The Jose Flash Review
Sundul Gan: The Story of Kaskus

Jika Anda berasal di Indonesia dan cukup aktif menggunakan internet, mustahil untuk tidak pernah membuka atau sekedar mendengar nama Kaskus. Situs forum ini dinobatkan sebagai situs asli Indonesia paling sering dikunjungi dengan total pengguna yang mencapai enam juta akun sampai saat ini. Bisa dibilang Kaskus memegang peranan penting dalam perkembangan berbagai komunitas di seluruh penjuru Indonesia. Maka tak heran jika cerita di balik kesuksesannya menarik untuk diangkat ke bentuk film. Adalah 700 Pictures (Catatan Harian Si Boy, Noah Awal Semula, Pintu Harmonika, Lily: Bunga Terakhirku) milik Putrama Tuta yang beruntung dipercaya menggarapnya. Namun karena merasa diri gaptek, Tuta mempercayakan bangku penyutradaraan kepada Naya Anindita yang kita kenal sebagai host webseries Jalan-Jalan Men dan film pendek Anna & Ballerina. Naya dianggap lebih mampu memvisualisasikan biografi Kaskus ini karena lebih punya passion akan game dan teknologi. Naskahnya dikerjakan oleh kolaborasi kesekian kalinya dari Ilya Sigma (istri Tuta) dan Priesnanda Dwisatria setelah Catatan Harian Si Boy, Rectoverso, Cai Lan Gong, dan Lily: Bunga Terakhirku.

Berawal dari Ken Dean Lawadinata yang dikirim orangtuanya berkuliah di Seattle, Amerika Serikat karena selama ini dianggap pemalas dan kerjaannya hanya main game. Tak sengaja, Ken bertemu salah satu sepupunya yang memilih menetap di Seattle setelah lulus kuliah, Andrew Darwis. Ternyata Andrew adalah pendiri situs forum yang sering dibuka oleh Ken dan teman-temannya ketika masih di Indonesia, Kaskus. Dari sini, Ken punya ide untuk mengembangkan Kaskus lebih besar lagi di Indonesia. Untuk itu keduanya harus pulang ke Indonesia untuk membangun Kaskus. Awalnya Andrew menolak karena merasa sudah hidup settled di zona nyaman di Seattle. Namun karena ‘jebakan’ Ken, akhirnya Andrew mau pulang ke Indonesia. Pembagian tugasnya, Andrew mengurus semua yang berkaitan dengan sistem dan IT, sementara Ken mencari investor untuk membangun segalanya.

Ternyata bekerja sama dengan pembagian kerja hanya berdua bukanlah tugas yang mudah. Tak hanya Ken yang kewalahan harus membagi waktu antara mencari investor dan persiapan pernikahannya dengan Tika, Andrew pun merasa tak sanggup mengurus semuanya sendirian. Persahabatan dan partnership mereka pun mulai meretak. Ketika satu masalah terselesaikan, selalu ada saja masalah lain yang muncul, mulai urusan dengan hacker hingga urusan hukum karena ada forum kategori BB17 yang memuat konten dewasa padahal menjadi salah satu kategori signatural Kaskus.

Bukan rahasia lagi bahwa biopic adalah salah satu materi favorit di film Indonesia. Tak hanya peristiwa atau tokoh sejarah, tokoh modern pun sudah pernah diangkat, seperti Merry Riana dan Iwan Setyawan. Satu kecenderungan yang sering terjadi pada biopic Indonesia adalah jatuh menjadi sekedar mengagung-agungkan karakter sentral seolah-olah selalu benar dan tak pernah berbuat salah. Maklum, ‘budaya Indonesia’ apalagi dengan ijin dari pihak yang bersangkutan atau keluarganya, tabu untuk menunjukkan kelemahan atau kesalahan sang subjek. Maka tak jarang biopic Indonesia jatuh menjadi pretensius dan ‘hagiography’ (=biografi orang suci/meletakkan subjek sebagai sosok ideal saja). Untungnya Sundul Gan: The Story of Kaskus (SG) ditulis oleh duo penulis naskah yang berpengalaman dan tau betul bagaimana menciptakan storytelling yang sesuai dengan subjek. Hubungan antara Ken dan Andrew pun dijadikan fokus utama dalam pengembangan cerita. Suatu keputusan  yang bijak mengingat Kaskus memang dibangun dari kerjasama antara keduanya dan relasi antar dua karakter selalu bisa digali menjadi materi yang menarik. Apalagi Ken dan Andrew punya karakter yang sangat berbeda (bertolak belakang, malah) tapi harus bekerja sama dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Konflik yang dihadirkan pun dihadirkan dari perbedaan kepribadian antara keduanya, dan menjadi begitu penting dalam kaitannya dengan partnership. Dramatisasi yang dilakukan pun terasa masih natural, dengan porsi yang pas, peletakan yang tepat pada waktunya, dan yang terpenting, memperkuat konsekuensi dari isu perbedaan  yang diangkat jika tak ada pihak yang mengalah, termasuk juga secara emosional bagi penonton. Sayangnya, pasca klimaks SG terasa ditutup dengan konklusi yang kurang mulus dan strongly stated. But overall, well-written and pretty bold.

Meletakkan hubungan antara Ken dan Andrew sebagai porsi utama sekaligus penggerak cerita jelas membutuhkan chemistry yang kuat dan sesuai dengan kebutuhan naskah. Dion Wiyoko dan Albert Halim saya rasa cukup berhasil mengemban PR yang tak mudah ini. Keduanya berhasil meyakinkan saya akan hubungan love-hate bromance antara keduanya. Dion menampilkan sosok Ken yang slacker dan kerjanya hanya main game, tapi jago mempersuasif calon investor dengan keseimbangan yang sangat baik, hidup, dan convincing. Sementara Albert sebagai Andrew juga berhasil menjadi Andrew dengan gesture-gesture khasnya, terutama cara bicara, sekaligus sifat introvert-nya. Sayangnya, ada banyak kesempatan Albert kurang tepat menerjemahkan sosok ‘geek’ dari Andrew sehingga yang keluar justru agak ‘feminin’. Misalnya yang paling terasa, lihat sorot mata Albert yang ke mana-mana ketika Andrew ‘ngambek’ ke Ken. Ini pula yang agak menjadikan bromance antara Ken-Andrew di beberapa part terasa awkward. Namun effort Albert Halim dalam menghidupkan karakter Andrew patut diapresiasi karena memang bukan hal yang mudah, apalagi ini adalah kali pertamanya mengisi peran lead dan tergolong unik pula. Sementara Pamela Bowie sebagai Tika, tunangan Ken, yang porsinya berada di bawah Dion dan Albert, memberikan kesegaran tersendiri lewat celetukan-celetukan dan chemistry bersama Dion yang juga terjalin luwes.

Selain dari itu, cast pendukung sebenarnya punya porsi yang jauh lebih sedikit tapi karena diisi oleh aktor yang familiar, sehingga masih mampu jadi daya tarik buat penonton. Mulai Richard Oh, Melissa Karim, Baim Wong, Ernest Prakasa, Indra Birowo, Tanta Ginting, Nazyra C. Noer, Richard Kyle, Paul Agusta, dan Masayu Anastasia, kesemuanya dengan mudah dikenali dan cukup membekas di benak penonton (terutama yang familiar dengan scene film Indonesia).

Naya melakukan pendekatan yang sangat menarik dan ‘pop’ untuk visualisasi SG sehingga narasi kisah hubungan Ken-Andrew ini jadi lebih berwarna. Misalnya sticker seperti “+1 friendship” dan “+1 achievement” bak video game untuk mendukung narasi. Yunus Pasolang menghadirkan sinematografi yang sinematis di tiap shot, termasuk shot-shot dengan latar green screen di beberapa adegan. Penggunaan drone shot pun terasa tepat guna (tidak diumbar sekedar untuk gaya-gayaan) dan mendukung atmosfer film yang ‘pop’. Sementara kepiawaian Yoga Krispratama merangkai puzzle cerita SG dengan timeline acak justru mendukung pace cerita dan relevansi antar adegan tanpa terkesan membingungkan. Desain produksi Andromedha Pradana juga patut mendapatkan kredit tersendiri. Mulai set di apartemen Andrew di Seattle sampai kantor Kaskus yang dominan warna vibrant biru-orange khas Kaskus, sangat memanjakan mata dan membuat siapa saja yang melihat terinspirasi untuk mendekorasi kantornya seperti itu. Satu kekurangan yang terlihat jelas mungkin penggabungan shot greenscreen dengan CGI yang di beberapa momen masih sedikit kurang rapi.

Terakhir, penata musik Aghi Narottama tak perlu diragukan lagi kepiawaiannya dalam mempertajam atmosfer film menjadi begitu energetic dan youth-spirited, termasuk pemilihan-pemilihan pengisi soundtrack-nya seperti Sore (Aku), Rock & Roll Mafia (Velvet Morning Air), Eliezer Mezano & Khrisna Dwi Putra (theme song Mari Ngaskus), dan yang paling jadi favorit saya, Elephant Kind (Scenario III), serta Roman Foot Soliders (Controversy). Cadassss!!!

Sebagai sebuah biopic, SG berhasil menyampaikan poin-poin pentingnya dengan storytelling yang sangat enjoyable dan suguhan yang fun. Bagi Kaskuser, SG semacam napak tilas yang bikin tersenyum-senyum sepanjang film. In bigger frame, tak hanya menjadi tontonan yang pas dan manis bareng sahabat (apalagi kalau sekaligus merangkap partner bisnis), tapi penting juga sebagai semacam pengingat bagi siapa saja yang sedang atau di-approach untuk bisnis bersama teman.

Lihat data film ini di IMDb dan filmindonesia.or.id.
Diberdayakan oleh Blogger.