The Jose Movie Review
Demi Ucok

Overview

Saya tidak akan pernah tahu nama Sammaria Simanjuntak jika tidak diperkenalkan dengan film indie berjudul Cin(T)a oleh seorang teman beberapa tahun lalu. Maklum film tersebut dulunya hanya diputar di jaringan Blitz Megaplex yang tidak ada di kota saya dan akses informasi film saya saat itu tidak seluas sekarang (thanks to twitter for that!). Namanya makin saya kenal ketika ia juga turut membagi pengalamannya sebagai filmmaker lewat buku My Life as a Movie Director. Setelah debut tak terduga dengan budget sangat minim tersebut, Sammaria kembali dengan semangat indie yang sama tetapi kali ini ia melebarkan karyanya ke jaringan yang lebih luas dengan harapan penonton yang jauh lebih banyak. So here’s Demi Ucok (DU) yang merupakan film Indonesia pertama dengan metode crowd-funding.

Sebagai film indie, tentu saja feel DU berbeda dengan, let’s say, dua film Indonesia box office berbudget besar yang terus melaju  menuju dua juta penonton saat tulisan ini dibuat. Namun di situlah perbedaan yang membuat DU terasa lebih fresh di tengah pola dan gaya film standard Hollywood yang itu-itu saja. Bagi penonton yang sudah terlanjur terbiasa dengan film-film cita-rasa Hollywood yang terasa “epic”, mungkin akan menganggap film-film indie seperti DU ini biasa saja. But let’s look a little bit deeper and with a positive mind.

Sebagai sebuah paket hiburan, DU dengan gemilang berhasil menghibur penontonnya dengan celetukan-celetukan cerdas serta tingkah laku karakternya, terutama Mak Gondut. Battle of generation yang diwakili oleh ibu-anak terasa seru dan nyata. Di banyak bagian, saya merasa seperti sedang disuarakan oleh karakter Gloria, anak dari Mak Gondut. Pun demikian, saya juga tidak lantas membenci karakter Mak Gondut dengan berbagai pola pikir yang berlawanan dengan Gloria (dan juga saya) berkat kemasan komedi yang cerdas dan memang lucu, tidak dibuat-buat. Yes, it could mean that most of the time I laughed at my own self and my state of mind but I enjoyed it. A lot.

Banyak kata-kata keras (baca : kelewat kurang ajar) terlontar di sana-sini, terutama dari mulut Gloria kepada ibunya, Mak Gondut. Tapi somehow, sama sekali tidak ada yang terasa melecehkan dan menyakitkan hati. Mungkin karena pembawaannya yang lebih ke komedi atau mungkin juga karena DU tidak melebih-lebihkan tampilan kata-kata kurang ajar tersebut seperti layaknya sinetron religi tentang anak durhaka. Di situlah kelebihan DU, berhasil menyeimbangkan keseriusan yang nyata dengan humor-humor satir pengocok perut. Budaya Batak yang diangkat, tidak hanya melalui objek-objek nyata saja tetapi juga pola pikir sosialnya, disentil di sana-sini tanpa terasa ofensif, seiring dengan sentilan terhadap berbagai problematika perfilman Indonesia dan berbagai kejadian heboh di dunia hiburan akhir-akhir ini.

Di paruh kedua film, mungkin banyak penonton yang merasakan perubahan drastis DU dari komedi satir ke drama yang lebih serius. Terkesan membosankan dan kehilangan arah, tetapi saya melihatnya sebagai : seperti itulah yang dirasakan karakter Glo saat itu, bosan dan kehilangan arah. Tenang, DU tidak jatuh menjadi melodrama yang dragging dan tearjerker berlebihan ala sinetron. Sammaria masih setia pada alur cerita dan adegan yang natural hingga akhir film. Mungkin itu juga yang membuat DU terkesan (berlalu dan berakhir) biasa saja bagi kebanyakan penonton. Tapi hey, mari kita renungkan relevansi semua yang terjadi antara Gloria dan Mak Gondut dengan hubungan kita dan orang tua, di balik semua hiruk pikuk tawa kita sepanjang paruh pertama. It’s personal, warm, and feel good to me.

The Casts

Mak Gondut yang tak lain adalah ibu kandung sang sutradara sekaligus penulis naskah, Sammaria Simanjuntak, berhasil tampil gemilang dan mencuri layar sepanjang durasi. Meski merupakan film pertamanya, ia membawakan karakter (yang kemungkinan besar adalah) dirinya sendiri dengan sangat baik dan lovable. Thanks to the script yang memperkuat karakter tersebut.

Geraldine Sianturi yang menjadi putri rebel Mak Gondut pun mampu mengimbangi, setidaknya cukup menghidupkan karakter yang dibebankan padanya. Begitu pula dengan Saira Jihan dan Sunny Soon yang karakter nyentriknya tidak kalah menghibur. Tak ketinggalan Nora Samosir yang mengisi peran sutradara idola Gloria, Qasrina Umi (jelas sekali representasi sutradara kontroversial Malaysia, Yasmin Ahmad), juga tampil menarik perhatian.

Technical

Ini adalah film indie dengan dukungan teknis yang jelas jauh lebih sederhana dibandingkan big budget films. Tetapi untuk ukuran indie, DU tampak tak mengalami berbagai kendala. Bagi saya tak ada yang mengganggu kenyamanan menonton, termasuk tata suara (terutama dialog) yang tetap terdengar jelas. Dukungan score dan soundtrack-soundtrack dari Homogenic mendukung suasana segar dan ceria yang diusung sepanjang film.

The Essence

Generation gap itu wajar dan memang terjadi pada kultur sosial manapun, apalagi antara orang tua dan anak yang jelas beda kepentingan. Namun sebenarnya bukan tidak mungkin antara keduanya berada pada titik temu jika mau saling kompromi. Tak hanya anak yang berkompromi dengan orang tua, tetapi juga sebaliknya. Toh, anak yang sudah dewasa punya hak untuk menentukan hidupnya sendiri.

Mungkin benar, mimpi itu harus dikejar karena jodoh nanti juga datang dengan sendirinya. Berkaca dari orang tua yang “ngebet” menjodohkan anak-anaknya agar menjalani hidup yang sama seperti mereka tetapi ternyata sebenarnya mengubur dalam-dalam mimpi ketika muda dan menyerah pada “keinginan masyarakat umum”.

They who will enjoy this the most

  • Orang tua (terutama ibu) dan anaknya
  • Smart comedy enthusiasts
  • Indie spirited audiences
Lihat situs resmi film ini

Diberdayakan oleh Blogger.