Trolls World Tour
Tema Kelewat Serius
dengan Presentasi
Tak Seharmonis Film Pertama

Saya tidak pernah menyangka sebelumnya bahwa Trolls (2016) yang merupakan adaptasi layar lebar dari sebuah waralaba mainan legendaris asal Denmark bisa menjadi salah satu film animasi produksi DreamWorks favorit saya sepanjang masa, bahkan menjadi salah satu film feel-good yang tak bosan-bosannya saya tonton ulang ketika membutuhkan asupan positive vibe instan. 
Tema yang sederhana tapi universal bagi berbagai kalangan, bahkan bagi penonton dewasa sekali pun, mampu diracik dengan berbagai konfliknya yang saling relevan, tapi dengan kemasan musikal yang ceria. Semua racikannya terasa begitu pas dan harmonis.
Itulah mengapa ketika DreamWorks Animation  mengumumkan sekuelnya yang bertajuk Trolls World Tour, saya menjadi begitu excited, tentu dengan harapan akan mendapatkan vibrasi keceriaan dan positifitas serupa meski dengan tema yang berbeda.

Sayang perilisan teatrikal di seluruh dunia yang seharusnya dijadwalkan 10 April 2020 harus dibatalkan menjadi hanya lewat digital rental di Amerika Serikat karena pandemi Coronavirus yang menyebabkan sebagian besar bioskop di berbagai negara tutup.
Namun hey, di tengah suasana dunia yang depresif seperti ini, tak ada waktu yang lebih tepat untuk mendapatkan dosis keceriaan a la Trolls!

Masih dengan jajaran voice talent yang sama seperti pendahulunya seperti Anna Kendrick, Justin Timberlake, James Corden, Ron Funches, dan Icona Pop, kali ini diramaikan oleh Kelly Clarkson, Anderson .Paak, Sam Rockwell, Mary J. Blige, Rachel Bloom, Ozzy Osbourne, hingga girlband K-Pop, Red Velvet. 
Sayang sutradara Mike Mitchell lebih memilih menggarap The Lego Movie 2 dan memberikan singgasananya kepada sang ko-sutradara, Walt Dohrn, dengan naskah yang masih disusun oleh Jonathan Aibel dan Glenn Berger, dibantu duo Maya Forbes dan Wallace Wolodarsky (Monsters vs AliensDiary of a Wimpy Kid: Dog Days, dan duologi A Dog's Purpose), serta Elizabeth Tippet. 

Ratu Poppy dari Kerajaan Trolls mendapatkan undangan dari Ratu Rock Barb untuk menghadiri konser tur dunia One Nation Under Rock dengan membawa 'benang' masing-masing. Awalnya Poppy sangat excited sampai sang ayah membocorkan rahasia bahwa ada dunia Trolls di luar Trolls Pop yang terbagi dalam berbagai genre musik dan menurut sejarah, masing-masing punya 'benang' yang berasal dari satu tempat. Sayang keharmonisan berbagai jenis musik di masa lalu berangsur terpecah karena masing-masing menjadi kian intoleran terhadap genre musik yang lain. Sang Ayah curiga Ratu Rock Barb punya tujuan buruk di balik konser tersebut. 

Seperti biasa, Poppy yang selalu berpikir positif, cenderung naif, memilih untuk kabur dan tetap hadir, dengan harapan semua genre musik Trolls bisa kembali hidup bersama dalam sebuah harmoni. Seperti biasa pula, Branch, Biggie, Mr. Dinkles turut mendampingi.

Ternyata kecurigaan ayah Poppy benar. Satu per satu kerajaan genre musik sudah mulai dibumi-hanguskan oleh kawanan Ratu Rock Barb. 
Misi pun berubah haluan untuk memperingatkan genre-genre lain sebelum didatangi Barb hingga mereka pun harus bekonfrontasi langsung dengan kawanan Trolls Rock.

Dari sinopsisnya sebenarnya cukup jelas kali ini ingin mengangkat tema menghormati keragaman untuk hidup dalam sebuah harmoni. Tema yang memang sedikit lebih berat dan serius dibanding installment sebelumnya meski masih tetap bersifat universal serta krusial untuk ditanamkan ke penonton di usia sedini mungkin.

Menggunakan musik sebagai metafora (tapi bisa juga dalam makna literal) temanya terkesan lebih ringan. Namun kesan tersebut luntur seketika ketika film memasukkan unsur 'kolonialisme'.
Dunia Trolls yang selama ini punya image ceria dan fun seketika berubah menjadi serius, gelap, dan at some point, agak mengerikan. Bagi beberapa penonton dewasa yang mengharapkan kedewasaan lebih dari waralaba Trolls mungkin akan menyukainya, tapi jika Anda menyukainya sebagaimana film pertama agaknya perlu lebih mempersiapkan 'mental'.
Tak hanya itu saja, masih ada kelokan-kelokan yang menurut saya terlalu berusaha untuk memperkompleks jalinan plot utama hingga agak 'menciderai' flow film secara keseluruhan.
Momen-momen emosional yang sederhana tapi tetap mengena di film pertamanya pun agaknya kali ini tergarap lebih lemah atau mungkin sudah tak lagi mempan bagi saya. Ada, tapi seolah hanya lewat begitu saja tanpa mampu menciptakan engagement tersendiri sebagaimana film pertama.

Untung saja setidaknya penyelesaian konflinya boleh dibilang cukup memuaskan sebagaimana mestinya dan masih bisa menimbulkan feel-good tersendiri meski after-taste maupun tingkat ke-'memorable'-annya masih sedikit di bawah film pertama.

Selain dari itu, pilihan track list, terutama lagu-lagu yang di-medley masih mampu menghadirkan vibe semenyenangkan film pertama meski porsinya tak sebanyak atau sestabil dulu.
Dibuka dengan racikan macam One More Time-nya Daft Punk, Girls Just Want to Have Fun-nya Cyndi Lauper, Good Times-nya Chic, Tiny Diamond Rap-nya Deee-Lite, kemudian ada Wannabe-nya Spice Girls yang diracik bersama Who Let the Dogs Out-nya Baha Men, Good Vibrations-nya Marky Mark & The Funky Bunch, Gangnam Style-nya Psy, dan Hey Baby-nya Pitbull serta T-Pain. 

Tak ketinggalan berbagai aliran lain yang turut meramaikan seperti Rock yang diwakili Rock You Like a Hurricane-nya Scorpions, dan Barracuda-nya Heart, Funk yang diwakili Bring It Here-nya Wild Sugar, Atomic Dog-nya George Clinton, dan Move On Up-nya Curtis Mayfield, Country diwakili I Fall to Pieces-nya Hank Cochran, Raggaeton yang diwakili Mi Gente-nya J. Balvin serta Willy William, sampai K-Pop yang diwakili Russian Roulette-nya Red Velvet. 
Kesemuanya pilihan yang terasa paling populer untuk mewakili genre masing-masing.

Sayang, lagu-lagu orisinil gubahan Ludwig Göransson justru terdengar jauh dari kesan catchy, apalagi berpadu harmonis dalam film.
Justin Timberlake pun belum mampu mengulang kesuksesan lagu tema Can't Stop the Feeling dari film pertama.
Maaf sekali, bahkan single orisinil andalan utamanya, The Other Side yang dibawakannya bersama SZA, sama sekali tidak catchy untuk terus diingat selepas film usai.

Overall, Trolls World Tour jelas belum mampu menyamai apalagi melewati film pendahulunya dalam hal menjaga harmonisasi segala formula dan ketepatan komposisinya.
Namun bagaimana pun setidaknya masih mampu menjadi sajian pembawa keceriaan dan positive vibe tersendiri di tengah suasana dunia yang depresif seperti saat film ini dirilis.
Hanya saja memang perlu mengatur ulang ekspektasi.



Trolls World Tour bisa disewa secara digital lewat Amazon Prime, AppleTV, dan Google Play.
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.