah ini masih ada The Incredibles 2 yang dipersiapkan
untuk rilis tahun 2019.
Finding Nemo (FN, 2003) adalah salah satu animasi sukses sekaligus
diakui sebagai salah satu terbaik dari Pixar dengan penghasilan US$ 936 juta
lebih di seluruh dunia. Maka tak heran jika Pixar tertarik untuk makin
melebarkan franchise ini. Instead of a sequel, sebenarnya Finding Dory (FD) lebih cocok jika disebut sebagai spin-off.
Kendati demikian, tampilnya karakter utama di FN; Nemo dan Marlin dengan porsi
yang tak kalah dibandingkan Dory, masih sah jika FD disebut sebagai sekuel FN.
Andrew Stanton masih duduk di bangku sutradara sekaligus penulis naskah,
dibantu Angus MacLane (pernah terlibat di departemen animasi Pixar dengan
berbagai jabatan mulai A Bug’s Life
hingga Toy Story 3) dan Victoria
Strouse. Beberapa voice talent kembali mengisi suara, seperti Albert Brooks
sebagai Marlin dan tentu saja Ellen DeGeneres sebagai Dory. Sementara karakter
Nemo yang dulunya disuarakan oleh Alexander Gould digantikan Hayden Rolence
karena perubahan suara Gould.
Meski punya rentang waktu sekuel
yang cukup lama, yaitu 13 tahun, FD mengambil setting setahun setelah ending
FN. Dory kini tinggal bersama Marlin dan Nemo di Great Barrier Reef. Sesekali
Dory menjadi asisten relawan untuk Mr. Ray yang memimpin karyawisata laut.
Suatu ketika topik keluarga sedang dibahas, mendadak Dory mengingat ayah-ibunya
yang sudah lama tidak ia ingat. Sepotong demi sepotong ingatan kembali dan
membuat Dory tak sabar ingin menemukan orang tuanya yang diduga berada di Jewel
of Morro Bay, California. Meski sempat khawatir, Marlin dan Nemo akhirnya
memutuskan untuk menemani petualangan Dory terutama karena ia tak bisa
mengingat sesuatu untuk jangka waktu yang lama. Di perjalanan yang tak terduga,
Dory terpisah dari Marlin dan Nemo, tapi dibantu oleh Hank si gurita
bertentakel tujuh (alias septopus) yang mengincar label yang dimiliki Dory agar
bisa diangkut ke Cleveland. Dory juga menemukan sahabat pipanya sejak kecil,
seekor paus hiu bernama Destiny dan seekor paus beluga, Bailey yang juga turut
membantunya. Petualangan mencari orang tua ini ternyata membuat Dory makin
menemukan dirinya sendiri.
Tak berbeda jauh dari FN, Pixar
yang beberapa filmografi terakhirnya tergolong ‘berat’ secara konsep, kali ini
kembali memakai formula untuk mengedepankan aspek petualangan seru sebagai
porsi terbesarnya. Ini yang membuat FD bisa dinikmati sebagai tontonan hiburan
yang seru sekaligus menggelitik untuk penonton dari berbagai kalangan usia.
Meski dari luar terkesan seru dan lucu, jika mau dipikir-pikir lagi, sebenarnya
ada cukup banyak penggambaran sosok Dory yang cukup detail sebagai penderita
short-term memory loss yang bikin iba. Bahkan ketika menonton untuk kedua
kalinya, saya lebih merasakan nuansa dark (baca: mellow) yang lebih banyak
membuat saya terdiam dan berpikir, ketimbang ceria yang lebih sering saya
rasakan ketika menontonnya pertama kali.
Di balik kemasan petualangan
seru, lucu, penggambaran penderita short-term memory loss yang detail, dan
trivia-trivia kelautan yang disematkan secara menarik serta menyatu dalam plot,
Pixar tak melupakan value-value sebagai intinya yang mungkin lebih bisa
dipahami oleh penonton yang lebih dewasa, seperti konsep tentang keluarga,
kejadian tak terduga yang membentuk hidup, bukannya perencanaan, serta yang
paling penting, mengubah kelemahan menjadi kelebihan ketika dipahami,
diantisipasi. Come on, tak bisa mengingat hal dalam waktu singkat berarti tak
ada masalah untuk dipikirkan, bukan?
Ellen DeGeneres menunjukkan
kualitas voice-acting yang semakin mumpuni lewat karakter Dory yang juga
ditampilkan lebih kompleks di sini. Tanpa mengurangi comedic side yang masih
sama dengan di FN lewat kelainannya sebagai main source, kali ini penonton
diajak untuk merasakan sisi kelam dari kelainan short-term memory loss. Ada
cukup banyak momen dimana saya dibuat iba dan terdiam terhadap karakter Dory,
meski bagi beberapa penonton lain mungkin menganggapnya lucu. Ellen berhasil
menampilkan ‘penderitaan’ Dory dengan pas, seimbang dengan sisi karakter Dory
yang ceria dan spontaneous. Albert Brooks sebagai Marlin juga masih menunjukkan
performa yang setara di FN. Hayden Rolence pun mampu melanjutkan peran Nemo
yang sudah lebih dulu dihidupkan oleh Alexander Gould tanpa perbedaan yang
terlalu mencolok. Ed O’Neill sebagai Hank mencuri perhatian karena porsi
perannya yang cukup banyak dan penting, serta mampu dihidupkan menjadi lovable
pula.
Di jajaran voice cast pendukung,
Kaitlin Olson sebagai Destiny, Ty Burrell sebagai Bailey, Idris Elba sebagi
Fluke, dan Dominic West sebagai Rudder menampilkan performa voice yang sama
menariknya, sesuai dengan karakter masing-masing yang memang sudah unik. Eugene
Levy dan Diane Keaton sebagai Charlie dan Jenny, ayah-ibu Dory, menjadi pilihan
pasangan orang tua yang begitu pas. Terakhir, tentu tak boleh melupakan
Sigourney Weaver yang kembali menjadi cameo setelah sebelumnya pernah tampil di
Wall-E.
Seperti biasa, Pixar selalu
memamerkan perkembangan teknologi di tiap karya animasinya, apalagi setelah
punya software animasi sendiri yang diberi nama Presto. Kali ini yang menjadi
pusat perhatian adalah animasi karakter Hank si septopus. Mengaku menghabiskan
sekitar 2 tahun untuk adegan-adegan yang melibatkan Hank, hasilnya memang
sangat luar biasa. Tak hanya pergerakan tubuh serta tentakel Hank yang begitu
mulus dan tekstur tubuh yang begitu real, visual effect untuk adegan-adegan
kamuflase Hank begitu mencengangkan. Nyaris membuat saya lupa bahwa ini adalah film animasi 3D saking
nyata dan mulusnya. Animasi karakter-karakter lain seperti Marlin dan Nemo pun
terasa mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Detail yang luar biasa,
tanpa meninggalkan kesan “kartun” yang membuatnya tetap fun. Tata suara yang
dimixing dengan sangat baik turut mendukung kualitas visual yang begitu
memanjakan mata. Kejernihan dialog dengan kedahsyatan sound effect di tiap
kanal surround, ditambah scoring Thomas Newman yang selalu bisa terdengar megah
tapi tetap menyatu dengan emosi-emosi adegan. Menikmati FD di layar IMAX 3D
sangat-sangat direkomendasikan mengingat aspect ratio-nya yang 1.85:1 sehingga
tampak full-screen di layar IMAX. Bak sedang menyaksikan drama panggung
berlatar aquarium raksasa a la Sea World. Depth of field-nya sangat indah
ditambah sesekali pop-out gimmick yang tak sampai jauh keluar layar tapi tetap
memanjakan mata, seperti adegan ikan-ikan berhamburan keluar dari truk atau
ketika Marlin dan Dory terlempar ke langit.
Lewat FD, Pixar kembali membawa
petualangan seru, tak terduga, dan lucu sebagai menu utama, ketimbang grand
design seperti Inside Out atau
tema-tema berat yang lebih bisa dipahami penonton dewasa ketimbang dinikmati
penonton anak-anak, meski tetap punya detail-detail yang hanya bisa diapresiasi
penonton dewasa. Dengan komposisi antara fun dan value yang seperti ini, FD menjadi sajian yang menyenangkan untuk anak-anak, dan nostalgia sekaligus bahan refleksi diri untuk penonton dewasa. Bagi penonton yang pernah menyaksikan FN, after credit
scene pantang untuk dilewatkan. Begitu juga short animation sebagai pembuka
yang kali ini berjudul Piper yang
secara sederhana dan lucu menjelaskan proses belajar dari seekor burung kecil
yang diarahkan sang induk.
Sekedar info tambahan, Indonesia
kembali diberi privilege untuk punya FD versi dubbing Bahasa Indonesia secara
resmi setelah Wall-E dan The Good Dinosaur. Lebih dari film-film
sebelumnya, FD versi Bahasa Indonesia yang diberi titel baru Mencari Dory (MD) ternyata sangat-sangat
baik. Selain dikerjakan dengan sound mixing yang sangat baik, sehingga efek
surround 7.1 masih terjaga sangat baik, pemilihan-pemilihan kata untuk
menyepadankan dengan Bahasa Indonesia juga dikerjakan dengan sangat baik,
terutama becandaan plesetan yang keluar dari mulut Dory karena lupa kata
aslinya. Memang ada beberapa bagian yang terkesan terburu-buru (mengingat
secara umum Bahasa Indonesia rata-rata lebih panjang dari English) dan emosi
dari karakter utama Dory tak sepenuhnya bisa tersampaikan lewat suara Siska
Tola, tapi jujur, versi MD lebih bisa dinikmati sebagai sebuah petualangan seru
yang lucu. Suara Destiny yang disuarakan oleh Syahrini jauh lebih menarik dan
unik ketimbang Kaitlin Olson, begitu juga untuk pengisi suara Dory kecil versi
MD yang jauh lebih menggemaskan ketimbang aslinya. Adalah ide brilian pula untuk memberikan aksen Madura untuk karakter Chill si kura-kura laut dan memilih Maria Oentoe (voice talent public announcement di jaringan XXI/21) sebagai pengganti Sigourney Weaver. Tak hanya dialog, Disney
juga memperbolehkan menerjemahkan titel card di layar dan bahkan property di
adegan, seperti papan petunjuk, peta, dan tulisan-tulisan di gedung Lembaga
Kelautan. Keren!