The Jose Flash Review
Annie (2014)

Annie versi tahun 1982 adalah salah satu film musikal klasik yang abadi. Semenjak itu, hanya ada satu FTV buatan Disney yang rilis tahun 1999. Maka ketika kabar dibuat remake tersiar, banyak yang meragukan kualitasnya. Selain memang tak banyak film remake yang berhasil, mengubah 2 karakter utamanya menjadi Afro-America adalah keputusan yang cukup menjadi tanda tanya, tanpa bermaksud rasis. Tapi melihat nama Will Smith, istrinya, Jada Pinkett Smith, dan Jay-Z di jajaran produsernya, maka keputusan besar ini bisa lantas dimaklumi. Toh aktor-aktris yang dipilih bukan sembarangan; Quvenzhané Wallis dan Jamie Foxx. Keduanya pernah menjadi nominee Oscar.

Kontroversi Annie tidak sampai di situ. Naas, ketika akan dirilis harus menjadi salah satu korban bocornya data-data Sony Pictures di internet yang diduga sebagai ancaman dari dirilisnya The Interview. Untung saja di balik berbagai sandungan dan review-review negatif dari media, Annie masih berhasil mengumpulkan US$ 117 juta lebih (menurut data box office hingga akhir Januari 2015). Sayangnya di Indonesia nasibnya kembali terganjal karena jadwal rilis yang benar-benar terlambat (bayangkan, di Amerika Serikat rilis 19 Desember 2014, tapi di Indonesia baru dirilis 28 Januari 2015), ditambah kurangnya promosi dan jumlah layar yang terbatas.

Karena saya pecinta film musikal dan menyukai versi aslinya, maka Annie tetap masuk dalam tontonan wajib di layar lebar. Ternyata Annie versi 2014 sama sekali tidak seburuk yang ditulis review-review media luar. Ya, ia memang tidak bakal bisa menjadi seklasik versi aslinya, tapi Annie versi 2014 adalah sebuah update yang sangat pas dengan keadaan dan selera anak-anak (terutama di atas usia 10 tahun sebagai target audience utamanya) dengan esensi dan hati yang terasa mendekati versi aslinya.

Masih mengusung premise dasar yang sama dengan versi aslinya, skrip Annie versi 2014 memang tidak berkembang semulus dan sealami versi aslinya. Namun ia cukup berhasil dalam menyesuaikan berbagai hal dengan masa kini. Mulai tingkat kecerdasan,  kecenderungan perilaku, hingga pola pikir karakter-karakter anaknya. Tak ketinggalan berbagai impian terindah rata-rata anak berusia 13 tahun: aneka kemewahan yang porsinya cukup mendominasi, bahkan sampai mocking terhadap film macam Twilight Saga. Semuanya ditampilkan dengan tujuan memanjakan mata dan imajinasi penonton anak-anak, sekaligus menjadi bahan lelucon bagi penonton yang lebih dewasa.

Yes, Annie juga men-serve penonton dewasa dengan joke sarkasme yang sangat inspiratif bagi penonton seperti saya yang doyan nyinyir, dan satir di beberapa elemen ceritanya. Mungkin ada beberapa yang terdengar inappropriate bagi anak-anak, namun besar kemungkinan anak-anak tidak akan begitu memahami joke-joke kasar dan sedikit nyerempet materi seksual.

Namun above all, sebagai sebuah film musikal yang terpenting adalah kualitas musik yang ditampilkan sepanjang film. Lagu-lagu “wajib” seperti Maybe, It’s the Hard Knock Life, I Think I’m Gonna Like It Here, Little Girls, dan tentu saja Tomorrow, terasa begitu segar dan modern, serta masih mengusung nuansa ceria dengan aransemen barunya. Lagu-lagu barunya pun mampu menyentuh emosi saya, meski belum mampu sememorable lagu-lagu aslinya. Toh, baik Foxx dan Wallis nyatanya punya kualitas yang lebih dari cukup untuk menghidupkannya. Simak saja ketika Wallis menyanyikan Opportunity. Di beberapa bagian lagu memang terasa mengalun agak berantakan dan terkesan buru-buru, tapi I have to admit, begitulah tipikal musik populer jaman sekarang bukan? Setidaknya saya masih sangat menikmati ikut bernyanyi sepanjang film.

Sebagai karakter utama, Wallis dan Foxx  berhasil menunjukkan chemistry yang pas, meski perkembangan relasinya masih terasa kurang convincing akibat skripnya. Cameron Diaz terasa begitu pantas memerankan karakter wali asuh yang manusiawi, dan tetap patut diapresiasi meski masih tidak semulus Wallis ataupun Foxx ketika menyanyi. Toh Diaz memang tidak punya background bernyanyi sama sekali sebelumnya.

Pilihan cameo juga turut menambah fun-factor dari Annie versi 2014. Mulai pasangan Ashton Kutcher dan Mila Kunis, Rihanna, Sia (yang juga menyanyikan You're Never Fully Dressed Without a Smile), hingga si produser, Jay-Z sendiri.

Di balik berbagai kelebihan dan kekurangannya, Annie versi 2014 masih jadi tayangan yang layak disaksikan di layar lebar. Tata sinematografi, koreografi, tata artistik, hingga tata musiknya sangat mendukung pengalaman sinematis. Saya masih bisa merasakan kemegahan, kehangatan, keceriaan, dan keharuan sepanjang film seperti versi aslinya.

Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.