Maska
Membedakan
Antara Passion,
Bakat, dan Jalan Hidup

Sudah cukup banyak film yang meng-encourage penonton untuk mengejar passion-nya, tapi Maska justru mencoba untuk mempertanyakan apa passion itu sebenarnya.
Apa yang membedakan antara passion, bakat, dan panggilan hidup?
Angle inilah yang membuat Maska sebuah film yang tak hanya menarik untuk disimak tapi sekaligus menjadi bahan refleksi, baik sepanjang film maupun jauh setelah film berakhir.

Sebuah drama-komedi produksi Netflix ini disutradarai Neeraj Udhwani yang sebelumnya dikenal lewat film pendek Rewind dan Aamand sekaligus penulis naskah untuk Dil Toh Baccha Hai Ji (2011) dan Mere Dad Ki Maruti (2013). Kali ini untuk penulisan naskahnya, Neeraj dibantu oleh kolega lamanya, Ishita Moitra, yang juga pernah menjadi penulis dialog untuk Noor dan Half Girlfriend (keduanya rilisan 2017).

Dibintangi salah satu bintang muda pendatang baru, Prit Kamani yang sebelumnya sempat bermain di Hum Chaar (2019), Nikita Dutta (Lust Stories, GoldKabir Singh), didukung aktris senior asal Nepal, Manisha Koirala (Dil Se.., Mann, Sanju), Javed Jaffrey (Salaam Namaste, Ta Ra Rum Pum, waralaba Dhamaal, dan 3 Idiots), serta bintang tamu Boman Imani (3 Idiots, PK) tentu menambah daya tarik tersendiri meski statusnya 'hanya' film Netflix, bukan untuk konsumsi layar lebar.


Rumi hanya hidup berdua bersama sang ibu, Diana, setelah sang ayah meninggal dan meninggalkan warisan sebuah kafe khas asal keluarga mereka, Parsi, yang legendaris di kotanya, Rustom. Diana sangat mengharapkan suatu hari Rumi yang melanjutkan sekaligus mengembangkan kafe Rustom. Namun sebuah pujian saat memenangkan kontes Putra-Putri di daerahnya membuat Rumi terobsesi untuk menjadi seorang aktor. Diam-diam Rumi mengambil kursus akting dan jatuh cinta dengan sesama murid akting yang berjiwa bebas, Mallika.

Saat kelulusan, Rumi dihadapkan pada pilihan untuk tinggal bersama Mallika sambil mengejar karir akting bersama-sama dan meninggalkan sang ibu seorang diri atau mengubur obsesinya menjadi aktor dan melanjutkan kafe Rustom. Saat karir aktingnya kian mentok, Rumi tergiur untuk mengakali sang ibu dan menjual kafe Rustom memuluskan karirnya.

Secara garis besar plot Maska mungkin terkesan tak jauh berbeda dari fim-film yang berusaha meng-encourage penonton untuk mengejar passion atau cita-cita.
Konflik yang bertentangan dengan keinginan keluarga pun masih dijadikan set-up cerita (di film Indonesia pun dijadikan formula di Cek Toko Sebelah, misalnya).
Namun seiring dengan bergulirnya cerita, penonton kemudian mendapati bahwa Rumi ternyata tak berbakat di akting.
Masih ditambah kehadiran karakter Persis Mistry yang ternyata bukan semata-mata menjadi pihak ketiga di antara hubungan antara Rumi dan Mallika. Persis malah menjadi semacam katalis untuk titik balik karakter Rumi dalam memahami konflik utama dalam dirinya, sekaligus dalam film.


Daya tarik film semakin bertambah ketika Persis membawa konsep Ikigai, filosofi gaya hidup asal Jepang yang mencoba menjelaskan makna (alasan ke-) hidup (-an).
Filosofi Ikigai menjadi populer bersama-sama dengan filosofi Lagom asal Swedia dan Hygge asal Denmark/Norwegia di tengah tren gaya hidup modern yang mencari kebahagiaan dan keseimbangan dalam hidup. Inti dari Maska seolah menjelaskan konsep Ikigai, mengajak penonton membedakan antara passion, bakat, dan panggilan hidup sekaligus mencapai kebahagiaan serta keseimbangan hidup lewat ketiganya.

Ini lah yang membuat Maska menarik dan berbeda dari film-film motivasional lainnya.
Alih-alih memotivasi, ia lebih mengajak penonton untuk merefleksikan tentang segala sesuatu yang selama ini kita anggap sebagai passion. Apakah benar-benar passion atau hanya obsesi semata?
Dengan pengembangan plot yang mengalir ringan, seringkali menggelitik lewat tingkah para karakternya (sebagaimana di film-film Hindi sejenis), film juga sempat terasa kelewat gelap dan 'tega' dalam menggambarkan hubungan antara Rumi dan ibunya. Namun untungnya tetap tahu batas dan tidak melupakan jati dirinya sebagai film yang menggugah lewat nilai-nilai kekeluargaan dan di atas segalanya, hati.

Sebagaimana film-film dengan elemen makanan biasanya, Maska pun tak lupa memperkenalkan sajian-sajian khas Parsi yang tak hanya menggugah selera penonton tapi juga menjadi salah satu plot drive yang penting bagi titik balik karakter Rumi.


Penampilan Prit Kamani sebagai lead mungkin belum sekuat bintang-bintang muda layar lebar papan atas seangkatannya, tapi setidaknya ia mampu membawa pengembangan karakternya secara natural, begitu juga chemistry yang meyakinkan, baik dengan Manisha Koirala, Shirley Setia, dan Nikita Dutta sekalipun. Bakatnya terlihat jelas untuk menjadi aktor yang menjanjikan di masa depan.
Manisha, seperti biasa, kharismanya selalu mampu memukau dan mencuri perhatian penonton di tiap kali kemunculan karakternya sebagai Diana. Nikita Dutta pun tampil cukup charming, tapi penampilan Shirley Setia menjadi highlight tersendiri di balik peran Persis yang sebenarnya tergolong terbatas tapi mampu memancarkan aura kecerdasan dan kecantikan tersendiri.

Ibarat makanan, segala resep dan formula yang ditawarkan Maska menjadikannya sajian yang meski terkesan ringan, sederhana, tapi juga lezat sekaligus bernutrisi.
Sangat pas dijadikan pilihan untuk ber-Netflix and chill.



Maska bisa diakses lewat Netflix.
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.