The Jose Movie Review
Gangster Squad

Overview
Tema gangster/mafia sudah menjadi sub-genre sendiri, tak hanya di Hollywood tetapi juga di banyak negara lain mengingat eksistensi mafia ternyata hampi selalu ada di negara-negara besar. Hollywood sebagai salah satu trendsetter sub-genre ini tentu saja sudah menelurkan banyak sekali film dan karakter-karakter legendaris hingga kini. Mulai dari Don Corleone dari franchise The Godfather yang menjadi landmark pertama sub-genre ini, Tony Montana, Al Capone, dan masih banyak lagi. Jika dianalisa sebenarnya tidak banyak hal baru yang ditampilkan film-film tersebut. Semuanya memiliki formula yang kurang lebih sama. Yang membedakan biasanya terletak pada keuikan karaktersistik tokoh pemimpin mafia beserta dengan latar belakang kehidupannya. Dengan modal tersebut ditambah aktor hebat yang mampu menghidupkan dengan cemerlang beserta production design yang berkelas sesuai dengan gaya hidup ala gangster, kekerasan di sana-sini yang menegangkan... Voila! Jadilah satu film gangster yang terkesan baru bagi generasinya.
Berbekal dengan analisis tersebut, saya sebagai salah satu penggemar sub-genre ini tidak pernah berekspektasi terlalu tinggi terhadap film bertema gangster. Apalagi di era 2000 ini film bertema gangster sangat jarang diangkat, kalah pamor dengan film-film action bertemakan superhero. Jadi ketika tahun ini disuguhi dua film bertema gangster yang terkesan “berkelas”, Lawless dan Gangster Squad, maka saya menyambutnya dengan antusias, meski seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, tak perlu memasang ekspektasi tinggi-tinggi and let's just have fun. Sayang karena tragedi penembakan Colorado ketika premiere The Dark Knight Rises beberapa waktu lalu, sebuah adegan dihapus, ditulis, serta dishot ulang. Semoga saja adegan tersebut dimasukkan sebagai bonus fitur di versi home video-nya. Sayang rasanya jika tidak terpakai sama sekali.
Mengambil sudut pandang pasukan polisi rahasia yang dibentuk untuk bergerilya dalam rangka menghentikan langkah gangster “pemegang” Los Angeles, Mickey Cohen, Gangster Squad (GS) memang tidak mengusung sesuatu yang benar-benar baru bagi sub-genre gangster. All those classical formula was here : setting Hollywood 40'an lengkap dengan kostum, desain bangunan, props, music jazz, senapan, pejabat yang telah disuap, serta polisi bersih yang bertekad memberantas gangster. The atmosphere itself has been a love letter yang menjawab kerinduan fans-nya. Klise demi klise dalam film sejenis ditampilkan dengan sengaja seolah-olah sebagai mocking di sana-sini. Misalnya saja quote-quote flirting, pamer aksi sang jagoan, atau tindakan-tindakan yang akan dilakukan seorang pemimpin gangster ketika kecewa dengan kinerja anak buahnya. Hal-hal yang mengingatkan saya akan film-film gangster favorit dan berujar sambil tersenyum, “ahseeeekkk” secara spontan. Meski in other side, saya harus mengabaikan beberapa plot hole terutama yang berkaitan dengan logika tindakan yang biasa dilakukan oleh seorang pemimpin gangster. Lebih baik saya menganggap mungkin seperti itulah karakternya, tidak secerdas atau sehati-hati yang lain. Siapalah saya sok tahu bagaimana seorang pemimpin gangster harus bertindak?
GS berada di antara dua treatment : punya materi cerita dan alur yang serius tetapi mocking di sana-sini, spoof tetapi tidak sampai jatuh menjadi slapstick. Menghibur dari dua sisi, komikal sekaligus menegangkan. Lucu, brutal, dan berkali-kali it has its own memorable moments. Dengan treatment demikian, nama Ruben Fleischer rasa-rasanya adalah pilihan tepat untuk mengarahkan. Track record-nya yang berhasil menjadikan Zombieland dan 30 Minutes or Less film unik di sub-genre masing-masing diharapkan mampu menghembuskan nafas kesegaran di sub-genre gangster. Usaha yang baik dan cukup menghibur fans sub-genre-nya meski belum mampu menyamai kesegaran Zombieland maupun 30 Minutes or Less. Sebenarnya tak ada gunanya pula membanding-bandingkan ketiganya karena masing-masing punya keunikan sendiri dan toh saya masih menikmati semuanya. GS tidak pula berusaha tampil serius dengan jalinan cerita yang dibuat sok beda atau sok ribet yang justru malah akan membuatnya lebih susah dinikmati (masih ingat kasus The Man with the Iron Fists?). It’s total fun dan yang pasti senyum lebar pun terukir di bibir saya ketika credit bergaya vintage dengan diiringi Bless You (For the Good That's in You) oleh Peggy Lee dimulai.

The Casts

Jajaran cast list GS bisa jadi salah satu alasan utama penarik minat penonton. Bayangkan saja Sean Penn, Josh Brolin, Ryan Gosling, Emma Stone, Giovanni Ribisi, Michael Peña, Nick Nolte, hingga Robert Patrick berada pada satu layar. Tentu tak perlu diragukan lagi performa akting mereka. Terutama sekali Josh Brolin yang semakin matang dalam menghidupkan peran badass dan diberi porsi peran yang paling banyak. Kualitas akting yang sama ditunjukkan pula oleh Sean Penn. Memang bukan karakter utama dan porsinya tak sebanyak serta sedetail film-film gangster lain, tetapi ia tetap menunjukkan kharisma yang cukup kuat.
Ryan Gosling menampilkan sisi lain yang berbeda jauh dari karakter yang biasa diambilnya. Flamboyan, cenderung lembut, namun cukup berbahaya ketika beraksi. Sementara Emma Stone yang menjadi satu-satunya kembang di antara lebah terasa tidak lebih dari sekedar pemanis. Untung saja pemanis yang tidak “buatan”, diciptakan lemah banget yang justru membuat kehadirannya mengganggu. Setidaknya she’s still a tough and pretty brave lady.
Kehadiran Michael Peña, Anthony Mackie, Giovanni Ribisi, dan aktor-aktor lawas macam Nick Nolte, serta Robert Patrick, cukup meramaikan suasana. Terutama Ribisi yang mengisi peran karakter wise, tidak pandai berkelahi, namun cerdas. Sedikit berbeda dari biasanya (dimana ia selalu hanya mendapat peran pendukung tipikal di film-film action besar) dan terbukti cukup mengesankan.

Technical

Semua elemen pembangun atmosfer glamour Hollywood 40’an digarap dengan sangat serius. Set, prop, kostum, dan terutama pemilihan music Jazz serta score Steve Jablonsky ala-ala film gangster klasik, sangat berhasil menghidupkan atmosfer tersebut. Penggunaan slo-mo dalam timing dan jumlah yang efektif turut menambah keseruan dan ketegangan beberapa adegan laga. Tak ketinggalan pula kerenyahan bass terutama untuk suara tembakan. Semuanya terbungkus dalam satu paket yang tepat guna, tidak terasa berlebihan sesuai setting jamannya.

The Essence

Semua orang punya “badge” dalam hidupnya. Beberapa polisi mengenakan “badge” secara sukarela dan niat yang mulia karena benar-benar ada di dalam dirinya, bukan karena uang atau kenaikan pangkat maupun gaji. Ganjaran yang diterimanya adalah kehormatan dan kebanggan diri. So what’s your “badge”?

They who will enjoy this the most

  • Gangster movies fans
  • The 40’s vintage atmosphere lovers
  • Brutal action enthusiasts
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.