The Jose Flash Review
One Way Trip [글로리데이]

Jujur, saya tak begitu familiar dengan sinema Korea Selatan kecuali karya-karya Park Chan-wook dan Bong Joon-ho yang memang sangat populer di kancah internasional atau yang benar-benar booming macam Miracle in Cell No. 7. Untuk urusan teenage romance a la K-drama atau yang dibintangi personel boyband/girlband K-Pop, saya termasuk teramat sangat awam. Apalagi tak banyak film Korea Selatan yang diimpor secara resmi di layar bioskop Indonesia. Jadi ketika ada judul yang terlihat menjanjikan, saya lantas berpikir kenapa tidak mencobanya. One Way Trip (OWT) atau yang dari judul aslinya secara literally berarti Glory Day, dipromosikan sebagai drama persahabatan dan coming of age dari empat orang pemuda laki-laki yang melakukan perjalanan darat. Coming of age, persahabatan, road trip, dengan mudah menarik perhatian saya. Nama sutradara Choi Jeong-Yeol yang ternyata ini merupakan debut film panjangnya, tak terlalu menjadi masalah bagi saya. Apalagi aktor-aktor yang terdengar asing sama sekali di telinga saya (iya, saya bahkan tak peduli bahwa ada Suho, personel boyband EXO).

Yong-Bi mengajak sahabat-sahabatnya, Ji-Gong dan Doo-Man untuk melakukan perjalanan darat bersama ke kota Pohang tanpa ijin dari orang tua masing-masing sebelum salah satu dari mereka, Sang-Woo memutuskan untuk menjalani wajib militer keesokan harinya. Momen-momen menyenangkan bersama berubah menjadi mimpi buruk ketika mereka membantu seorang wanita yang tampak sedang dianiaya oleh seorang pria. Bukannya berterima kasih, wanita tersebut yang ternyata adalah Park Eun-Hye, seorang news anchor lokal yang begitu populer di Pohang, malah menuduh mereka membunuh suaminya. Keadaan menjadi semakin buruk ketika Sang-Woo menjadi korban tabrak lari saat melarikan diri dari kejaran polisi. Keluarga Ji-Gong dan Doo-Man berusaha membebaskan anak-anak mereka dari tuduhan dengan berbagai cara, sementara Sang-Woo meregang nyawa di rumah sakit dan Yong-Bi tak punya banyak pilihan karena latar belakang keluarganya yang berantakan. Persahabatan antara keempatnya pun diuji besar-besaran.

Di atas kertas, OWT memang terkesan fun dan seru a la anak muda dengan segala kenakalan-kenakalannya. Ia memang sempat punya nuansa-nuansa itu, tapi tak banyak dan berlangsung lama. Dengan alur yang back and forth (yang sedikit banyak membantu ritme film), secara keseluruhan OWT justru didominasi nuansa dark dan depresif. Untungnya, ia memasukkan aspek socio cultural, terutama tentang penegakan hukum yang bobrok dan pola asuh orang tua, sehingga menjadikan kemasan keseluruhan OWT menjadi lebih thoughtful dan tentu saja, menarik.

Di mata saya, tema parenthood di sini tak hanya sekedar menjadi elemen pendukung cerita, tapi punya pengaruh yang besar terhadap keputusan yang diambil oleh karakter-karakter utama sekaligus solusi di ending. Harus saya akui, sebenarnya saya sempat mengharapkan ending yang lebih berpihak pada kebenaran. Namun setelah mendapati ending yang seperti itu, saya harus menerima bahwa ending seperti itulah yang paling realistis dan paling menguntungkan mayoritas karakter. Tentu ada pihak yang ‘dikorbankan’, tapi di sisi lain ‘pengorbanan’ ini justru membawa ‘bumbu’ tearjerker yang sebenarnya memang sudah di-setup sejak awal: karakter ‘paling ganteng’ tapi nasibnya paling miskin dan paling malang? What a cliché tapi sempurna sebagai penarik simpati penonton terbesar).

Keempat aktor pengisi karakter utama; Ji Soo sebagai Yong-Bi, Kim Jun-myeon sebagai Sang-Woo, Ryu Jun-yeol sebagai Ji-Gong, dan Kim Hee-chan sebagai Doo-man, mampu memerankan tiap karakter dengan keunikan tersendiri sekaligus membentuk chemistry persahabatan yang kuat, bahkan di saat-saat terapuh sekalipun. Namun di antara keempatnya, Ji Soo lah terasa yang paling menonjol, terutama karena konflik pribadi karakternya yang paling banyak dikembangkan (dan paling berat!). Bagusnya, Ji Soo termasuk berhasil menghidupkan karakter yang paling kompleks di antara keempatnya itu.

Di jajaran cast pendukung, Kim Jong-soo sebagai Team Leader Oh yang korup sekaligus sosok polisi yang enggan repot karena merasa sudah bekerja keras cukup mengesankan. Serta sosok-sosok yang menjengkelkan tapi berhasil dihidupkan dengan porsi yang pas, seperti Moon Hee-kyung sebagai ibu Ji-Gong, Yoo Ha-bok sebagai ayah Doo-man, serta tentu saja si cantik Lee Ji-Yeon sebagai Park Eun-Hye.

Sinematografi Lee Hyung-Bin mendukung nuansa depresif dan melankoli dengan pergerakan kamera yang cenderung lambat namun tetap efektif menggerakkan cerita. Sementara editing Lee Yeon-Jeong memegang peranan penting dalam menjaga pace film secara keseluruhan di balik nuansa depresif sehingga tak jatuh menjadi membosankan dan kesinambungan alur cerita serta koherensi antar adegan yang berhasil dijaga dengan sangat baik di balik alurnya yang back-and-forth.

Lebih dari sekedar drama persahabatan dan coming-of-age, OWT menawarkan aspek sosiokultural yang tak hanya menarik tapi juga punya pengaruh yang besar terhadap perkembangan cerita. Bukan hanya sekedar nyinyiran kritik sosial semata. Ada sisi-sisi cliché a la drama Korea dan memberikan solusi yang cenderung ‘menggampangkan’ ketimbang adil bagi semua, tapi tetap saja berhasil menjadi tearjerker yang mujarab dengan formula-formula generiknya. Tapi setidaknya pada akhirnya OWT berhasil membuat saya berpikir lebih jauh tentang pengaruh pola asuh orang tua pada umumnya serta lemahnya kondisi penegakan hukum yang enggan repot-repot menegakkan keadilan seadil-adilnya (yang kebetulan menurut saya, keduanya sangat relate dengan kondisi sosial di Indonesia) terhadap perkembangan kedewasaan seseorang. Sering kali tak adil dan memilukan, tapi itulah realitanya.

Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.