3.5/5
Action
Based on Book
Crime
Drama
Gangster
Mafia
The Jose Movie Review
Tribute
Vintage
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Gangster Squad
Tema
gangster/mafia sudah menjadi sub-genre sendiri, tak hanya di
Hollywood tetapi juga di banyak negara lain mengingat eksistensi
mafia ternyata hampi selalu ada di negara-negara besar. Hollywood
sebagai salah satu trendsetter sub-genre ini tentu saja sudah
menelurkan banyak sekali film dan karakter-karakter legendaris hingga
kini. Mulai dari Don Corleone dari franchise The Godfather
yang menjadi landmark pertama sub-genre ini, Tony Montana, Al Capone,
dan masih banyak lagi. Jika dianalisa sebenarnya tidak banyak hal
baru yang ditampilkan film-film tersebut. Semuanya memiliki formula
yang kurang lebih sama. Yang membedakan biasanya terletak pada
keuikan karaktersistik tokoh pemimpin mafia beserta dengan latar
belakang kehidupannya. Dengan modal tersebut ditambah aktor hebat
yang mampu menghidupkan dengan cemerlang beserta production design
yang berkelas sesuai dengan gaya hidup ala gangster, kekerasan di
sana-sini yang menegangkan... Voila! Jadilah satu film gangster yang
terkesan baru bagi generasinya.
Berbekal
dengan analisis tersebut, saya sebagai salah satu penggemar sub-genre
ini tidak pernah berekspektasi terlalu tinggi terhadap film bertema
gangster. Apalagi di era 2000 ini film bertema gangster sangat jarang
diangkat, kalah pamor dengan film-film action bertemakan superhero.
Jadi ketika tahun ini disuguhi dua film bertema gangster yang
terkesan “berkelas”, Lawless dan Gangster Squad,
maka saya menyambutnya dengan antusias, meski seperti yang sudah saya
sampaikan sebelumnya, tak perlu memasang ekspektasi tinggi-tinggi and
let's just have fun. Sayang karena tragedi penembakan Colorado ketika
premiere The Dark Knight Rises beberapa waktu lalu, sebuah
adegan dihapus, ditulis, serta dishot ulang. Semoga saja adegan
tersebut dimasukkan sebagai bonus fitur di versi home video-nya.
Sayang rasanya jika tidak terpakai sama sekali.
Mengambil
sudut pandang pasukan polisi rahasia yang dibentuk untuk bergerilya
dalam rangka menghentikan langkah gangster “pemegang” Los
Angeles, Mickey Cohen, Gangster Squad (GS) memang tidak
mengusung sesuatu yang benar-benar baru bagi sub-genre gangster. All
those classical formula was here : setting Hollywood 40'an lengkap
dengan kostum, desain bangunan, props, music jazz, senapan, pejabat
yang telah disuap, serta polisi bersih yang bertekad memberantas
gangster. The atmosphere itself has been a love letter yang menjawab
kerinduan fans-nya. Klise demi klise dalam film sejenis ditampilkan
dengan sengaja seolah-olah sebagai mocking di sana-sini. Misalnya
saja quote-quote flirting, pamer aksi sang jagoan, atau
tindakan-tindakan yang akan dilakukan seorang pemimpin gangster
ketika kecewa dengan kinerja anak buahnya. Hal-hal yang mengingatkan
saya akan film-film gangster favorit dan berujar sambil tersenyum,
“ahseeeekkk” secara spontan. Meski in other side, saya harus
mengabaikan beberapa plot hole terutama yang berkaitan dengan logika
tindakan yang biasa dilakukan oleh seorang pemimpin gangster. Lebih
baik saya menganggap mungkin seperti itulah karakternya, tidak
secerdas atau sehati-hati yang lain. Siapalah saya sok tahu bagaimana
seorang pemimpin gangster harus bertindak?
GS
berada di antara dua treatment : punya materi cerita dan alur yang
serius tetapi mocking di sana-sini, spoof tetapi tidak sampai jatuh
menjadi slapstick. Menghibur dari dua sisi, komikal sekaligus
menegangkan. Lucu, brutal, dan berkali-kali it has its own memorable
moments. Dengan treatment demikian, nama Ruben Fleischer rasa-rasanya
adalah pilihan tepat untuk mengarahkan. Track record-nya yang
berhasil menjadikan Zombieland dan 30 Minutes or Less
film unik di sub-genre masing-masing diharapkan mampu menghembuskan
nafas kesegaran di sub-genre gangster. Usaha yang baik dan cukup
menghibur fans sub-genre-nya meski belum mampu menyamai kesegaran
Zombieland maupun 30 Minutes or Less. Sebenarnya tak
ada gunanya pula membanding-bandingkan ketiganya karena masing-masing
punya keunikan sendiri dan toh saya masih menikmati semuanya. GS
tidak pula berusaha tampil serius dengan jalinan cerita yang dibuat
sok beda atau sok ribet yang justru malah akan membuatnya lebih susah
dinikmati (masih ingat kasus The Man with the Iron Fists?).
It’s total fun dan yang pasti senyum lebar pun terukir di bibir
saya ketika credit bergaya vintage dengan diiringi Bless You (For
the Good That's in You) oleh Peggy Lee dimulai.
The Casts
Jajaran
cast list GS bisa jadi salah satu alasan utama penarik minat
penonton. Bayangkan saja Sean Penn, Josh Brolin, Ryan Gosling, Emma
Stone, Giovanni Ribisi, Michael Peña, Nick Nolte, hingga Robert
Patrick berada pada satu layar. Tentu tak perlu diragukan lagi
performa akting mereka. Terutama sekali Josh Brolin yang semakin
matang dalam menghidupkan peran badass dan diberi porsi peran yang
paling banyak. Kualitas akting yang sama ditunjukkan pula oleh Sean
Penn. Memang bukan karakter utama dan porsinya tak sebanyak serta
sedetail film-film gangster lain, tetapi ia tetap menunjukkan
kharisma yang cukup kuat.
Ryan
Gosling menampilkan sisi lain yang berbeda jauh dari karakter yang
biasa diambilnya. Flamboyan, cenderung lembut, namun cukup berbahaya
ketika beraksi. Sementara Emma Stone yang menjadi satu-satunya
kembang di antara lebah terasa tidak lebih dari sekedar pemanis.
Untung saja pemanis yang tidak “buatan”, diciptakan lemah banget
yang justru membuat kehadirannya mengganggu. Setidaknya she’s still
a tough and pretty brave lady.
Kehadiran
Michael Peña, Anthony Mackie, Giovanni Ribisi, dan aktor-aktor lawas
macam Nick Nolte, serta Robert Patrick, cukup meramaikan suasana.
Terutama Ribisi yang mengisi peran karakter wise, tidak pandai
berkelahi, namun cerdas. Sedikit berbeda dari biasanya (dimana ia
selalu hanya mendapat peran pendukung tipikal di film-film action
besar) dan terbukti cukup mengesankan.
Technical
Semua
elemen pembangun atmosfer glamour Hollywood 40’an digarap dengan
sangat serius. Set, prop, kostum, dan terutama pemilihan music Jazz
serta score Steve Jablonsky ala-ala film gangster klasik, sangat
berhasil menghidupkan atmosfer tersebut. Penggunaan slo-mo dalam
timing dan jumlah yang efektif turut menambah keseruan dan ketegangan
beberapa adegan laga. Tak ketinggalan pula kerenyahan bass terutama
untuk suara tembakan. Semuanya terbungkus dalam satu paket yang tepat
guna, tidak terasa berlebihan sesuai setting jamannya.
The Essence
Semua
orang punya “badge” dalam hidupnya. Beberapa polisi mengenakan
“badge” secara sukarela dan niat yang mulia karena benar-benar
ada di dalam dirinya, bukan karena uang atau kenaikan pangkat maupun
gaji. Ganjaran yang diterimanya adalah kehormatan dan kebanggan diri.
So what’s your “badge”?
They who will enjoy this the most
- Gangster movies fans
- The 40’s vintage atmosphere lovers
- Brutal action enthusiasts