4/5
Based on a True Event
Biography
Blockbuster
Box Office
Drama
Family
Franchise
Horror
motherhood
Pop-Corn Movie
Romance
sequel
Summer Movie
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Conjuring 2
Semenjak booming Saw (2004), kegemilangan sineas asal
Malaysia yang mengenyam pendidikan film di Australia, James Wan, tak pernah
surut, malah justru semakin berkilau. Tak hanya franchise Saw, franchise Insidious dan
The Conjuring pun menjadi box office
hit di seluruh dunia. Bahkan namanya dilirik oleh studio raksasa Hollywood
untuk dipercaya atas proyek besar macam Furious
7. The Conjuring (2013) yang
diangkat dari kisah nyata catatan pasangan investigator paranormal legendaris,
Ed dan Lorraine Warren, berhasil mengumpulkan US$ 318 juta lebih di seluruh
dunia. Padahal budget-nya ‘hanya’ US$ 20 juta saja. Spin-off Annabelle (2014) lebih ‘gila’ lagi.
Meski tak ditangani langsung oleh Wan serta mendapatkan kritik negatif dari
para kritikus, angka US$ 256 juta lebih di seluruh dunia dari modal ‘hanya’
sekitar US$ 6.5 juta telah menjawab kepiawaian James Wan dalam menciptakan
karakter-karakter horor menarik yang bikin penasaran dan berhasil membuat
penonton berbondong-bondong. Maka tak salah jika ‘resep’ yang sama
terus-terusan digunakan Wan. Dengan kepercayaan dana lebih besar dari studio
(konon mencapai US$ 40 juta atau dua kali lipat budget film pertamanya), James
Wan menjanjikan peningkatan kualitas di berbagai aspek untuk The Conjuring 2 (TC2).
Kali ini pasangan Ed-Lorraine
Warren diundang ke Londong, Inggris, untuk mengivestigasi keberadaan makhluk
halus yang mengganggu kediaman seorang single mother, Peggy Hodgson, yang
tinggal bersama dua putri; Margaret dan Janet, serta dua orang putra; Johnny
dan Billy. Peggy sedang menghadapi permasalahan finansial, masih ditambah
krisis kepercayaan terhadap Janet yang mulai menginjak remaja. Gara-gara iseng
memainkan semacam papan Ouija buatan sendiri, Janet, Margaret, Johnny, dan
Billy mulai diganggu oleh sosok tak kasat mata dan bahkan sampai serangan
agresif.
Sementara itu Lorraine yang
sempat dihantui oleh mimpi buruk dan premonition mengerikan tentang suaminya,
bimbang apakah hendak membantu keluarga Hodgson atau tidak. Setelah diyakinkan
oleh Ed, barulah keduanya mantap untuk menginvestigasi kasus supranatural di
rumah keluarga Hodgson. Tugas mereka hanya mengumpulkan bukti otentik bahwa ada
aktivitas supranatural di kediaman keluarga Hodgson, sementara pacara
pengusirannya nanti akan dilakukan oleh pihak Gereja Katolik Roma pusat jika
memang terbukti. Anehnya, di saat keduanya mengalami peristiwa-peristiwa
supranatural di dalam rumah, Lorraine tak merasakan firasat aneh apa-apa. Bukti
visual pun menunjukkan bahwa Janet lah yang menjadi pelaku semuanya. Ed dan Lorraine
pun harus memilih untuk percaya keluarga Hodgson dan terus menginvestigasi,
atau pulang ke negara asalnya karena bukti-bukti sudah jelas bahwa semua hasil
rekayasa keluarga Hodgson, terutama Janet.
Sebenarnya secara garis besar Wan
masih memakai formula kesuksesan The
Conjuring pertama: horor klasik dengan balutan kisah kekuatan keluarga
sebagai latar belakang sekaligus solusi dari permasalahan. Namun kali ini
kentara sekali Wan memaksimalkan semua formula-formula yang bisa digali lebih
dalam dari franchise-nya. Yang paling terasa tentu saja hubungan antara Ed dan
Lorraine Warren yang menjadi karakter sentral. Lewat banyak kesempatan,
penonton seolah diajak untuk mengenal lebih dekat, mendalam, dan intim dengan
keduanya. Tak hanya dari sudut pandang Lorraine yang lebih dominan seperti di
installment pertama, tapi juga Ed yang kali ini mendapat porsi seimbang untuk
mencuri simpati penonton.
Kedua, tema keluarga yang menjadi
aspek penting installment pertamanya, di sini mendapatkan treatment yang jauh
lebih kuat dan juga mendalam. Sosok seorang single mother dengan keempat
anaknya, ditambah permasalahan demi permasalahan yang mendera, lebih dari cukup
untuk membuat penonton iba dan bersimpati terhadap keadaan mereka. Terakhir,
kepiawaian Wan dalam merangkai teror untuk membangun ketegangan sebelum
melancarkan jumpscare dan serangan-serangan agresif dari sosok Valak (yang
akhirnya menjadi fenomenal itu) lewat berbagai wujud yang diambilnya, patut
diacungi jempol. Termasuk horor dengan setup premonition a la Final Destination yang juga berhasil
menjadi begitu gripping. Sayangnya, kali ini pecinta horor yang lebih menyukai
nuansa lebih ‘khidmat’ dan bersahaja dengan penampakan-penampakan minim yang
bikin penasaran harus mengalah karena Wan lebih banyak menggunakan
serangan-serangan agresif dan terang-terangan (yang mungkin bagi beberapa
penonton, norak). Alhasil, TC2 lebih terasa sebagai sajian horor yang asyik
ditonton rame-rame (baca: fun horror) ketimbang horor yang terkesan creepy. Tak
salah, tapi memang efeknya bagi tiap penonton bisa berbeda-beda, tergantung
lebih bisa berhasil ditakut-takuti oleh formula horor yang mana. Yang pasti,
Wan terasa makin piawai dalam membangun ketegangan sebelum klimaks di tiap
momen, tak hanya jumpscare murahan generik atau ‘ketegangan palsu’ yang sering
dimanfaatkan horor-horor sejenis.
Dengan aspek-aspek yang cukup
banyak dalam satu kemasan, tak salah jika TC2 lantas punya durasi 134 menit.
Harus diakui ada cukup banyak adegan-adegan pembangun ketegangan yang
sebenarnya bisa dipotong tanpa mengganggu kesinambungan keseluruhan cerita,
sehingga mungkin ada yang merasa terlalu panjang dan bertele-tele. Padahal
sebenarnya Wan mencoba untuk menyeimbangkan porsi ketiganya; horor, keintiman
antara Ed-Lorraine, dan family
bond sebagai tema universalnya. Untung saja dua aspek terakhir berhasil menjadi
begitu kuat sehingga memberikan value tambahan bagi TC2 sebagai sebuah sajian
horor.
Seiring dengan makin mendalamnya
hubungan Ed-Lorraine ditampilkan di TC2, maka chemistry antara Patrick Wilson
dan Vera Farmiga semakin ditingkatkan. Untung keduanya berhasil meyakinkan
penonton betapa serasinya mereka sebagai pasangan. Vera Farmiga sebagai sosok
Lorraine Warren yang seringkali dilanda kecemasan karena ketulusan rasa sayang
terhadap suaminya, sekaligus mudah bersimpati terhadap orang lain, makin terasa
sebagai cast yang sempurna untuk perannya. Patrick Wilson sendiri pun berhasil
mengimbangi Farmiga dengan tampilan karakter Ed yang tak kalah manis sekaligus
berwibawa. Apalagi performance-nya membawakan Can’t Help Falling in Love dari Elvis Presley yang pasti dengan
mudah membuat siapa saja bersimpati penuh terhadap sosoknya.
Di jajaran cast pendukung,
Frances O’Connor terasa begitu cocok sebagai Peggy Hodgson yang rapuh namun
berusaha tetap tegar. Hanya dari raut wajahnya saja sudah dengan mudah
mengundang iba dari penonton. Tak kalah pula Lauren Esposito sebagai Margaret,
Benjamin Haigh sebagai Billy, Patrick McAuley sebagai Johnny, dan tentu saja
Madison Wolfe sebagai Janet Hodgson yang berhasil menghidupkan adegan-adegan
kesurupan dengan begitu mengerikan dan meyakinkan. Bahkan mungkin bisa
disetarakan dengan Linda Blair di film horor klasik The Exorcist. Terakhir, sosok mengerikan Bonnie Aarons sebagai The
Nun Demon, Javier Botet sebagai Crooked Man yang ternyata melakukan aksinya
sendiri, bukan CGI dengan gerakan bak stop-motion, Bob Adrian sebagai si tua
Bill Wilkins, dan tentu saja Joseph Bishara, sang composer langganan Wan yang
juga selalu mengisi peran sosok mengerikan di The Conjuring maupun franchise Insidious,
juga memang layak mendapatkan kredit lebih.
Dengan budget yang digandakan,
Wan bisa dengan lebih leluasa mengeksplor pendekatan visual yang lebih
ketimbang sebelumnya. Alhasil ia berhasil menghadirkan one long continuous shot
di beberapa adegan lewat bidikan Don Burgess. Desain produksi bersetting 1975
pun semakin detail, terutama desain tiap ruangan di rumah keluarga Hodgson yang
ditata sedemikian rupa hingga terasa sangat remarkable. Scoring dari Joseph
Bishara seperti biasa, tetap menjadi kekuatan tersendiri dalam membangun nuansa
creepy. Dipadu dengan sound mixing yang serba seimbang serta mantap di tiap
kanal surround-nya pada momen-momen yang tepat.
Sebagai salah satu franchise
horor dengan reputasi bagus, TC2 jelas mampu menjaganya dengan sangat baik.
Mungkin tak semua pecinta horor bisa cocok (baca: menyukai) dengan gaya
horornya yang lebih agresif dan terang-terangan ketimbang membangun suasana
creepy, tapi harus diakui kepiawaian Wan dalam membangun ketegangan dan yang
paling penting, meng-create sosok-sosok iconic (yang jelas disengaja sebagai
setup pembuatan spin-off-nya seperti Annabelle),
semakin meningkat dari film ke film. Terserah apa kata fans ataupun kritikus,
karena pada akhirnya yang menjadi parameter terbesar adalah penghasilan dengan
variabel yang lebih jelas: uang. Untuk hal itu, Wan jelas sudah terbukti
berkali-kali berhasil membangun ‘brand image’-nya.
Lihat data film ini di IMDb.