4.5/5
Based on a True Event
Bromance
China
Chinese
Drama
Hong Kong
Romance
Socio-cultural
The Jose Flash Review
War
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Crossing Part 1 (太平轮)
Di era 90-an, John Woo sudah
bukan lagi nama sutradara iconic Hong Kong, tapi sudah merambah Hollywood.
Filmografinya di Hollywood sendiri sudah cukup panjang, mulai Hard Target-nya Jean Claude Van Damme, Broken Arrow, Face/Off, sampai M:I-2.
Maka reputasinya sudah tidak perlu diragukan lagi, terutama dalam menangani
film-film action ber-pace dinamis. Kembali ke Hong Kong dengan duologi epic Red Cliff, namanya masih belum mampu
menyamai reputasinya di era 80-90’an. Maka tahun 2014 ini John Woo mencoba
menggebrak dengan karya baru yang tak kalah epic-nya, The Crossing.
‘Dijual’ sebagai Titanic versi
Cina, kisah The Crossing ternyata
dibagi menjadi 2 bagian yang bertolak belakang. Di bagian pertamanya ini kita
masih belum diajak untuk menginjakkan kaki ke kapal uap Taiping yang
benar-benar tenggelam tahun 1949. Di sini kita dibawa dulu melihat latar
belakang para karakter utamanya sebelum berada di kapal Taiping. Woo memasang 3
pasang karakter utama yang berjalan sendiri-sendiri, mulai perang antara
Cina-Jepang hingga perang sipil antara kubu Nasionalis dan Komunis. Benang
merahnya adalah romance dan sosial dengan problematikanya sendiri-sendiri.
Memang pada akhirnya durasi 129 menit belum mampu menampung porsi yang cukup
adil untuk kesemua karakter utamanya. Terutama sekali karakter Yu Zhen yang
(Zhang Ziyi) dan Yan Zenkun (Takeshi Kaneshiro) yang seolah-olah belum terlihat
jelas kepentingannya di film, padahal penokohan serta penampilan pemerannya
termasuk menarik. Well, tentu kita tidak bisa menilai bagaimana skripnya
mengembangkan karakter-karakter hanya dari seri pertama ini. Toh masih ada
kesempatan untuk melihat keseluruhan cerita secara utuh di bagian keduanya.
Dari yang tersampaikan di layar,
sebenarnya kisah yang diusung tidak ada yang baru, malah perkembangan ceritanya
termasuk lambat dan bertele-tele. Tapi berhasil ditutupi oleh art directing dan
sinematografi yang luar biasa cantik. Maka semua yang dilihat (dan dirasakan)
penonton adalah pengalaman sinematik, keindahan demi keindahan, beserta emosi yang tergali cukup pas
dan efektif di beberapa adegan. Tak hanya beauty shot dan keindahan romance, The Crossing juga mengkontraskannya
dengan adegan-adegan perang yang keras, sadis, dan mendebarkan. Tak heran John
Woo mampu mengarahkan adegan-adegan perang dengan sangat baik, mengingat ia
sudah berpengalaman menggarap Windtalkers.
Tentu saja dengan kadar kesadisan yang lebih.
Jika Anda cukup mengenal
signature-signature Woo yang khas dari film-film sebelumnya, maka Anda akan
dengan mudah mendapatkannya di sini. Mulai tema brotherhood, slow motion,
freeze frame, hingga burung merpati beterbangan. Saya masih mendapati beberapa
slow motion yang tampak patah-patah, dan juga beberapa wideshot yang tampak
agak pixelated. Entah apa yang menjadi penyebabnya. Cukup mengganggu karena
terlihat dengan sangat jelas, tapi untungnya termaafkan berkat kelebihan-kelebihan
lainnya yang memang digarap dengan luar biasa.
Bintang Korea Selatan, Song
Hye-kyo yang mendapatkan porsi paling banyak, cukup mampu membawakan performa
yang dibutuhkan karakter. Tidak terlalu istimewa, namun setidaknya sudah mampu
menarik perhatian penonton. Apalagi berkat kecantikan fisiknya yang
menghipnotis. Apalagi jika disandingkan dengan kecantikan Zhang Ziyi yang sudah
mulai pudar dan agak ‘berisi’. Sementara Huang Xiaoming yang mengisi peran Lei
Yifang dengan porsi yang juga besar, berhasil menghidupkan perannya dengan
cukup gemilang. Meski awal-awalnya karakternya yang sedikit angkuh terasa agak
aneh jika kemudian membandingkannya dengan sosoknya di beberapa adegan penting,
termasuk di ending bagian pertama. Namun secara keseluruhan, Xiaoming berhasil
memberikan impresi tersendiri bagi penonton.
Tong Dawei kali ini juga berhasil
membuktikan diri layak mengisi peran dengan porsi yang lebih banyak dan lebih
penting dalam cerita dari biasanya. Sementara karakter Yan Zenkun yang
diperankan Takeshi Kaneshiro masih belum terasa begitu berkesan, selain karena
kharismanya yang tetap terpancar kuat meski usianya sudah tidak muda lagi.
In the end, penonton akan dengan
mudah menikmati (atau malah jatuh cinta) alur cerita serta tiap adegan yang
disuguhkan The Crossing. Benar kata
Woo, ia membuat The Crossing bak Gone with the Wind yang punya kisah
sederhana namun berhasil membuat penontonnya terpaku dan penasaran meski
durasinya sangat panjang. Saya pun masih penasaran menyaksikan The Crossing Part 2 yang direncakan rilis Mei 2015.
Lihat data film ini di IMDb.