The Jose Movie Review
The Man with the Iron Fists


Overview

Saya yakin setidaknya ada dua tipe penonton yang "tertipu" oleh materi promosi The Man with the Iron Fists (TMwtIF). Yang pertama adalah yang mengira ini adalah film Mandarin produksi Cina asli. Yang kedua adalah yang tertarik karena embel-embel “Quentin Tarantion presents”.  Saya termasuk yang tipe kedua meski saya tahu ini hanyalah sekedar trik promosi agar lebih menjual, seperti yang pernah dilakukan Hostel 2005 silam. Quentin Tarantino bahkan sama sekali tidak terlibat dalam pembuatan film ini, kecuali hanya memberikan saran dan masukan untuk sang penggagas (penulis, sutradara, sekaligus aktor di TMwtIF), RZA. Namun saya mengharapkan setidaknya gaya dan kegilaan yang setipe dengan film-film Quentin Tarantino.

Bagi RZA yang lebih dikenal sebagai anggota band rap Wu Tang Clan, ini adalah kali pertamanya ia menulis sekaligus menyutradarai sebuah film. Dibantu Eli Roth (sutradara Hostel), inilah proyek ambisius pertamanya yang dibuat berdasarkan kecintaannya terhadap film kungfu Mandarin ala Shaw Brothers.

Nuansa tribute jelas terasa sejak opening title yang bergaya vintage Shaw Brothers. Selebihnya, RZA menghadirkan adegan-adegan aksi kungfu yang dipenuhi darah dan organ tubuh berhamburan kemana-mana. Fun? Jelas. Meski tidak se-exciting dan tidak se-remarkable Kill Bill, setidaknya TMwtIF sedikit memuaskan kerinduan saya akan adegan-adegan aksi sejenis. Tema blaxploitation (film yang mengeksploitasi etnis kulit hitam) turut diselipkan dalam sebuah adegan flashback.

Aura film yang berusaha serius dan kelam menjadi bumerang bagi RZA. Seandainya TMwtIF dibuat lebih dinamis dengan aura film yang lebih gokil seperti Kill Bill volume 1, saya yakin hasilnya akan jauh lebih enjoyable.

Lupakan sejenak berbagai logika terutama dari segi kehadiran etnis tertentu yang janggal untuk tinggal di sebuah teritori. Secara cerita, RZA memang terasa berusaha sekeras mungkin untuk menghadirkan cerita yang dipenuhi konflik dari berbagai karakter yang sama banyaknya dengan di film-film Guy Ritchie. Meski jika mau digaris bawahi, plotnya hanyalah sebuah perebutan emas oleh berbagai pihak dengan macam-macam kepentingan. Namun RZA bukanlah Quentin Tarantino maupun Guy Ritchie. Kemampuan menulisnya masih jauh dari bagus. Alih-alih tampak keren, cerita hasil tulisannya terasa bertele-tele, cheesy, dan dalam berbagai kesempatan terasa boring. Terutama sekali ia harus belajar merangkai alur dengan pace yang tepat dan memilah-milah adegan serta dialog yang perlu agar tidak mengganggu keseluruhan cerita. Saya justru masih bisa memaklumi cerita yang sederhana dan klise untuk film-film sejenis ini ketimbang penuh konflik tapi sangat terasa dibuat-buat. Toh, saya yakin bagi penonton jenis film seperti ini orisinalitas cerita tidak lah begitu penting. Yang penting adegan-adegan aksi penuh darah yang remarkable dan breath-taking. Seandainya ceritanya juga bagus dan orisinal, then it’s a bonus.

The Casts

Meski karakter Blacksmith yang diperankan RZA menjadi karakter utama (bahkan dijadikan titel film), namun di mata saya perannya tidak begitu menonjol maupun mencuri layar. Porsinya sama rata dengan karakter yang diperankan Russell Crowe (Jack Knife), Lucy Liu (Madam Blossom), maupun Rick Yune (Zen Yi). Karakter yang lebih menonjol berkat kecantikan dan kemampuannya dalam bela diri adalah Lady Silk (Jamie Chung) dan Gemini Female (Grace Huang). Sementara kehadiran pegulat WWE David Bautista bisa dibilang hanya penghias cerita, seperti halnya The Rock (Dwayne Johnson) ketika mengisi peran The Scorpion King di The Mummy Returns.

Technical

Adegan kungfu yang dipenuhi organ-organ tubuh terlepas dari letaknya dan aneka adegan berdarah-darah lainnya ditampilkan dengan sangat meyakinkan dan keren. Begitu juga beberapa CGI yang menghadirkan perubahan tubuh David Bautista pun tampak keren. Sayang penggunaan multi-panel framing terkesan hanya untuk gaya-gayaan. Terbukti setiap kali kemunculannya tidak memberikan efek apa-apa. Gambar di tiap panel tidak memberikan informasi yang berbeda. Dengan kata lain, penggunaan multi-panel framing-nya mubazir.

Dari segi score dan music tentu saja dihadirkan oleh RZA sendiri. Saya pribadi tidak masalah dengan fusion antara music rap hip-hop dan cerita berlatar Cina jaman kungfu. Namun pemilihan tune yang sesuai agaknya tetap harus diperhatikan. Ini berkaitan dengan aura film secara keseluruhan.

The Essence

Hmmm… kali ini persetan dengan esensi. Nikmati saja adegan-adegan kungfu sadis yang bertebaran di sepanjang film.

They who will enjoy this the most

  • Shaw Brothers style kungfu film fans
  • Actio-gore enthusiasts
Lihat data film ini di IMDb.



Diberdayakan oleh Blogger.