The Jose Flash Review
Taken 3

Taken adalah sebuah fenomena sinema (khususnya di ranah film action) yang tidak terduga. Berangkat dari film Perancis yang diproduseri Luc Besson, premise-nya yang sederhana namun punya style yang electrifying dan dinamis. Meski gaungnya agak terlambat di Indonesia karena tidak didistribusikan secara luas oleh jaringan bioskop terbesar di negara ini, namun berhasil membuat orang-orang penasaran dan tersebar dari mulut ke mulut. Apalagi Taken bisa disebut trend-setter untuk tema badass-oldman sekaligus menobatkan Liam Neeson sebagai action hero baru yang lebih banyak mengandalkan aksi tangan kosong, meski sudah tidak muda lagi. Meski sekuelnya, Taken 2 tergolong sekedar mengulang formula yang nyaris sama, namun setidaknya masih punya banyak aspek yang membuatnya tetap enak dinikmati dan seru. Kemudian ketika dibuat seri ketiganya, tidak salah jika penonton mencibir, “Siapa lagi nih yang diculik kali ini?”.

Taken 3 ternyata tidak lagi mengulang formula seri pioneer-nya. Namun bukan berarti premise-nya jadi sesuatu yang baru. Tema fugitive jelas sudah berkali-kali diangkat oleh Hollywood, dengan kualitas keseruan yang bervariasi pula. Sebenarnya menurut saya, Taken 3 punya konsep cerita yang menarik di balik premise dasarnya yang cliché. Sayangnya, tidak dieksekusi dengan baik. Mulai dari skrip yang mengembangkan konsep cerita dengan sangat biasa, tanpa ada satu pun yang benar-benar kuat, baik dari segi pengadeganan, perkembangan karakter-karakter, dialog, sampai twist yang sebenarnya cukup tertebak (setidaknya oleh saya) sejak pertengahan film. Semuanya seperti berjalan begitu plain.

Eksekusi buruk diperparah dengan penyutradaraan yang super lemah, baik ketika adegan-adegan drama maupun action. Sama sekali tidak mengundang emosi penonton. Saya sama sekali gagal berempati terhadap para karakter ketika adegan-adegan (yang seharusnya) menyentuh, serta gagal pula merasakan ketegangan dan keseruan seperti di dua installment sebelumnya. Bisa jadi penyebab lainnya adalah sinematografi yang bikin pusing dan editing yang terlalu cepat berpindah shot. In my opinion, perpaduan kedua aspek inilah penyebab utama Taken 3 jatuh menjadi film yang tidak nyaman ditonton. Tiring dan causing nausea.

Meski tidak terasa se-badass dan se-emosional di dua installment sebelumnya, Liam Neeson masih punya kharisma yang setidaknya sedikit menolong film ini. Tapi sebenarnya ini merupakan kekuatan karakter yang dibangun sejak film pertamanya. Seandainya Taken 3 adalah film yang berdiri sendiri, kharismanya tidak akan sekuat ini. Selain Neeson, aktor-aktris lainnya tidak begitu diberi porsi untuk tampil menarik. Maggie Grace dan Famke Janssen yang di dua installment sebelumnya cukup menarik perhatian, di sini justru terasa seperti pemanis semata. Apalagi Forest Whitaker dan Dougray Scott yang bakatnya sangat disia-siakan di sini. Jika digantikan oleh aktor TV atau aktor kelas B, tidak akan terlalu memberikan pengaruh apa-apa.

Gimmick Dolby Atmos yang jadi salah satu materi jualan Taken 3 pun ternyata tidak dimanfaatkan semaksimal mungkin. Tata suaranya tergolong sangat biasa, termasuk jika dibandingkan dengan film-film yang 'hanya' menggunakan tata suara surround biasa.

Well after all, bagi Anda yang asal ada banyak adegan action sudah bisa terpuaskan, apalagi jika belum mengalami Taken dan Taken 2, mungkin masih bisa menikmatinya. Sebaliknya, jika Anda butuh craftman khusus dan emosi dari adegan-adegan aksi agar terasa hidup, apalagi menyukai Taken dan Taken 2, maka Taken 3 akan membuat Anda capek dan kesal begitu credit title bergulir.

Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.