3.5/5
cop
Crime
Drama
Gore
Hindi
Investigation
serial killer
The Jose Flash Review
Thriller
violence
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Raman Raghav 2.0 [रमन राघव 2.0]
Tak seperti kebanyakan sineas
mainstream Hindi (baca: Bollywood), Anurag Kashyap punya jalan karir yang
menarik. Memulai karir di TV series Last
Train to Mahakali (1999), di layar lebar ia lebih dikenal sebagai
sutradara/penulis naskah spesialis either tema thriller, crime, mafia, dan
violence. Namanya mulai dilirik dunia internasional ketika Black Friday (2004), drama thriller tentang pemboman berantai di
Bombay tahun 1993 yang begitu kontroversial. Semakin menanjak ketika Gangs of Wasseypur (2012), saga gangster
(tiga generasi!) a la The Goodfather
dengan setting kota kecil di India bernama Wasseypur, yang ambisius diputar di
segmen Director’s Fortnight Cannes Film Festival. Film yang dibagi menjadi dua
bagian (dengan total durasi 320 menit!) ini semakin memperkuat posisi Anurag
Kashyap sebagai sutradara Hindi yang ‘berbeda’, seperti halnya sang idola,
Quentin Tarantino. Kejutan lainnya, ia menjadi salah satu penulis naskah film Kanada, Water yang dinominasikan untuk kategori Best Foreign Language Film of the Year tahun 2007. Tema gangster dilanjutkannya dengan Bombay Velvet (2015) yang tak kalah ambisius dan kali ini dengan
sentuhan jazzy. Sayang, Bombay Velvet
flop di pasaran dan mendapatkan komentar beragam dari para kritikus. However, Bombay Velvet mendapatkan pujian saat
di-screen di Locarno.
Tak mau terus-terusan terpuruk,
tahun 2016 Kashyap kembali menghadirkan tema favorit dengan style-style
signaturalnya. Diilhami dari sosok Raman Raghav, pembunuh berantai yang meneror
Mumbai di pertengahan era 60-an dan tercatat telah membunuh sebanyak 41 korban,
Kashyap memutuskan untuk membawa cerita ke setting sekarang untuk menghemat
budget (konon budget Raman Raghav 2.0
– RR2.0 – ‘hanya’ 3.5 crore atau sekitar US$ 520.000. Bandingkan dengan Bombay Velvet yang berbudget 120
crore.). Nevertheless, perubahan setting dan cerita yang ‘hanya diilhami’ dari
sosok aslinya memberikan keleluasaan bagi Kasyap untuk menyusun naskah, detail
visual, kreativitas adegan, tanpa ada batasan dari pihak manapun. Kashyap
kembali menggandeng Nawazuddin Siddiqui yang pernah bekerja sama dengannya di Black Friday, Dev D, dan Gang of Wasseypur,
Vicky Kaushal (Bombay Velvet), serta
Miss Earth India 2013, Sobhita Dhulipala yang mana ini merupakan debutnya
berakting.
Seorang pria misterius bernama
Ramanna tiba-tiba mengaku telah menghabisi 9 nyawa kepada pihak kepolisian.
Inspirasinya adalah sosok Raman Raghav, pembunuh berantai yang beraksi di Mumbai
era 60-an. Polisi tak lantas mempercayainya karena selama ini baru ditemukan
tujuh korban. Lagipula mereka juga mencurigai bahwa Ramanna hanya mengaku-ngaku
telah membunuh karena selama ini hidup susah. Dengan ditangkap, ia membayangkan
hidup serba lebih mudah karena mendapatkan tempat tinggal dan makan gratis.
Setelah dilepaskan, kegilaan Ramanna semakin menjadi. Satu per satu korban
berjatuhan, sampai pada kehidupan sang polisi muda, Raghavan dan pasangannya,
Simmy. Raghavan sendiri menghadapi masalah dengan dirinya sendiri, keluarga,
dan tentu saja berimbas juga pada hubungannya dengan Simmy. Somehow, Ramanna
memburu Raghavan untuk menjadi partner kejahatan.
Lewat RR2.0, Kashyap masih
mempertahankan semua remark-nya, mulai adegan-adegan gory violence (meski
kebanyakan off-screen), timing dalam menyampaikan membangun thrill meski serba
sederhana dan jauh dari kesan bombastis, serta lusinan visual remark lainnya. Secara
keseluruhan, atmosfer dan adegan-adegan RR2.0 yang begitu ekstatik berhasil
membuat saya terbius dan tenggelam dalam film. Sayangnya, sejauh itu saja
impresi RR2.0 bagi saya. Visualisasi yang begitu menghibur, termasuk track-track
pengiring adegan ‘sakit’ yang semakin menimbulkan kesan yang kuat, bahkan
sampai jauh setelah film berakhir. Konsep besar Kashyap untuk RR2.0 tentang pencarian
‘belahan jiwa’ serta persamaan polisi dan kriminal dalam hal membunuh hanya
terkesan sebagai sentilan semata. Masih jauh dari kesan bold. Konsep
penceritaan yang terbagi dalam chapter pun terkesan hanya gaya-gayaan saja, tak
ada fungsi yang benar-benar krusial, seperti misalnya memperjelas inti dari
tiap chapter seperti yang dilakukan oleh Tarantino. Saya yang awalnya
mengharapkan ending gila-gilaan bak Gangs
of Wasseypur (yang dalam fantasi saya sebenarnya tetap punya relevansi
dengan konsep besar cerita. Malah mungkin membuatnya jadi jauh lebih bold
sekaligus memorable: menutup film dengan kepuasan penonton semaksimal mungkin),
harus puas dengan konklusi yang ‘hanya’ demikian. Sampai pada konklusi, tapi
kesannya biasa saja. Sekedar tipis-tipis.
Untung saja selain visual yang
menghibur, RR2.0 masih punya performa para aktor yang begitu kuat. Nawazuddin
Siddiqui ternyata mampu menghidupkan karakter psikopat dengan sangat
mengerikan. Lewat sorot matanya saja saya sudah merasa terintimidasi setengah
mati. Ditambah gestur ketika berbicara dan ekspresi wajah yang tampak bisa
melakukan hal seekstrim apapun, Nawazuddin menjadi highlight terkuat RR2.0
selain signatural visual Kashyap. Vicky Kaushal pun memberikan performa yang
tak kalah kuatnya sebagai Raghavan, polisi muda yang di luar terlihat keras dan
beringas, tapi sebenarnya dihantui oleh diri sendiri. Di momen klimaks pun,
Nawazuddin dan Vicky membentuk chemistry yang cukup ‘sakit jiwa’. Sementara
Sobhita Dhulipala sebagai Simmy sebenarnya tak buruk. Bahkan di momen-momen
tertentu ia cukup menarik perhatian berkat kharisma sensual (tapi cerdas)-nya.
Sayang naskah tak memberikan cukup banyak porsi penting bagi karakter Simmy
(dan juga karakter wanita lainnya, seperti Lakshmi dan Ankita).
Sinematografi Jay Oza mampu
mewujudkan visi-visi Kashyap dengan sangat baik, terutama dalam membangun
nuansa ‘sakit jiwa’ dan violence yang tetap working meski off-screen. Begitu
pula editor Aarti Bajaj yang tergolong efektif menyajikan tiap adegan dengan
pace yang cukup pas, sekaligus dalam pembagian chapter. Tata suara menjaga
keseimbangan antara silent, crisp, dan kejernihan sound effect dalam mendukung
suasana menegangkan sepanjang film. Terakhir, musik-musik pengiring yang begitu
sakit jiwa. Mulai Qatl-E-Am dengan
sentuhan techno-pop yang begitu memorable dalam ingatan saya sampai sekarang, Behooda yang bernuansa swing untuk
mengiringi adegan ‘sakit jiwa’ tak terlupakan, sampai title theme yang menutup
RR2.0 yang ekstatik dengan begitu menghentak.
Secara keseluruhan, RR2.0 mungkin bukan karya terbaik
Kashyap, meski harus diakui Gangs of
Wasseypur pun punya banyak sekali kendala di naskah yang bertele-tele.
Mungkin ada baiknya Kashyap mempekerjakan penulis naskah tambahan yang lebih
berpengalaman untuk karya-karya berikutnya agar bisa lebih solid dan bold,
sementara ia duduk di bangku sutradara saja dimana ia tetap bisa leluasa
mengkreasi hasil akhirnya. Kendati demikian, nikmati saja RR2.0 apa adanya.
Bisa jadi tanpa diinginkan, kepingan-kepingan adegannya akan menempel terus
dalam benak Anda untuk jangka waktu yang cukup lama, seperti yang terjadi pada
saya.