3.5/5
3D
4DX
Action
Adventure
Based on Book
Based on TV show
Blockbuster
Box Office
Comedy
Fantasy
Franchise
Hollywood
Martial Art
Pop-Corn Movie
SciFi
sequel
Superheroes
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Teenage Mutant Ninja Turtles:
Out of the Shadows
Kesuksesan re-booth Teenage Mutant Ninja Turtles (TMNT) yang
dilakukan Nickelodeon-Paramount dengan Michael Bay sebagai salah satu produser
(dengan budget US$ 125 juta berhasil membukukan US$ 493 juta lebih di seluruh
dunia). Review yang beragam, tapi tak sedikit yang memberikan review negatif,
tak menyurutkan niat petinggi Paramount, termasuk Michael Bay untuk melanjutkan
kelangsungan franchise ini dimana rencana penggarapan sekuelnya ini diumumkan
hanya dua hari setelah installment pertamanya dirilis. Masih menggandeng penata
skrip yang sama, Josh Appelbaum dan André Nemec, sayangnya bangku
penyutradaraan berpindah dari Jonatahn Liebesman ke Dave Green yang sebelumnya
dikenal lewat sci-fi keluarga, Earth to
Echo. Dengan subtitel Out of the
Shadows (OotS), Michaelangelo, Donatello, Leonardo, Raphael, masih
diperankan oleh aktor yang sama, termasuk salah satu daya tarik utama, Megan
Fox sebagai April O’Neil, terkecuali Johnny Knoxville yang mundur sebagai
pengisi suara Leonardo, serta Tohoru Masamune sebagai Shredder yang digantikan
Brian Tee.
Pasca ditangkapnya Shredder yang
mengacaubalaukan kota, para kura-kura ninja mutan; Micaelangelo, Donatello,
Leonardo, dan Raphael, memutuskan untuk kembali menjalani hidup secara
sembunyi-sembunyi di gorong-gorong bawah tanah bersama guru mereka, seekor
tikus mutan, Splinter. Sementara Vernon Fenwick dijadikan ‘simbol’ pahlawan
yang berjasa menangkap Shredder, hingga dianugerahi kunci kota. Ketenangan kota
kembali terusik ketika April mengendus rencana dari seorang ilmuwan bernama
Baxter Stockman untuk membantu Shredder kabur ketika dipindahkan ke penjara
lain dengan pengamanan lebih. Benar saja, tak hanya Shredder, narapidana
lainnya, Rocksteady dan Bebop turut lenyap. Casey Jones yang menjadi salah satu
sipir pengantar para narapidana itu tertarik untuk ikut melakukan penyelidikan
kasus ini. Keempat kura-kura ninja mutan, April, dan Casey harus bahu-membahu
untuk mencari tahu rencana Shredder dan Baxter yang sebenarnya.
Sebelum saya me-review OotS lebih
lanjut, patut saya ingatkan lagi bahwa TMNT adalah franchise yang dibuat dengan
target audience anak-anak (meski franchise versi terbaru ini punya rating
PG-13), sehingga tujuan utamanya tentu saja untuk menghibur anak-anak. Jadi
jika Anda mengharapkan plot cerita yang rumit atau big concept yang
muluk-muluk, maka TMNT bukanlah sajian yang tepat untuk Anda. OotS pun masih
mengusung konsep yang tak jauh berbeda dengan installment sebelumnya: mainly a
pure entertainment with exciting ride. Ya, ia pun masih mempertahankan pengabaian
logika kontinuiti demi lancarnya pace film seperti installment pertama, tapi
sekali lagi, ini adalah film dengan target audience utama anak-anak, so I
suggest you to use kids’ logic and just enjoy the ride like a kid does. Untuk
tujuan itu, OotS masih berhasil membuat penontonnya ‘bertualang’ seru bak terlibat
di dalam film, even bigger, even more dangerous. Bisa dibilang, OotS basically
the same TMNT, dengan kemunculan karakter-karakter ikonik yang belum sempat
ditampilkan di installment sebelumnya, seperti Casey Jones, Rocksteady, Bebop,
dan… Krang! Yup, tidak bisa dipungkiri, installment sebuah franchise tentu
harus memuat fungsi fan-service ini. For that purpose, OotS has definitely served
it well!
Sayang beberapa bagian agak mengganggu pace di tengah gempuran adegan-adegan aksi petualangan yang
menjadi sajian utama OotS. Penyebabnya adalah jalannya plot investigatif yang
coba dihadirkan sebagai kemasan. Alih-alih membuat film jadi lebih menarik
karena basically formulaic, semua penonton sudah tahu apa cerita akan bermuara
ke mana, narasi investigatif ini justru memberi kesan membosankan dan melelahkan di tengah-tengah. Untung saja ini tak berlangsung lama karena adgean-adegan aksi bombastis selanjutnya segera diinjeksikan lagi.
Untuk urusan konsep cerita dan
storyline, sebenarnya OotS menawarkan sesuatu yang lebih berbobot untuk
dipikirkan, terutama oleh para kura-kura ninja mutan kita. Terutama sekali
pertimbangan-pertimbangan untuk stay low profile sebagai pahlawan pelindung
kota demi kebaikan bersama atau show up menjadi pahlawan yang terang-terangan
membuka identitas diri. Belum lagi
godaan untuk bisa berubah menjadi sepenuhnya manusia agar bisa berbaur dengan
manusia, yang mau tak mau mengingatkan kita akan konsep yang diusung X-Men (bahkan ada line “people fear what
they don’t understand”!). Bukan mencontek sih, karena wajar saja punya
problematika yang sama mengingat sama-sama karakter mutan. Mungkin kekhawatiran
tuduhan mencontek itu pula yang membuat isu ini tak diangkat menjadi tema utama
sepanjang film. Sayangnya, OotS hanya men-tease ide ini. Padahal tentu ada
banyak fans yang ingin tahu seperti apa visualisasi para kura-kura ninja mutan
jika berwujud manusia, seperti yang pernah dilakukan di Casper (1995), bukan?
Above all, OotS memilih
meletakkan isu tentang teamwork dan kepemimpinan sebagai isu utama di sini. Ini
sebenarnya isu yang terkesan sepele tapi punya dampak yang besar, bahkan bisa
jadi punya andil dalam terjadinya isu-isu yang saya sebutkan sebelumnya. It’s a
good move though, mengingat keempat karakter kura-kura ninja mutan ini punya
karakter serta peranan yang berbeda-beda, sehingga sangat memungkinkan ada
kalanya ego salah satunya mengancam tim. OotS delivered it very well this time,
bahkan menjadi salah satu faktor penting dari konklusi. Tak terlalu istimewa,
epic, ataupun begitu bold, tapi tetap terasa kehadirannya, dan upaya itu tetap
layak mendapatkan kredit tersendiri.
Di jajaran cast sebenarnya tak
ada yang benar-benar menonjol ataupun tampil istimewa. Hampir kesemuanya masih
tetap tampil setara dengan penampilan mereka di installment pertama. Megan Fox
(April), Will Arnett (Vernon), Noel Fisher (Michaelangelo), Jeremy Howard
(Donatello), Pete Ploszek (Leonardo), dan Alan Ritchson (Raphael) tampil dengan
porsi yang sama-sama seimbang. Brian Tee tak terlihat punya kesulitan
meneruskan karakter Shredder yang sebenarnya porsi perannya juga tak begitu
banyak dan penting.
Kehadiran Stephen Amell (dari
serial Arrow) sebagai Casey Jones
tentu semakin menyemarakkan tim. Kharismanya yang mungkin tak setangguh keempat
mutan kura-kura ninja, tapi tetap saja terasa lovable dan mampu mencuri simpati
penonton. Tyler Perry sebagai Baxter mengingatkan saya akan karakter Professor
Klumps dari The Nutty Professor. Stephen
Farrelly dan Gary Anthony Williams cukup berhasil menghidupkan karakter
Rocksteady dan Bebop yang ikonik. Replaceable by any actors, tapi setidaknya
karakter-karakter yang mereka perankan jadi cukup noticeable sebagaimana
aslinya. Kredit terakhir untuk Laura Linney yang berkat kharismanya berhasil
mencuri perhatian saya meski karakternya tak punya porsi maupun peran yang
cukup berarti.
Mengusung konsep exciting ride
action-adventure, pergerakan kamera dan editing menjadi sebagian faktor yang
paling krusial. Director of Photography Lula Carvalho berhasil menghadirkan
pengalaman sinematis serta keseruan yang sama dari installment pertama. Begitu
juga editor Bob Ducsay-Jim May yang berpengalaman mengedit film-film aksi
blockbuster sejenis yang menjaga pace serta excitement film. Komposer langganan
Bay, Steve Jablonsky, yang diboyong untuk mengisi musik OotS juga mendukung
tiap adegan-adegan spektakulernya.
Format 3D sangat disarankan.
Salah satu format 3D terbaik tahun ini, apalagi banyak shot-shot bak exciting
ride yang menambah efek keseruannya. 4DX pun layak untuk turut dicoba. In my
opinion, also the best in 2016 after Captain
America: Civil War and before X-Men:
Apocalypse. Mulai motion and vibrating seat, hembusan angin yang sangat
berjasa untuk adegan-adegan gerakan cepat di malam hari yang mendominasi, water
spray, smoke, ankle shock di klimaks, dan yang jarang keluar: bubbles! Notable
4DX moment: the whole aircraft scene, dilanjutkan sepanjang kejar-kejaran di
sungai. Breathtaking!
Jika Anda bingung memutuskan
untuk nonton OotS atau tidak, mungkin pertanyaan ini bisa membantu Anda: apakah
Anda menikmati installment pertamanya? Jika iya, maka OotS tetap akan memuaskan
Anda sebagai sajian hiburan yang fun to experience. Jika tidak, maka tak perlu
buang-buang waktu, uang, dan tenaga untuk membenci, karena Anda tetap akan
membencinya. Jika belum menonton installment pertama, tak ada salahnya mencoba.
Istirahatkan otak Anda sejenak dengan tak perlu ambil pusing memikirkan logika
plot. Ikuti saja narasinya dan nikmati experience yang disuguhkan. As for me, it’s
a whole lot of fun experience that I’ll always crave for more.