4/5
Comedy
Drama
Feel-good
Indie
Indonesia
Personality
Socio-cultural
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Demi Ucok
Overview
Saya tidak akan pernah tahu nama
Sammaria Simanjuntak jika tidak diperkenalkan dengan film indie berjudul Cin(T)a oleh seorang teman beberapa
tahun lalu. Maklum film tersebut dulunya hanya diputar di jaringan Blitz
Megaplex yang tidak ada di kota saya dan akses informasi film saya saat itu
tidak seluas sekarang (thanks to twitter for that!). Namanya makin saya kenal
ketika ia juga turut membagi pengalamannya sebagai filmmaker lewat buku My Life as a Movie Director. Setelah
debut tak terduga dengan budget sangat minim tersebut, Sammaria kembali dengan
semangat indie yang sama tetapi kali ini ia melebarkan karyanya ke jaringan
yang lebih luas dengan harapan penonton yang jauh lebih banyak. So here’s Demi Ucok (DU) yang merupakan film
Indonesia pertama dengan metode crowd-funding.
Sebagai film indie, tentu saja
feel DU berbeda dengan, let’s say, dua film Indonesia box office berbudget
besar yang terus melaju menuju dua juta
penonton saat tulisan ini dibuat. Namun di situlah perbedaan yang membuat DU terasa
lebih fresh di tengah pola dan gaya film standard Hollywood yang itu-itu saja.
Bagi penonton yang sudah terlanjur terbiasa dengan film-film cita-rasa
Hollywood yang terasa “epic”, mungkin akan menganggap film-film indie seperti
DU ini biasa saja. But let’s look a little bit deeper and with a positive mind.
Sebagai sebuah paket hiburan, DU
dengan gemilang berhasil menghibur penontonnya dengan celetukan-celetukan
cerdas serta tingkah laku karakternya, terutama Mak Gondut. Battle of
generation yang diwakili oleh ibu-anak terasa seru dan nyata. Di banyak bagian,
saya merasa seperti sedang disuarakan oleh karakter Gloria, anak dari Mak
Gondut. Pun demikian, saya juga tidak lantas membenci karakter Mak Gondut
dengan berbagai pola pikir yang berlawanan dengan Gloria (dan juga saya) berkat
kemasan komedi yang cerdas dan memang lucu, tidak dibuat-buat. Yes, it could
mean that most of the time I laughed at my own self and my state of mind but I
enjoyed it. A lot.
Banyak kata-kata keras (baca :
kelewat kurang ajar) terlontar di sana-sini, terutama dari mulut Gloria kepada
ibunya, Mak Gondut. Tapi somehow, sama sekali tidak ada yang terasa melecehkan
dan menyakitkan hati. Mungkin karena pembawaannya yang lebih ke komedi atau
mungkin juga karena DU tidak melebih-lebihkan tampilan kata-kata kurang ajar
tersebut seperti layaknya sinetron religi tentang anak durhaka. Di situlah
kelebihan DU, berhasil menyeimbangkan keseriusan yang nyata dengan humor-humor
satir pengocok perut. Budaya Batak yang diangkat, tidak hanya melalui
objek-objek nyata saja tetapi juga pola pikir sosialnya, disentil di sana-sini
tanpa terasa ofensif, seiring dengan sentilan terhadap berbagai problematika perfilman Indonesia
dan berbagai kejadian heboh di dunia hiburan akhir-akhir ini.
Di paruh kedua film, mungkin banyak
penonton yang merasakan perubahan drastis DU dari komedi satir ke drama yang
lebih serius. Terkesan membosankan dan kehilangan arah, tetapi saya melihatnya
sebagai : seperti itulah yang dirasakan karakter Glo saat itu, bosan dan
kehilangan arah. Tenang, DU tidak jatuh menjadi melodrama yang dragging dan tearjerker
berlebihan ala sinetron. Sammaria masih setia pada alur cerita dan adegan yang
natural hingga akhir film. Mungkin itu juga yang membuat DU terkesan (berlalu
dan berakhir) biasa saja bagi kebanyakan penonton. Tapi hey, mari kita
renungkan relevansi semua yang terjadi antara Gloria dan Mak Gondut dengan
hubungan kita dan orang tua, di balik semua hiruk pikuk tawa kita sepanjang
paruh pertama. It’s personal, warm, and feel good to me.
The Casts
Mak Gondut yang tak lain adalah
ibu kandung sang sutradara sekaligus penulis naskah, Sammaria Simanjuntak,
berhasil tampil gemilang dan mencuri layar sepanjang durasi. Meski merupakan film
pertamanya, ia membawakan karakter (yang kemungkinan besar adalah) dirinya
sendiri dengan sangat baik dan lovable. Thanks to the script yang memperkuat
karakter tersebut.
Geraldine Sianturi yang menjadi
putri rebel Mak Gondut pun mampu mengimbangi, setidaknya cukup menghidupkan
karakter yang dibebankan padanya. Begitu pula dengan Saira Jihan dan Sunny Soon yang karakter
nyentriknya tidak kalah menghibur. Tak ketinggalan Nora Samosir yang mengisi peran sutradara idola Gloria, Qasrina Umi (jelas sekali representasi sutradara kontroversial Malaysia, Yasmin Ahmad), juga tampil menarik perhatian.
Technical
Ini adalah film indie dengan
dukungan teknis yang jelas jauh lebih sederhana dibandingkan big budget films.
Tetapi untuk ukuran indie, DU tampak tak mengalami berbagai kendala. Bagi saya
tak ada yang mengganggu kenyamanan menonton, termasuk tata suara (terutama
dialog) yang tetap terdengar jelas. Dukungan score dan soundtrack-soundtrack
dari Homogenic mendukung suasana segar dan ceria yang diusung sepanjang film.
The Essence
Generation gap itu wajar dan
memang terjadi pada kultur sosial manapun, apalagi antara orang tua dan anak
yang jelas beda kepentingan. Namun sebenarnya bukan tidak mungkin antara
keduanya berada pada titik temu jika mau saling kompromi. Tak hanya anak yang
berkompromi dengan orang tua, tetapi juga sebaliknya. Toh, anak yang sudah
dewasa punya hak untuk menentukan hidupnya sendiri.
Mungkin benar, mimpi itu harus dikejar
karena jodoh nanti juga datang dengan sendirinya. Berkaca dari orang tua yang
“ngebet” menjodohkan anak-anaknya agar menjalani hidup yang sama seperti mereka tetapi ternyata
sebenarnya mengubur dalam-dalam mimpi ketika muda dan menyerah pada “keinginan
masyarakat umum”.
They who will enjoy this the most
- Orang tua (terutama ibu) dan anaknya
- Smart comedy enthusiasts
- Indie spirited audiences
Lihat situs resmi film ini