The Beatles:
Eight Days a Week - The Touring Years

Mengalami dan Mempelajari
Histeria Popularitas
The Beatles

Generasi yang pernah mengalami era '60-an hingga sekarang minimal pasti pernah mendengar nama band asal Liverpool, The Beatlas. Pengaruhnya di perpetaan musik dunia begitu besar hingga saat ini. Tak hanya menjadi penanda generasi '60-an yang dikenal sebagai Baby Boomer, tapi juga menjadi berbagai simbol sejarah peradaban dunia.

Selain beberapa judul film yang sempat dibuat oleh keempat personelnya; John Lennon, Paul McCartney, George Harrison, dan Ringo Starr, seperti A Hard Day's Night (1964), Help! (1965), Magical Mystery Tour (1967), dan Yellow Submarine (1968), sempat rilis juga beberapa film dokumenter yang menyampaikan berbagai aspek band tersebut, mulai Let It Be (1970), The Compleat Beatles (1982), It was Twenty Years Ago Today (1987), dan mini seri The Beatles Anthology (1995).

Satu dokumenter yang menurut saya penting, lebih dari sekedar rekaman konser, rekaman, dan kejadian-kejadian 'di balik layar' lainnya adalah The Beatles: Eight Days a Week - The Touring Years yang sempat dirilis secara teatrikal pada 2016 silam. Disutradarai oleh Ron Howard (A Beautiful Mind, seri film Robert Langdon, dan In the Heart of the Sea), dokumenter ini melibatkan langsung personel yang masih hidup; Paul McCartney dan Ringo Starr, bersama dengan janda John Lennon, Yoko Ono, serta janda George Harrison, Olivia Harrison.


Diproduksi bersama partner tetap Ron Howard di Imagine Entertainment, Brian Grazer, naskahnya disusun oleh Mark Monroe yang reputasinya di genre dokumenter sudah diakui banyak penghargaan bergengsi, tak terkecuali Oscar, dan diedit oleh Paul Crowder (Dogtown and Z-Boys, Amazing Journey: the Story of The Who, dan Sound City), The Beatles: Eight Days a Week - The Touring Years menurut saya adalah dokumenter yang esensial untuk memahami hype The Beatles pada eranya dan mempelajari formula sukses mereka hingga masih mampu beresonansi menjadi salah satu legenda musik dunia terbesar hingga saat ini.

Secara garis besar film meruntut kronologis karir The Beatles sejak manggung di tahun 1963 yang menandai kesuksesan besar mereka. Berbekal album Please Please Me dengan merilis satu single baru tiap 3 bulan serta album baru tiap 6 bulan, popularitas mereka melejit bak roket. Tak hanya di Inggris, daratan Eropa, tapi juga Amerika Serikat, pasar yang paling susah ditembus oleh musisi dunia. Bahkan The Beatles sempat menempatkan lima judul single sekaligus dalam chart suatu waktu dimana kesemuanya pernah menduduki posisi puncak.


Selain penggalan rekaman wawancara yang menunjukkan salah satu faktor mengapa kepribadian mereka begitu menarik dan dikagumi selain sisi musikalitas, yaitu sense of humor yang selalu mampu menceriakan suasana secara cerdas, ditampilkan pula nama-nama populer seperti Whoopi Goldberg, Sigourney Weaver, Paul Costello, hingga produser/sutradara/penulis naskah Richard Curtis (Love Actually, Pirate Radio, About Time) yang menceritakan pengalamannya masing-masing, baik yang pernah bekerja sama langsung dengan mereka maupun masih sekedar nge-fan dan pernah nonton konsernya. Berkat editing dan digital remaster baik audio maupun video yang dikerjakan dengan maksimal, saya bak benar-benar dibawa ke konser mereka dan terhanyut di dalamnya. Tentu selain aura positivitas dan keceriaan keempat personel di atas panggung yang menjadi penggerak emosi terpenting.

Meski diruntut secara kronologis, di sana-sini masih disisipkan latar belakang sejarah yang membuat saya memahami konteks kondisi sosial subjek peristiwa maupun lagu-lagu yang kebanyakan ditulis oleh Lennon dan McCartney. Dengan iringan lagu-lagu yang berkaitan, penceritaan latar belakang ini menjadi lebih terasa 'hidup'.


Tak lepas pula beberapa kontroversi yang sempat terjadi, seperti ketika tahun 1966 gara-gara pernyataan John Lennon tentang popularitasnya yang melebihi Yesus, cover album Yesterday and Today (1966) yang dianggap terlalu sadis sehingga harus diubah untuk versi Amerika Serikat, menolak undangan Ibu Negara Imelda Marcos ketika tur di Filipina, hingga penolakan pemisahan penonton berdasarkan warna kulit (segregasi) ketika konser di Jacksonville, Florida. Kontrovers-kontroversi yang memperlihatkan sisi manusiawi para personel dengan maksud yang kerap disalah-artikan dan kelak menjadi peristiwa-peristiwa bersejarah tersendiri.

Tbe Beatles: Eight Days a Week - The Touring Years sungguh merupakan pengalaman selama 106 menit yang membawa kita untuk mengalami langsung histeria The Beatles pada jamannya, sambil mempelajari mengapa mereka mampu menciptakan sejarah sebegitu berpengaruhnya hingga saat ini.
Sebagai penggemar sejak lama, ini merupakan sebuah anugerah yang indah sekaligus membuat saya makin mengagumi berbagai seluk-beluk kiprah mereka, bukan lewat hagiografi yang serba mengkultuskan subjek, tapi sebagai manusia biasa yang juga pernah berbuat salah tapi secara bijak sekaligus menghibur dalam memperbaikinya. Bagi yang belum begitu mengenal The Beatles, mungkin bisa menjadi penggemar baru atau setidaknya ada hal yang menggugah; menghadapi masalah sehari-hari lewat karya yang siapa sangka malah mampu mempengaruhi banyak orang.



The Beatles: Eight Days a Week - The Touring Years sudah bisa diakses lewat KlikFilm.
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.