3.5/5
Based on a True Event
Based on Book
Biography
Bromance
Comedy
Drama
Friendship
Indonesia
Personality
Pop-Corn Movie
Technology
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Sundul Gan: The Story of Kaskus
Jika Anda berasal di Indonesia
dan cukup aktif menggunakan internet, mustahil untuk tidak pernah membuka atau
sekedar mendengar nama Kaskus. Situs forum ini dinobatkan sebagai situs asli
Indonesia paling sering dikunjungi dengan total pengguna yang mencapai enam
juta akun sampai saat ini. Bisa dibilang Kaskus memegang peranan penting dalam
perkembangan berbagai komunitas di seluruh penjuru Indonesia. Maka tak heran
jika cerita di balik kesuksesannya menarik untuk diangkat ke bentuk film.
Adalah 700 Pictures (Catatan Harian Si
Boy, Noah Awal Semula, Pintu Harmonika, Lily: Bunga Terakhirku) milik Putrama Tuta yang beruntung dipercaya
menggarapnya. Namun karena merasa diri gaptek, Tuta mempercayakan bangku
penyutradaraan kepada Naya Anindita yang kita kenal sebagai host webseries Jalan-Jalan Men dan film pendek Anna & Ballerina. Naya dianggap
lebih mampu memvisualisasikan biografi Kaskus ini karena lebih punya passion
akan game dan teknologi. Naskahnya dikerjakan oleh kolaborasi kesekian kalinya
dari Ilya Sigma (istri Tuta) dan Priesnanda Dwisatria setelah Catatan Harian Si Boy, Rectoverso, Cai Lan Gong, dan Lily: Bunga
Terakhirku.
Berawal dari Ken Dean Lawadinata
yang dikirim orangtuanya berkuliah di Seattle, Amerika Serikat karena selama
ini dianggap pemalas dan kerjaannya hanya main game. Tak sengaja, Ken bertemu
salah satu sepupunya yang memilih menetap di Seattle setelah lulus kuliah,
Andrew Darwis. Ternyata Andrew adalah pendiri situs forum yang sering dibuka
oleh Ken dan teman-temannya ketika masih di Indonesia, Kaskus. Dari sini, Ken
punya ide untuk mengembangkan Kaskus lebih besar lagi di Indonesia. Untuk itu
keduanya harus pulang ke Indonesia untuk membangun Kaskus. Awalnya Andrew
menolak karena merasa sudah hidup settled di zona nyaman di Seattle. Namun karena
‘jebakan’ Ken, akhirnya Andrew mau pulang ke Indonesia. Pembagian tugasnya,
Andrew mengurus semua yang berkaitan dengan sistem dan IT, sementara Ken
mencari investor untuk membangun segalanya.
Ternyata bekerja sama dengan
pembagian kerja hanya berdua bukanlah tugas yang mudah. Tak hanya Ken yang
kewalahan harus membagi waktu antara mencari investor dan persiapan
pernikahannya dengan Tika, Andrew pun merasa tak sanggup mengurus semuanya
sendirian. Persahabatan dan partnership mereka pun mulai meretak. Ketika satu
masalah terselesaikan, selalu ada saja masalah lain yang muncul, mulai urusan
dengan hacker hingga urusan hukum karena ada forum kategori BB17 yang memuat
konten dewasa padahal menjadi salah satu kategori signatural Kaskus.
Bukan rahasia lagi bahwa biopic
adalah salah satu materi favorit di film Indonesia. Tak hanya peristiwa atau
tokoh sejarah, tokoh modern pun sudah pernah diangkat, seperti Merry Riana dan
Iwan Setyawan. Satu kecenderungan yang sering terjadi pada biopic Indonesia
adalah jatuh menjadi sekedar mengagung-agungkan karakter sentral seolah-olah
selalu benar dan tak pernah berbuat salah. Maklum, ‘budaya Indonesia’ apalagi
dengan ijin dari pihak yang bersangkutan atau keluarganya, tabu untuk
menunjukkan kelemahan atau kesalahan sang subjek. Maka tak jarang biopic
Indonesia jatuh menjadi pretensius dan ‘hagiography’ (=biografi orang
suci/meletakkan subjek sebagai sosok ideal saja). Untungnya Sundul Gan: The Story of Kaskus (SG)
ditulis oleh duo penulis naskah yang berpengalaman dan tau betul bagaimana
menciptakan storytelling yang sesuai dengan subjek. Hubungan antara Ken dan
Andrew pun dijadikan fokus utama dalam pengembangan cerita. Suatu
keputusan yang bijak mengingat
Kaskus memang dibangun dari kerjasama antara keduanya dan relasi antar dua
karakter selalu bisa digali menjadi materi yang menarik. Apalagi Ken dan Andrew
punya karakter yang sangat berbeda (bertolak belakang, malah) tapi harus
bekerja sama dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Konflik yang
dihadirkan pun dihadirkan dari perbedaan kepribadian antara keduanya, dan
menjadi begitu penting dalam kaitannya dengan partnership. Dramatisasi yang
dilakukan pun terasa masih natural, dengan porsi yang pas, peletakan yang tepat
pada waktunya, dan yang terpenting, memperkuat konsekuensi dari isu
perbedaan yang diangkat jika tak
ada pihak yang mengalah, termasuk juga secara emosional bagi penonton.
Sayangnya, pasca klimaks SG terasa ditutup dengan konklusi yang kurang mulus
dan strongly stated. But overall, well-written and pretty bold.
Meletakkan hubungan antara Ken
dan Andrew sebagai porsi utama sekaligus penggerak cerita jelas membutuhkan
chemistry yang kuat dan sesuai dengan kebutuhan naskah. Dion Wiyoko dan Albert
Halim saya rasa cukup berhasil mengemban PR yang tak mudah ini. Keduanya
berhasil meyakinkan saya akan hubungan love-hate bromance antara keduanya. Dion
menampilkan sosok Ken yang slacker dan kerjanya hanya main game, tapi jago
mempersuasif calon investor dengan keseimbangan yang sangat baik, hidup, dan
convincing. Sementara Albert sebagai Andrew juga berhasil menjadi Andrew dengan
gesture-gesture khasnya, terutama cara bicara, sekaligus sifat introvert-nya.
Sayangnya, ada banyak kesempatan Albert kurang tepat menerjemahkan sosok ‘geek’
dari Andrew sehingga yang keluar justru agak ‘feminin’. Misalnya yang paling
terasa, lihat sorot mata Albert yang ke mana-mana ketika Andrew ‘ngambek’ ke
Ken. Ini pula yang agak menjadikan bromance antara Ken-Andrew di beberapa part
terasa awkward. Namun effort Albert Halim dalam menghidupkan karakter Andrew
patut diapresiasi karena memang bukan hal yang mudah, apalagi ini adalah kali
pertamanya mengisi peran lead dan tergolong unik pula. Sementara Pamela Bowie
sebagai Tika, tunangan Ken, yang porsinya berada di bawah Dion dan Albert,
memberikan kesegaran tersendiri lewat celetukan-celetukan dan chemistry bersama
Dion yang juga terjalin luwes.
Selain dari itu, cast pendukung
sebenarnya punya porsi yang jauh lebih sedikit tapi karena diisi oleh aktor
yang familiar, sehingga masih mampu jadi daya tarik buat penonton. Mulai
Richard Oh, Melissa Karim, Baim Wong, Ernest Prakasa, Indra Birowo, Tanta
Ginting, Nazyra C. Noer, Richard Kyle, Paul Agusta, dan Masayu Anastasia,
kesemuanya dengan mudah dikenali dan cukup membekas di benak penonton (terutama
yang familiar dengan scene film Indonesia).
Naya melakukan pendekatan yang
sangat menarik dan ‘pop’ untuk visualisasi SG sehingga narasi kisah hubungan
Ken-Andrew ini jadi lebih berwarna. Misalnya sticker seperti “+1 friendship”
dan “+1 achievement” bak video game untuk mendukung narasi. Yunus Pasolang
menghadirkan sinematografi yang sinematis di tiap shot, termasuk shot-shot
dengan latar green screen di beberapa adegan. Penggunaan drone shot pun terasa
tepat guna (tidak diumbar sekedar untuk gaya-gayaan) dan mendukung atmosfer
film yang ‘pop’. Sementara kepiawaian Yoga Krispratama merangkai puzzle cerita
SG dengan timeline acak justru mendukung pace cerita dan relevansi antar adegan
tanpa terkesan membingungkan. Desain produksi Andromedha Pradana juga patut
mendapatkan kredit tersendiri. Mulai set di apartemen Andrew di Seattle sampai
kantor Kaskus yang dominan warna vibrant biru-orange khas Kaskus, sangat
memanjakan mata dan membuat siapa saja yang melihat terinspirasi untuk
mendekorasi kantornya seperti itu. Satu kekurangan yang terlihat jelas mungkin
penggabungan shot greenscreen dengan CGI yang di beberapa momen masih sedikit
kurang rapi.
Terakhir, penata musik Aghi
Narottama tak perlu diragukan lagi kepiawaiannya dalam mempertajam atmosfer
film menjadi begitu energetic dan youth-spirited, termasuk pemilihan-pemilihan
pengisi soundtrack-nya seperti Sore (Aku),
Rock & Roll Mafia (Velvet Morning Air),
Eliezer Mezano & Khrisna Dwi Putra (theme song Mari Ngaskus), dan yang paling jadi favorit saya, Elephant Kind (Scenario III), serta Roman Foot Soliders
(Controversy). Cadassss!!!
Sebagai sebuah biopic, SG
berhasil menyampaikan poin-poin pentingnya dengan storytelling yang sangat
enjoyable dan suguhan yang fun. Bagi Kaskuser, SG semacam napak tilas yang
bikin tersenyum-senyum sepanjang film. In bigger frame, tak hanya menjadi
tontonan yang pas dan manis bareng sahabat (apalagi kalau sekaligus merangkap
partner bisnis), tapi penting juga sebagai semacam pengingat bagi siapa saja yang
sedang atau di-approach untuk bisnis bersama teman.