The Jose Movie Review
Gending Sriwijaya

Overview

Sudah berapa kali Anda mendapatkan nama Hanung Bramantyo di poster film Indonesia tahun 2012 lalu? Kalau menurut hitungan saya, setidaknya ada Perahu Kertas 1-2, Cinta tapi Beda (menemani salah satu muridnya, Hestu Saputra), dan Habibie dan Ainun (sebagai salah satu co-producer). Tahun 2011 lalu malah ada tiga film yang menyangkut-paut namanya; Tendangan dari Langit, Tanda Tanya, dan Pengejar Angin (Dapunta). Tak terkecuali di awal 2013 dimana proyek film seolah tidak pernah berhenti mengalir padanya. Kali ini Pemprov Sumatra Selatan yang lagi-lagi mengontraknya untuk menggarap proyek film kedua setelah Pengejar Angin (Dapunta). Tak hanya menyutradarai, Hanung juga yang menulis skripnya yang dipromosikan sebagai film sejarah kolosal Indonesia jaman kerajaan.
Well Indonesia memang punya sejarah yang cukup panjang dalam mengangkat kisah jaman kerajaan-kerajaan Nusantara. Sempat pula mengalami masa-masa keemasan meski akhirnya perlahan mulai ditinggalkan dan tergantikan dalam format sinetron yang semakin lama semakin ngaco, baik dalam hal cerita maupun production value. Alangkah patut dihargai dan disambut atas niat baik Hanung untuk mencoba menangani berbagai genre, termasuk yang sudah lama ditinggalkan dan sudah terlanjur punya image buruk di mata penonton Indonesia: sejarah kerajaan Nusantara. Soal berhasil atau tidak, itu urusan lain.
Promo yang menggunakan istilah “kolosal” rupanya masih belum tepat untuk disematkan pada film bertajuk Gending Sriwijaya ini karena Hanung memposisikannya lebih kepada sebuah film drama bersettingkan pecahan Kerajaan Sriwijaya, Kedatuan Bukit Jerai. Cerita yang digunakan di sini memang bukan berdasarkan kisah sejarah nyata atau legenda. Hanung murni menulis kisah fiksi yang sedikit banyak sebenarnya merefleksikan keadaan politik tanah air saat ini, dengan karakter-karakter yang rupanya terinspirasi dari cerita legenda Sriwijaya yang sudah ada. Bukan menjadi masalah sebenarnya selama cerita tersebut masih menarik untuk diikuti di balik durasinya yang cukup panjang, 138 menit.
Ide cerita yang diusung Hanung sebenarnya sudah cukup jamak diangkat dalam medium film, khususnya Hollywood. Versi paling modern-nya mungkin banyak punya kemiripan dengan Thor; perebutan kekuasaan sebuah kerajaan monarki oleh kedua bersaudara anak Raja yang mengakibatkan salah satunya terasingkan. Maka sebuah pembalasan (atau lebih tepatnya pengembalian kekuasaan) dilakukan oleh pihak yang terasingkan untuk mengembalikan kerajaan ke keadaan yang stabil. Yes, that simple. Namun yang menarik sebenarnya ada pada sub-plot kelompok vigilante yang di dalamnya tergabung seorang wanita tangguh nan seksi yang diperankan oleh Julia Perez. Perannya inilah yang melahirkan istilah Gending Sriwijaya hingga dijadikan titel.
Unsur menarik dari sub-plot tersebut sayangnya seolah hanya menjadi pemanis dan tidak banyak dieksplor dalam skrip. Justru Hanung menyelipkan terlalu banyak sub-plot yang membuat GS terasa terlalu panjang, bercabang ke mana-mana, dan pada akhirnya mengurangi kenikmatan menonton. Ada banyak sekali bagian yang menurut saya tidak perlu ditampilkan terlalu detail namun ditampilkan semua di layar bak drama seri televisi. It’s ok for TV series, but for theatrical, it must have a different treatmeant kan? Contohnya saja, cerita bisa saja dimulai langsung ketika pembunuhan raja terjadi. Tidak perlu lah menampilkan kedatangan Purnama Kelana secara bertele-tele hingga memaksakan untuk mengurusi masalah santapan babi untuk tamunya yang beragama muslim demi idealisme Hanung. Jika Anda mengamati karya-karya Hanung akhir-akhir ini, entah kenapa “babi” menjadi unsur favoritnya dalam menggambarkan toleransi antar umat beragama. Pun penggantian beberapa adegan dengan visualisasi animasi justru lebih terkesan untuk menghemat budget ketimbang mempersingkat alur. Sayang sekali sebenarnya.
Untung saja penampilan para aktor terutama yang sudah senior dan adegan-adegan perkelahian nan brutal cukup menghibur di banyak kesempatan. Sebagai sebuah awal permulaan baru genre kerajaan Nusantara, it’s ok. Semoga saja ke depannya genre sejenis bisa berkembang dengan skrip yang jauh lebih baik dan tentu saja production value yang lebih epik.

The Casts

Penampilan aktor menjadi kekuatan untuk menutupi skripnya yang membosankan dan meluber kemana-mana, terutama aktor-aktor senior seperti Slamet Rahardjo Djarot dan Jajang C. Noer. Agus Kuncoro masih tampil baik terlepas dari shading six-pack palsunya yang menggelikan dan tidak konsisten itu. Sahrul Gunawan... agak miscast sih sebenarnya tetapi usahanya cukup maksimal untuk menghidupkan karakternya.
Mathias Muchus tidak memiliki banyak porsi untuk membuat karakternya menjadi menarik selain karena faktor tata rias make over-nya. Rifnu Wikana masih memerankan karakter tipikal dan tercocoknya dengan ekspresi wajah penuh murka itu. Qausar HY sama seperti Mathias Muchus yang tidak punya banyak porsi.
Sementara bintang yang mungkin menjadi faktor utama menonton GS bagi kebanyakan penonton adalah Julia Perez yang banyak dinilai sebagai usahanya “naik kelas” dari sekedar bomb seks menjadi aktris yang patut diperhitungkan. Kemampuan aksi bela diri yang di luar ekspektasi, akting yang ternyata lebih dari sekedar cukup baik, dan aura seksi yang masih terpancar meski dengan warna kulit yang digelapkan dan tanpa pakaian yang terlampau mengeskploitasi organ, she’s the star here.

Technical

Poin positif lainnya yang menjadikan GS masih layak untuk disaksikan adalah production value-nya yang tergolong sangat niat. Terutama sekali setting serta props yang tampak real dan tidak main-main. Visualisasi kerajaan dalam wideshot mungkin masih tampak animasi (atau maket?) but overall was still above average. Adegan laganya pun ditata dengan rapi dan visual effect gore yang real.
Teknis favorit lainnya yang juga mencengangkan saya ketika menyaksikannya di bioskop adalah score megah yang ditata oleh Djaduk Ferianto. Luar biasa, bahkan jika digunakan untuk film kolosal yang melibatkan peperangan jauh lebih epik.

The Essence

Dua pangeran penerus tahta kerajaan yang berbeda preferensi, yang satu dalam kekuatan perang dan satunya dalam intelektualitas sebenarnya merupakan simbol dari keseimbangan yang dua-duanya dibutuhkan dalam sebuah kerajaan. Namun ketamakan dan pengkhianatan salah satu mengganggu keseimbangan tersebut dan nyaris menghancurkan semuanya. Hanung pun kembali mendobrak budaya patriarki. Seolah ia ingin menyampaikan bahwa yang paling dibutuhkan dalam kemajuan sebuah kerajaan adalah intelektualitas, bukan melulu maskulinitas yang ditandai oleh kekuatan dalam berperang. Lihat juga simbol kekuatan feminisme yang juga dijadikan titel mengalahkan kedigdayaan penguasa yang maskulin.

They who will enjoy this the most

  • Pecinta cerita bersettingkan kerajaan Nasional
  • Fans Julia Perez
 Lihat data film ini di Film Indonesia dan IdFilmCenter.
Diberdayakan oleh Blogger.