The Jose Flash Review
Raman Raghav 2.0 [रमन राघव 2.0]

Tak seperti kebanyakan sineas mainstream Hindi (baca: Bollywood), Anurag Kashyap punya jalan karir yang menarik. Memulai karir di TV series Last Train to Mahakali (1999), di layar lebar ia lebih dikenal sebagai sutradara/penulis naskah spesialis either tema thriller, crime, mafia, dan violence. Namanya mulai dilirik dunia internasional ketika Black Friday (2004), drama thriller tentang pemboman berantai di Bombay tahun 1993 yang begitu kontroversial. Semakin menanjak ketika Gangs of Wasseypur (2012), saga gangster (tiga generasi!) a la The Goodfather dengan setting kota kecil di India bernama Wasseypur, yang ambisius diputar di segmen Director’s Fortnight Cannes Film Festival. Film yang dibagi menjadi dua bagian (dengan total durasi 320 menit!) ini semakin memperkuat posisi Anurag Kashyap sebagai sutradara Hindi yang ‘berbeda’, seperti halnya sang idola, Quentin Tarantino. Kejutan lainnya, ia menjadi salah satu penulis naskah film Kanada, Water yang dinominasikan untuk kategori Best Foreign Language Film of the Year tahun 2007. Tema gangster dilanjutkannya dengan Bombay Velvet (2015) yang tak kalah ambisius dan kali ini dengan sentuhan jazzy. Sayang, Bombay Velvet flop di pasaran dan mendapatkan komentar beragam dari para kritikus. However, Bombay Velvet mendapatkan pujian saat di-screen di Locarno.

Tak mau terus-terusan terpuruk, tahun 2016 Kashyap kembali menghadirkan tema favorit dengan style-style signaturalnya. Diilhami dari sosok Raman Raghav, pembunuh berantai yang meneror Mumbai di pertengahan era 60-an dan tercatat telah membunuh sebanyak 41 korban, Kashyap memutuskan untuk membawa cerita ke setting sekarang untuk menghemat budget (konon budget Raman Raghav 2.0 – RR2.0 – ‘hanya’ 3.5 crore atau sekitar US$ 520.000. Bandingkan dengan Bombay Velvet yang berbudget 120 crore.). Nevertheless, perubahan setting dan cerita yang ‘hanya diilhami’ dari sosok aslinya memberikan keleluasaan bagi Kasyap untuk menyusun naskah, detail visual, kreativitas adegan, tanpa ada batasan dari pihak manapun. Kashyap kembali menggandeng Nawazuddin Siddiqui yang pernah bekerja sama dengannya di Black Friday, Dev D, dan Gang of Wasseypur, Vicky Kaushal (Bombay Velvet), serta Miss Earth India 2013, Sobhita Dhulipala yang mana ini merupakan debutnya berakting.

Seorang pria misterius bernama Ramanna tiba-tiba mengaku telah menghabisi 9 nyawa kepada pihak kepolisian. Inspirasinya adalah sosok Raman Raghav, pembunuh berantai yang beraksi di Mumbai era 60-an. Polisi tak lantas mempercayainya karena selama ini baru ditemukan tujuh korban. Lagipula mereka juga mencurigai bahwa Ramanna hanya mengaku-ngaku telah membunuh karena selama ini hidup susah. Dengan ditangkap, ia membayangkan hidup serba lebih mudah karena mendapatkan tempat tinggal dan makan gratis. Setelah dilepaskan, kegilaan Ramanna semakin menjadi. Satu per satu korban berjatuhan, sampai pada kehidupan sang polisi muda, Raghavan dan pasangannya, Simmy. Raghavan sendiri menghadapi masalah dengan dirinya sendiri, keluarga, dan tentu saja berimbas juga pada hubungannya dengan Simmy. Somehow, Ramanna memburu Raghavan untuk menjadi partner kejahatan.

Lewat RR2.0, Kashyap masih mempertahankan semua remark-nya, mulai adegan-adegan gory violence (meski kebanyakan off-screen), timing dalam menyampaikan membangun thrill meski serba sederhana dan jauh dari kesan bombastis, serta lusinan visual remark lainnya. Secara keseluruhan, atmosfer dan adegan-adegan RR2.0 yang begitu ekstatik berhasil membuat saya terbius dan tenggelam dalam film. Sayangnya, sejauh itu saja impresi RR2.0 bagi saya. Visualisasi yang begitu menghibur, termasuk track-track pengiring adegan ‘sakit’ yang semakin menimbulkan kesan yang kuat, bahkan sampai jauh setelah film berakhir. Konsep besar Kashyap untuk RR2.0 tentang pencarian ‘belahan jiwa’ serta persamaan polisi dan kriminal dalam hal membunuh hanya terkesan sebagai sentilan semata. Masih jauh dari kesan bold. Konsep penceritaan yang terbagi dalam chapter pun terkesan hanya gaya-gayaan saja, tak ada fungsi yang benar-benar krusial, seperti misalnya memperjelas inti dari tiap chapter seperti yang dilakukan oleh Tarantino. Saya yang awalnya mengharapkan ending gila-gilaan bak Gangs of Wasseypur (yang dalam fantasi saya sebenarnya tetap punya relevansi dengan konsep besar cerita. Malah mungkin membuatnya jadi jauh lebih bold sekaligus memorable: menutup film dengan kepuasan penonton semaksimal mungkin), harus puas dengan konklusi yang ‘hanya’ demikian. Sampai pada konklusi, tapi kesannya biasa saja. Sekedar tipis-tipis.

Untung saja selain visual yang menghibur, RR2.0 masih punya performa para aktor yang begitu kuat. Nawazuddin Siddiqui ternyata mampu menghidupkan karakter psikopat dengan sangat mengerikan. Lewat sorot matanya saja saya sudah merasa terintimidasi setengah mati. Ditambah gestur ketika berbicara dan ekspresi wajah yang tampak bisa melakukan hal seekstrim apapun, Nawazuddin menjadi highlight terkuat RR2.0 selain signatural visual Kashyap. Vicky Kaushal pun memberikan performa yang tak kalah kuatnya sebagai Raghavan, polisi muda yang di luar terlihat keras dan beringas, tapi sebenarnya dihantui oleh diri sendiri. Di momen klimaks pun, Nawazuddin dan Vicky membentuk chemistry yang cukup ‘sakit jiwa’. Sementara Sobhita Dhulipala sebagai Simmy sebenarnya tak buruk. Bahkan di momen-momen tertentu ia cukup menarik perhatian berkat kharisma sensual (tapi cerdas)-nya. Sayang naskah tak memberikan cukup banyak porsi penting bagi karakter Simmy (dan juga karakter wanita lainnya, seperti Lakshmi dan Ankita).

Sinematografi Jay Oza mampu mewujudkan visi-visi Kashyap dengan sangat baik, terutama dalam membangun nuansa ‘sakit jiwa’ dan violence yang tetap working meski off-screen. Begitu pula editor Aarti Bajaj yang tergolong efektif menyajikan tiap adegan dengan pace yang cukup pas, sekaligus dalam pembagian chapter. Tata suara menjaga keseimbangan antara silent, crisp, dan kejernihan sound effect dalam mendukung suasana menegangkan sepanjang film. Terakhir, musik-musik pengiring yang begitu sakit jiwa. Mulai Qatl-E-Am dengan sentuhan techno-pop yang begitu memorable dalam ingatan saya sampai sekarang, Behooda yang bernuansa swing untuk mengiringi adegan ‘sakit jiwa’ tak terlupakan, sampai title theme yang menutup RR2.0 yang ekstatik dengan begitu menghentak.

Secara keseluruhan, RR2.0 mungkin bukan karya terbaik Kashyap, meski harus diakui Gangs of Wasseypur pun punya banyak sekali kendala di naskah yang bertele-tele. Mungkin ada baiknya Kashyap mempekerjakan penulis naskah tambahan yang lebih berpengalaman untuk karya-karya berikutnya agar bisa lebih solid dan bold, sementara ia duduk di bangku sutradara saja dimana ia tetap bisa leluasa mengkreasi hasil akhirnya. Kendati demikian, nikmati saja RR2.0 apa adanya. Bisa jadi tanpa diinginkan, kepingan-kepingan adegannya akan menempel terus dalam benak Anda untuk jangka waktu yang cukup lama, seperti yang terjadi pada saya.


Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.