4/5
Asia
Bromance
coming of age
cop
Crime
Drama
Friendship
Investigation
Law
Parenting
Psychological
Socio-cultural
South Korea
tearjerker
Teen
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
One Way Trip [글로리데이]
Jujur, saya tak begitu familiar
dengan sinema Korea Selatan kecuali karya-karya Park Chan-wook dan Bong Joon-ho
yang memang sangat populer di kancah internasional atau yang benar-benar
booming macam Miracle in Cell No. 7.
Untuk urusan teenage romance a la K-drama atau yang dibintangi personel
boyband/girlband K-Pop, saya termasuk teramat sangat awam. Apalagi tak banyak
film Korea Selatan yang diimpor secara resmi di layar bioskop Indonesia. Jadi
ketika ada judul yang terlihat menjanjikan, saya lantas berpikir kenapa tidak
mencobanya. One Way Trip (OWT) atau
yang dari judul aslinya secara literally berarti Glory Day, dipromosikan sebagai drama persahabatan dan coming of
age dari empat orang pemuda laki-laki yang melakukan perjalanan darat. Coming
of age, persahabatan, road trip, dengan mudah menarik perhatian saya. Nama
sutradara Choi Jeong-Yeol yang ternyata ini merupakan debut film panjangnya,
tak terlalu menjadi masalah bagi saya. Apalagi aktor-aktor yang terdengar asing
sama sekali di telinga saya (iya, saya bahkan tak peduli bahwa ada Suho,
personel boyband EXO).
Yong-Bi mengajak
sahabat-sahabatnya, Ji-Gong dan Doo-Man untuk melakukan perjalanan darat
bersama ke kota Pohang tanpa ijin dari orang tua masing-masing sebelum salah
satu dari mereka, Sang-Woo memutuskan untuk menjalani wajib militer keesokan
harinya. Momen-momen menyenangkan bersama berubah menjadi mimpi buruk ketika
mereka membantu seorang wanita yang tampak sedang dianiaya oleh seorang pria.
Bukannya berterima kasih, wanita tersebut yang ternyata adalah Park Eun-Hye,
seorang news anchor lokal yang begitu populer di Pohang, malah menuduh mereka
membunuh suaminya. Keadaan menjadi semakin buruk ketika Sang-Woo menjadi korban
tabrak lari saat melarikan diri dari kejaran polisi. Keluarga Ji-Gong dan Doo-Man
berusaha membebaskan anak-anak mereka dari tuduhan dengan berbagai cara,
sementara Sang-Woo meregang nyawa di rumah sakit dan Yong-Bi tak punya banyak
pilihan karena latar belakang keluarganya yang berantakan. Persahabatan antara
keempatnya pun diuji besar-besaran.
Di atas kertas, OWT memang
terkesan fun dan seru a la anak muda dengan segala kenakalan-kenakalannya. Ia
memang sempat punya nuansa-nuansa itu, tapi tak banyak dan berlangsung lama.
Dengan alur yang back and forth (yang sedikit banyak membantu ritme film),
secara keseluruhan OWT justru didominasi nuansa dark dan depresif. Untungnya,
ia memasukkan aspek socio cultural, terutama tentang penegakan hukum yang
bobrok dan pola asuh orang tua, sehingga menjadikan kemasan keseluruhan OWT
menjadi lebih thoughtful dan tentu saja, menarik.
Di mata saya, tema parenthood di
sini tak hanya sekedar menjadi elemen pendukung cerita, tapi punya pengaruh
yang besar terhadap keputusan yang diambil oleh karakter-karakter utama
sekaligus solusi di ending. Harus saya akui, sebenarnya saya sempat
mengharapkan ending yang lebih berpihak pada kebenaran. Namun setelah mendapati
ending yang seperti itu, saya harus menerima bahwa ending seperti itulah yang
paling realistis dan paling menguntungkan mayoritas karakter. Tentu ada pihak
yang ‘dikorbankan’, tapi di sisi lain ‘pengorbanan’ ini justru membawa ‘bumbu’
tearjerker yang sebenarnya memang sudah di-setup sejak awal: karakter ‘paling
ganteng’ tapi nasibnya paling miskin dan paling malang? What a cliché tapi
sempurna sebagai penarik simpati penonton terbesar).
Keempat aktor pengisi karakter
utama; Ji Soo sebagai Yong-Bi, Kim Jun-myeon sebagai Sang-Woo, Ryu Jun-yeol
sebagai Ji-Gong, dan Kim Hee-chan sebagai Doo-man, mampu memerankan tiap
karakter dengan keunikan tersendiri sekaligus membentuk chemistry persahabatan
yang kuat, bahkan di saat-saat terapuh sekalipun. Namun di antara keempatnya,
Ji Soo lah terasa yang paling menonjol, terutama karena konflik pribadi
karakternya yang paling banyak dikembangkan (dan paling berat!). Bagusnya, Ji
Soo termasuk berhasil menghidupkan karakter yang paling kompleks di antara
keempatnya itu.
Di jajaran cast pendukung, Kim
Jong-soo sebagai Team Leader Oh yang korup sekaligus sosok polisi yang enggan
repot karena merasa sudah bekerja keras cukup mengesankan. Serta sosok-sosok
yang menjengkelkan tapi berhasil dihidupkan dengan porsi yang pas, seperti Moon
Hee-kyung sebagai ibu Ji-Gong, Yoo Ha-bok sebagai ayah Doo-man, serta tentu
saja si cantik Lee Ji-Yeon sebagai Park Eun-Hye.
Sinematografi Lee Hyung-Bin
mendukung nuansa depresif dan melankoli dengan pergerakan kamera yang cenderung
lambat namun tetap efektif menggerakkan cerita. Sementara editing Lee
Yeon-Jeong memegang peranan penting dalam menjaga pace film secara keseluruhan
di balik nuansa depresif sehingga tak jatuh menjadi membosankan dan
kesinambungan alur cerita serta koherensi antar adegan yang berhasil dijaga
dengan sangat baik di balik alurnya yang back-and-forth.
Lebih dari sekedar drama
persahabatan dan coming-of-age, OWT menawarkan aspek sosiokultural yang tak
hanya menarik tapi juga punya pengaruh yang besar terhadap perkembangan cerita.
Bukan hanya sekedar nyinyiran kritik sosial semata. Ada sisi-sisi cliché a la
drama Korea dan memberikan solusi yang cenderung ‘menggampangkan’ ketimbang
adil bagi semua, tapi tetap saja berhasil menjadi tearjerker yang mujarab
dengan formula-formula generiknya. Tapi setidaknya pada akhirnya OWT berhasil
membuat saya berpikir lebih jauh tentang pengaruh pola asuh orang tua pada
umumnya serta lemahnya kondisi penegakan hukum yang enggan repot-repot
menegakkan keadilan seadil-adilnya (yang kebetulan menurut saya, keduanya sangat
relate dengan kondisi sosial di Indonesia) terhadap perkembangan kedewasaan
seseorang. Sering kali tak adil dan memilukan, tapi itulah realitanya.