The Jose Flash Review
The Crossing Part 1 (太平轮)

Di era 90-an, John Woo sudah bukan lagi nama sutradara iconic Hong Kong, tapi sudah merambah Hollywood. Filmografinya di Hollywood sendiri sudah cukup panjang, mulai Hard Target-nya Jean Claude Van Damme, Broken Arrow, Face/Off, sampai M:I-2. Maka reputasinya sudah tidak perlu diragukan lagi, terutama dalam menangani film-film action ber-pace dinamis. Kembali ke Hong Kong dengan duologi epic Red Cliff, namanya masih belum mampu menyamai reputasinya di era 80-90’an. Maka tahun 2014 ini John Woo mencoba menggebrak dengan karya baru yang tak kalah epic-nya, The Crossing.

‘Dijual’ sebagai Titanic versi Cina, kisah The Crossing ternyata dibagi menjadi 2 bagian yang bertolak belakang. Di bagian pertamanya ini kita masih belum diajak untuk menginjakkan kaki ke kapal uap Taiping yang benar-benar tenggelam tahun 1949. Di sini kita dibawa dulu melihat latar belakang para karakter utamanya sebelum berada di kapal Taiping. Woo memasang 3 pasang karakter utama yang berjalan sendiri-sendiri, mulai perang antara Cina-Jepang hingga perang sipil antara kubu Nasionalis dan Komunis. Benang merahnya adalah romance dan sosial dengan problematikanya sendiri-sendiri. Memang pada akhirnya durasi 129 menit belum mampu menampung porsi yang cukup adil untuk kesemua karakter utamanya. Terutama sekali karakter Yu Zhen yang (Zhang Ziyi) dan Yan Zenkun (Takeshi Kaneshiro) yang seolah-olah belum terlihat jelas kepentingannya di film, padahal penokohan serta penampilan pemerannya termasuk menarik. Well, tentu kita tidak bisa menilai bagaimana skripnya mengembangkan karakter-karakter hanya dari seri pertama ini. Toh masih ada kesempatan untuk melihat keseluruhan cerita secara utuh di bagian keduanya.

Dari yang tersampaikan di layar, sebenarnya kisah yang diusung tidak ada yang baru, malah perkembangan ceritanya termasuk lambat dan bertele-tele. Tapi berhasil ditutupi oleh art directing dan sinematografi yang luar biasa cantik. Maka semua yang dilihat (dan dirasakan) penonton adalah pengalaman sinematik, keindahan demi keindahan, beserta emosi yang tergali cukup pas dan efektif di beberapa adegan. Tak hanya beauty shot dan keindahan romance, The Crossing juga mengkontraskannya dengan adegan-adegan perang yang keras, sadis, dan mendebarkan. Tak heran John Woo mampu mengarahkan adegan-adegan perang dengan sangat baik, mengingat ia sudah berpengalaman menggarap Windtalkers. Tentu saja dengan kadar kesadisan yang lebih.

Jika Anda cukup mengenal signature-signature Woo yang khas dari film-film sebelumnya, maka Anda akan dengan mudah mendapatkannya di sini. Mulai tema brotherhood, slow motion, freeze frame, hingga burung merpati beterbangan. Saya masih mendapati beberapa slow motion yang tampak patah-patah, dan juga beberapa wideshot yang tampak agak pixelated. Entah apa yang menjadi penyebabnya. Cukup mengganggu karena terlihat dengan sangat jelas, tapi untungnya termaafkan berkat kelebihan-kelebihan lainnya yang memang digarap dengan luar biasa.

Bintang Korea Selatan, Song Hye-kyo yang mendapatkan porsi paling banyak, cukup mampu membawakan performa yang dibutuhkan karakter. Tidak terlalu istimewa, namun setidaknya sudah mampu menarik perhatian penonton. Apalagi berkat kecantikan fisiknya yang menghipnotis. Apalagi jika disandingkan dengan kecantikan Zhang Ziyi yang sudah mulai pudar dan agak ‘berisi’. Sementara Huang Xiaoming yang mengisi peran Lei Yifang dengan porsi yang juga besar, berhasil menghidupkan perannya dengan cukup gemilang. Meski awal-awalnya karakternya yang sedikit angkuh terasa agak aneh jika kemudian membandingkannya dengan sosoknya di beberapa adegan penting, termasuk di ending bagian pertama. Namun secara keseluruhan, Xiaoming berhasil memberikan impresi tersendiri bagi penonton.

Tong Dawei kali ini juga berhasil membuktikan diri layak mengisi peran dengan porsi yang lebih banyak dan lebih penting dalam cerita dari biasanya. Sementara karakter Yan Zenkun yang diperankan Takeshi Kaneshiro masih belum terasa begitu berkesan, selain karena kharismanya yang tetap terpancar kuat meski usianya sudah tidak muda lagi.

In the end, penonton akan dengan mudah menikmati (atau malah jatuh cinta) alur cerita serta tiap adegan yang disuguhkan The Crossing. Benar kata Woo, ia membuat The Crossing bak Gone with the Wind yang punya kisah sederhana namun berhasil membuat penontonnya terpaku dan penasaran meski durasinya sangat panjang. Saya pun masih penasaran menyaksikan The Crossing Part 2 yang direncakan rilis Mei 2015.

Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.