3.5/5
Based on a True Event
Drama
Family
History
Indonesia
Psychological
Socio-cultural
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Di Balik 98
Overview
Tragedi 1998 termasuk salah satu
peristiwa terpenting dalam sejarah perjalanan Indonesia. Sampai sekarang
mungkin masih menyisakan luka bagi korban dan keluarganya, seiring dengan belum
sepenuhnya jelas terungkap siapa di balik peristiwa berdarah ini. Terlepas dari
itu, tragedi 1998 adalah titik balik bagi negeri ini, maka perlu selalu
dijadikan pengingat. Maka ketika akan diangkat ke medium film, tak heran jika
banyak yang khawatir akan seperti apa muatannya. Sejak awal Lukman Sardi selaku
sutradara menegaskan bahwa film debutnya ini tidak berusaha untuk mengupas
tuntas tragedi 1998 maupun membela atau menyalahkan salah satu pihak. Di Balik 98 (DB98) dipasarkan sebagai
drama kemanusiaan dengan karakter-karakter fiktif dan background kejadian
nyata.
Memang benar, di paruh pertama
film porsi utama DB98 adalah kisah drama fiktif. Kita diajak terlibat dalam
konflik Diana, seorang mahasiswi yang sedang berjuang menuntut reformasi,
sementara kakaknya, Salma, adalah staf dapur istana dan suami kakaknya, Bagus,
adalah tentara. Tidak hanya itu, Diana menjalin hubungan asmara dengan sesama
mahasiswa keturunan Cina bernama Daniel. Seiring dengan guliran peristiwa
menjelang lengsernya mantan presiden Soeharto, kesemuanya semakin
tercerai-berai. Sebagai tambahan, ditampilkan pula figur seorang gelandangan
dan putra tunggalnya yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi di sekitarnya
namun turut menjadi korban.
Namun semakin lama,
konflik-konflik personal dan sosial ini menjadi semakin berkurang. Yang
kemudian muncul dan mengaburkan porsi tersebut adalah kronologis kejadian nyata
yang melibatkan tokoh-tokoh nyata penting di balik peristiwa 1998. Mulai BJ
Habibie, Soeharto, Harmoko, dan banyak lagi. Sayang sekali, kronologis ini
sangat mengganggu jalinan cerita fiktif yang sudah dirangkai dengan rapi dan
tingkat emosi yang sangat pas. Tak hanya itu, tingkat logis cerita fiktifnya
menjadi berkurang dari segi timeline akibat mengikuti kronologis peristiwa
nyatanya. I mean, bagaimana mungkin Bagus dan Diana bisa tampak setenang itu,
padahal tidak ada kabar keberadaan Salma sama sekali selama beberapa hari.
Keadaan Salma pun menjadi mustahil seaman itu dalam hitungan hari. Porsi
kronologis nyata ini juga sebenarnya mengingkari konsep utama film yang katanya
ingin menyuguhkan sisi humanis ketimbang mengupas peristiwa Tragedi 98, meski
di layar sebenarnya tampak sekedar sebagai formalitas.
Untungnya DB98 masih cukup pas
menempatkan diri tanpa memihak atau menyalahkan salah satu pihak. Sosok
Soeharto yang kenyataannya sering dianggap sebagai “penjahat” dan dalang
tragedi 1998, di sini ditampilkan dalam sisi humanisnya pula. Bagaimana reaksi
raut wajahnya dan bagaimana kedekatan hubungannya dengan putri sulungnya, Siti
Hardiyanti Rukmana, tanpa banyak dialog. Sama sekali tidak ada yang berusaha
memojokkan maupun membelanya. Setidaknya dari sini bisa dilihat niatannya
memang bukan untuk mencari pembenaran atau menyalahkan. Itu patut diapresiasi
lebih.
Tapi tentu saja kekuatan utama
DB98 adalah kepiawaian Lukman Sardi dalam menghidupkan adegan-adegan fiktifnya
menjadi begitu menyentuh. Terlebih lagi dalam banyak kasus, bagian-bagian yang
emosinya terasa paling kuat justru tersampaikan melalui bahasa gambar saja,
tanpa banyak dialog. Di bagian akhir pun, DB98 mampu terasa manis menutup
ceritanya tanpa juga harus menjadi cliché.
The Casts
Karakter-karakter fiktif utamanya
mampu begitu dihidupkan oleh aktor-aktris dengan sangat baik dan cukup merata.
Chelsea Islan semakin mengukuhkan kemampuan aktingnya terutama untuk
peran-peran rebel. Boy William juga menunjukkan kualitas akting yang semakin
baik. Sementara tidak perlu mempertanyakan lagi kualitas Donny Alamsyah, Ririn
Ekawati, dan Teuku Rifnu Wikana. Keberhasilan emosi DB98 utamanya juga
merupakan faktor akting dari mereka.
Sementara pemilihan aktor untuk
peran-peran tokoh nyata sebenarnya cukup menarik dan kebanyakan juga mampu
membawakan peran masing-masing dengan baik. Terutama sekali Agus Kuncoro yang
kebagian peran sebagai BJ Habibie dan sebenarnya secara fisik ternyata memang cukup
mirip. Tidak sebrilian Reza Rahadian di Habibie
& Ainun, tapi ia mampu menirukan gesture dan suara BJ Habibie dengan
cukup baik. Masih terasa komikal di beberapa bagian, namun Agus menunjukkan
keseriusan di adegan-adegan lainnya. Sementara yang terasa tampil kurang
meyakinkan adalah Iang Darmawan yang memerankan sosok Harmoko. Entah disengaja
atau tidak, sosok Harmoko justru terasa lebih untuk melawak ketimbang
menampilkan sesuatu yang serius.
Technical
DB98 terasa dibuat dengan
dukungan teknis yang sangat memadai dan dengan niatan yang tinggi. Seperti
biasa, Yadi Sugandi berhasil merekam adegan dengan framing yang sinematik dan
indah, ditambah coloring tone yang mendukung nuansa film secara keseluruhan.
Sementara tata suaranya juga
ditata dengan pas. Keseimbangan antara dialog, sound effect, music scoring, dan
detail latar suara seperti teriakan orasi, terjaga dengan seimbang dan jelas.
Fasilitas efek surround juga dimanfaatkan dengan sangat baik untuk menghidupkan
adegan. Begitu pula dengan pemilihan musik yang mampu menggugah emosi penonton,
baik ketika menampilkan adegan yang menyentuh maupun ketika membakar semangat.
The Essence
DB98 menjadi potret banyak hal.
Mulai dari sebuah perubahan yang dimulai dengan pergerakan berani dan
mengorbankan banyak hal. Bukan tidak mungkin pula punya imbas yang besar secara
tidak langsung kepada orang-orang di sekitar.
Di bagian akhir ditampikan
kejadian demonstrasi di Thailand melalui TV yang seolah ingin menggambarkan
perjuangan yang sama dengan para mahasiswa ketika tahun 1998. Semangat mengubah
sesuatu yang dianggap salah akan selalu muncul di mana-mana sampai kapanpun
selama dibutuhkan.
They who will enjoy this the most
- Audiences who like socio-drama with humanistic approach
- Audiences who are interested in Indonesia’s historical events