[REVIEW]
4/5
Based on a Legend
Based on a True Event
Documentary
internet
media
Psychological
Socio-cultural
Wrinkles the Clown
Wrinkles the Clown
Menganalisis Ragam
Kondisi Psikologis Manusia
Lewat Teror Nyata Badut Misterius
Film dokumenter yang mengangkat kasus kriminal sudah banyak dibuat.
Terakhir yang cukup mendapat perhatian dunia adalah Don't F**k with Cats: Hunting an Internet Killer dan baru-baru ini, Tiger King, yang sama-sama produksi Netflix.
Bahkan kemasan serupa sudah sejak lama menjadi acara TV sebagai produk jurnalistik di berbagai negara, termasuk Indonesia. Film horor fiktif yang meletakkan badut sebagai sosok menyeramkan pun sudah banyak, mulai IT yang diadaptasi dari novel karya Stephen King, Clown yang diproduseri Eli Roth, hingga produksi Indonesia sendiri, Badoet, yang disutradarai Awi Suryadi.
Apa yang ditawarkan Michael Beach Nichols dan Christopher K. Walker (Welcome to Leith yang berjaya di berbagai ajang penghargaan film dokumenter bergengsi dunia) lewat Wrinkles the Clown ini bisa jadi sedikit lebih unik dari sekedar kasus kriminal.
Konon di Naples, Florida, tahun 2015 tiba-tiba muncul sesosok badut 'bayaran' dengan topeng bak seorang manula (itulah mengapa julukannya Wrinkles (=kerutan) the Clown), yang menawarkan jasa kepada para orang tua untuk menakut-nakuti anak mereka yang nakal.
Ditambah setelah beredar unggahan rekaman CCTV di YouTube yang menampilkan sosok Wrinkles the Clown tengah meneror seorang gadis yang sedang tidur dari bawah tempat tidur, reputasinya lantas kian melambung di kota tersebut. Ada orang tua yang merasa 'jasa' Wrinkles the Clown efektif untuk mendisiplinkan anak-anak mereka, tapi para ahli kejiwaan menganggap ini adalah sebuah bentuk kekerasan psikis karena menimbulkan ketakutan pada anak-anak yang bukan tidak mungkin menjadi trauma.
Padahal kenyataannya dalam masyarakat manapun sudah sejak dulu banyak bentuk 'kekerasn psikis', seperti lewat takhayul dan bahkan ajaran agama.
Sementara itu tak sedikit pula para 'content creator wannabe' yang memanfaatkan Wrinkles the Clown untuk content prank mereka. Bahkan sebagian besar di antaranya adalah content creator anak-anak.
Wrinkles the Clown mencoba mengulik seluk-beluk kehadiran sosok badut misterius tersebut dari berbagai aspek. Tak hanya mengikuti keseharian Sang Badut, tapi juga berbagai fenomena tentang badut.
Bagaimana sejarah awal sosok badut yang awalnya bermaksud melucu malah berubah seratus delapan puluh derajat menjadi menyeramkan.
Tentu media dan film punya andil krusial, tapi dokumenter ini tak melulu menyalahkan media dan film.
Di era media sosial seperti saat ini materi apa saja bisa menjadi topik menarik yang menimbulkan berbagai persepsi dan fantasi siapa saja.
Tak hanya untuk subjek fenomena badut tapi topik apa saja yang pernah berlalu-lantang dan menjadi sensasi internet serta selalu menimbulkan kontroversi dengan berbagai teori ataupun analisis.
Inilah yang membuat fakta menjadi kian samar dan HOAX dapat lebih mudah tersebar.
Michael Beach Nichols harus saya akui cukup piawai sekaligus cerdas dalam merangkai struktur narasi Wrinkles the Clown. Semuanya diperhitungkan dengan sangat hati-hati guna menggiring emosi (dalam hal ini; ketegangan), rasa penasaran, serta opini penonton selama durasi sekitar 78 menit.
Meski berformat film dokumenter dan bahkan sama sekali tidak ada tindak kriminal yang benar-benar konkret, Wrinkles the Clown masih mampu menghadirkan sebuah twist yang tidak hanya cukup mengejutkan tapi juga punya tujuan untuk menggiring opini serta membuat penonton merefleksikan secara langsung subjek apa saja yang selama ini pernah menjadi kontroversi, terutama di internet yang tanpa batas sama sekali.
Wrinkles the Clown bak memaparkan ragam kondisi psikologis manusia yang mempengaruhi persepsi, fantasi, pengambilan keputusan, hingga dampak dari kehadiran suatu subjek.
Sosok Wrinkles the Clown hanyalah alat yang sangat tepat sekaligus efektif untuk mempresentasikan topik.
Bagi saya pribadi, Wrinkles the Clown adalah salah satu film dokumenter yang insightful dan menggugah, sekaligus menarik untuk didiskusikan dalam berbagai konteks jaman.
Wrinkles the Clown sudah bisa ditonton lewat KlikFilm.
Lihat data film ini di IMDb.
Terakhir yang cukup mendapat perhatian dunia adalah Don't F**k with Cats: Hunting an Internet Killer dan baru-baru ini, Tiger King, yang sama-sama produksi Netflix.
Bahkan kemasan serupa sudah sejak lama menjadi acara TV sebagai produk jurnalistik di berbagai negara, termasuk Indonesia. Film horor fiktif yang meletakkan badut sebagai sosok menyeramkan pun sudah banyak, mulai IT yang diadaptasi dari novel karya Stephen King, Clown yang diproduseri Eli Roth, hingga produksi Indonesia sendiri, Badoet, yang disutradarai Awi Suryadi.
Apa yang ditawarkan Michael Beach Nichols dan Christopher K. Walker (Welcome to Leith yang berjaya di berbagai ajang penghargaan film dokumenter bergengsi dunia) lewat Wrinkles the Clown ini bisa jadi sedikit lebih unik dari sekedar kasus kriminal.
Konon di Naples, Florida, tahun 2015 tiba-tiba muncul sesosok badut 'bayaran' dengan topeng bak seorang manula (itulah mengapa julukannya Wrinkles (=kerutan) the Clown), yang menawarkan jasa kepada para orang tua untuk menakut-nakuti anak mereka yang nakal.
Ditambah setelah beredar unggahan rekaman CCTV di YouTube yang menampilkan sosok Wrinkles the Clown tengah meneror seorang gadis yang sedang tidur dari bawah tempat tidur, reputasinya lantas kian melambung di kota tersebut. Ada orang tua yang merasa 'jasa' Wrinkles the Clown efektif untuk mendisiplinkan anak-anak mereka, tapi para ahli kejiwaan menganggap ini adalah sebuah bentuk kekerasan psikis karena menimbulkan ketakutan pada anak-anak yang bukan tidak mungkin menjadi trauma.
Padahal kenyataannya dalam masyarakat manapun sudah sejak dulu banyak bentuk 'kekerasn psikis', seperti lewat takhayul dan bahkan ajaran agama.
Sementara itu tak sedikit pula para 'content creator wannabe' yang memanfaatkan Wrinkles the Clown untuk content prank mereka. Bahkan sebagian besar di antaranya adalah content creator anak-anak.
Wrinkles the Clown mencoba mengulik seluk-beluk kehadiran sosok badut misterius tersebut dari berbagai aspek. Tak hanya mengikuti keseharian Sang Badut, tapi juga berbagai fenomena tentang badut.
Bagaimana sejarah awal sosok badut yang awalnya bermaksud melucu malah berubah seratus delapan puluh derajat menjadi menyeramkan.
Tentu media dan film punya andil krusial, tapi dokumenter ini tak melulu menyalahkan media dan film.
Di era media sosial seperti saat ini materi apa saja bisa menjadi topik menarik yang menimbulkan berbagai persepsi dan fantasi siapa saja.
Tak hanya untuk subjek fenomena badut tapi topik apa saja yang pernah berlalu-lantang dan menjadi sensasi internet serta selalu menimbulkan kontroversi dengan berbagai teori ataupun analisis.
Inilah yang membuat fakta menjadi kian samar dan HOAX dapat lebih mudah tersebar.
Michael Beach Nichols harus saya akui cukup piawai sekaligus cerdas dalam merangkai struktur narasi Wrinkles the Clown. Semuanya diperhitungkan dengan sangat hati-hati guna menggiring emosi (dalam hal ini; ketegangan), rasa penasaran, serta opini penonton selama durasi sekitar 78 menit.
Meski berformat film dokumenter dan bahkan sama sekali tidak ada tindak kriminal yang benar-benar konkret, Wrinkles the Clown masih mampu menghadirkan sebuah twist yang tidak hanya cukup mengejutkan tapi juga punya tujuan untuk menggiring opini serta membuat penonton merefleksikan secara langsung subjek apa saja yang selama ini pernah menjadi kontroversi, terutama di internet yang tanpa batas sama sekali.
Wrinkles the Clown bak memaparkan ragam kondisi psikologis manusia yang mempengaruhi persepsi, fantasi, pengambilan keputusan, hingga dampak dari kehadiran suatu subjek.
Sosok Wrinkles the Clown hanyalah alat yang sangat tepat sekaligus efektif untuk mempresentasikan topik.
Bagi saya pribadi, Wrinkles the Clown adalah salah satu film dokumenter yang insightful dan menggugah, sekaligus menarik untuk didiskusikan dalam berbagai konteks jaman.
Wrinkles the Clown sudah bisa ditonton lewat KlikFilm.
Lihat data film ini di IMDb.