3/5
Action
Drama
Gore
Indonesia
Kingdom
Martial Art
The Jose Movie Review
War
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Gending Sriwijaya
Overview
Sudah berapa
kali Anda mendapatkan nama Hanung Bramantyo di poster film Indonesia tahun 2012
lalu? Kalau menurut hitungan saya, setidaknya ada Perahu Kertas 1-2, Cinta tapi
Beda (menemani salah satu muridnya, Hestu Saputra), dan Habibie dan Ainun (sebagai salah satu
co-producer). Tahun 2011 lalu malah ada tiga film yang menyangkut-paut namanya;
Tendangan dari Langit, Tanda Tanya, dan Pengejar Angin (Dapunta). Tak terkecuali di awal 2013 dimana proyek
film seolah tidak pernah berhenti mengalir padanya. Kali ini Pemprov Sumatra
Selatan yang lagi-lagi mengontraknya untuk menggarap proyek film kedua setelah Pengejar Angin (Dapunta). Tak hanya
menyutradarai, Hanung juga yang menulis skripnya yang dipromosikan sebagai film
sejarah kolosal Indonesia jaman kerajaan.
Well
Indonesia memang punya sejarah yang cukup panjang dalam mengangkat kisah jaman
kerajaan-kerajaan Nusantara. Sempat pula mengalami masa-masa keemasan meski
akhirnya perlahan mulai ditinggalkan dan tergantikan dalam format sinetron yang
semakin lama semakin ngaco, baik dalam hal cerita maupun production value.
Alangkah patut dihargai dan disambut atas niat baik Hanung untuk mencoba
menangani berbagai genre, termasuk yang sudah lama ditinggalkan dan sudah
terlanjur punya image buruk di mata penonton Indonesia: sejarah kerajaan
Nusantara. Soal berhasil atau tidak, itu urusan lain.
Promo yang
menggunakan istilah “kolosal” rupanya masih belum tepat untuk disematkan pada
film bertajuk Gending Sriwijaya ini
karena Hanung memposisikannya lebih kepada sebuah film drama bersettingkan
pecahan Kerajaan Sriwijaya, Kedatuan Bukit Jerai. Cerita yang digunakan di sini
memang bukan berdasarkan kisah sejarah nyata atau legenda. Hanung murni menulis
kisah fiksi yang sedikit banyak sebenarnya merefleksikan keadaan politik tanah
air saat ini, dengan karakter-karakter yang rupanya terinspirasi dari cerita
legenda Sriwijaya yang sudah ada. Bukan menjadi masalah sebenarnya selama
cerita tersebut masih menarik untuk diikuti di balik durasinya yang cukup
panjang, 138 menit.
Ide cerita
yang diusung Hanung sebenarnya sudah cukup jamak diangkat dalam medium film,
khususnya Hollywood. Versi paling modern-nya mungkin banyak punya kemiripan
dengan Thor; perebutan kekuasaan
sebuah kerajaan monarki oleh kedua bersaudara anak Raja yang mengakibatkan
salah satunya terasingkan. Maka sebuah pembalasan (atau lebih tepatnya
pengembalian kekuasaan) dilakukan oleh pihak yang terasingkan untuk
mengembalikan kerajaan ke keadaan yang stabil. Yes, that simple. Namun yang
menarik sebenarnya ada pada sub-plot kelompok vigilante yang di dalamnya
tergabung seorang wanita tangguh nan seksi yang diperankan oleh Julia Perez.
Perannya inilah yang melahirkan istilah Gending Sriwijaya hingga dijadikan
titel.
Unsur
menarik dari sub-plot tersebut sayangnya seolah hanya menjadi pemanis dan tidak
banyak dieksplor dalam skrip. Justru Hanung menyelipkan terlalu banyak sub-plot
yang membuat GS terasa terlalu panjang, bercabang ke mana-mana, dan pada
akhirnya mengurangi kenikmatan menonton. Ada banyak sekali bagian yang menurut
saya tidak perlu ditampilkan terlalu detail namun ditampilkan semua di layar
bak drama seri televisi. It’s ok for TV series, but for theatrical, it must
have a different treatmeant kan? Contohnya saja, cerita bisa saja dimulai
langsung ketika pembunuhan raja terjadi. Tidak perlu lah menampilkan kedatangan
Purnama Kelana secara bertele-tele hingga memaksakan untuk mengurusi masalah
santapan babi untuk tamunya yang beragama muslim demi idealisme Hanung. Jika
Anda mengamati karya-karya Hanung akhir-akhir ini, entah kenapa “babi” menjadi
unsur favoritnya dalam menggambarkan toleransi antar umat beragama. Pun
penggantian beberapa adegan dengan visualisasi animasi justru lebih terkesan
untuk menghemat budget ketimbang mempersingkat alur. Sayang sekali sebenarnya.
Untung saja
penampilan para aktor terutama yang sudah senior dan adegan-adegan perkelahian
nan brutal cukup menghibur di banyak kesempatan. Sebagai sebuah awal permulaan
baru genre kerajaan Nusantara, it’s ok. Semoga saja ke depannya genre sejenis
bisa berkembang dengan skrip yang jauh lebih baik dan tentu saja production
value yang lebih epik.
The Casts
Penampilan
aktor menjadi kekuatan untuk menutupi skripnya yang membosankan dan meluber
kemana-mana, terutama aktor-aktor senior seperti Slamet Rahardjo Djarot dan
Jajang C. Noer. Agus Kuncoro masih tampil baik terlepas dari shading six-pack
palsunya yang menggelikan dan tidak konsisten itu. Sahrul Gunawan... agak
miscast sih sebenarnya tetapi usahanya cukup maksimal untuk menghidupkan
karakternya.
Mathias
Muchus tidak memiliki banyak porsi untuk membuat karakternya menjadi menarik
selain karena faktor tata rias make over-nya. Rifnu Wikana masih memerankan
karakter tipikal dan tercocoknya dengan ekspresi wajah penuh murka itu. Qausar
HY sama seperti Mathias Muchus yang tidak punya banyak porsi.
Sementara
bintang yang mungkin menjadi faktor utama menonton GS bagi kebanyakan penonton
adalah Julia Perez yang banyak dinilai sebagai usahanya “naik kelas” dari
sekedar bomb seks menjadi aktris yang patut diperhitungkan. Kemampuan aksi bela
diri yang di luar ekspektasi, akting yang ternyata lebih dari sekedar cukup
baik, dan aura seksi yang masih terpancar meski dengan warna kulit yang
digelapkan dan tanpa pakaian yang terlampau mengeskploitasi organ, she’s the
star here.
Technical
Poin positif
lainnya yang menjadikan GS masih layak untuk disaksikan adalah production
value-nya yang tergolong sangat niat. Terutama sekali setting serta props yang
tampak real dan tidak main-main. Visualisasi kerajaan dalam wideshot mungkin
masih tampak animasi (atau maket?) but overall was still above average. Adegan
laganya pun ditata dengan rapi dan visual effect gore yang real.
Teknis
favorit lainnya yang juga mencengangkan saya ketika menyaksikannya di bioskop
adalah score megah yang ditata oleh Djaduk Ferianto. Luar biasa, bahkan jika
digunakan untuk film kolosal yang melibatkan peperangan jauh lebih epik.
The Essence
Dua pangeran
penerus tahta kerajaan yang berbeda preferensi, yang satu dalam kekuatan perang
dan satunya dalam intelektualitas sebenarnya merupakan simbol dari keseimbangan
yang dua-duanya dibutuhkan dalam sebuah kerajaan. Namun ketamakan dan
pengkhianatan salah satu mengganggu keseimbangan tersebut dan nyaris
menghancurkan semuanya. Hanung pun kembali mendobrak budaya patriarki. Seolah ia
ingin menyampaikan bahwa yang paling dibutuhkan dalam kemajuan sebuah kerajaan
adalah intelektualitas, bukan melulu maskulinitas yang ditandai oleh kekuatan
dalam berperang. Lihat juga simbol kekuatan feminisme yang juga dijadikan titel
mengalahkan kedigdayaan penguasa yang maskulin.
They who will enjoy this the most
- Pecinta cerita bersettingkan kerajaan Nasional
- Fans Julia Perez
Lihat data film ini di Film Indonesia dan IdFilmCenter.