A Boy Called Sailboat
Manis, Menggelitik,
dan Magisnya
Sebuah Keluguan

Tak banyak film yang ceritanya dibidik dari kacamata kepolosan seorang anak dalam memahami kejadian sehari-hari di sekitarnya. Namun bukan berarti bisa diremehkan begitu saja. Kepolosan anak-anak dalam menanggapi sesuatu bisa jadi merupakan solusi atau pengingat bagi kita yang telah dewasa bahwa kacamata polos mereka kadang bisa menjadi solusi sederhana dari permasalahan yang ada, yang mungkin luput dari benak kita karena kompleksitas cara berpikir kita selama ini, misalnya.
Terkadang, kepolosan anak-anak pula yang membuatnya menjadi sesuatu yang menggelitik saraf tawa sekaligus manis bagi penonton dewasa, tanpa mengikis makna esensialnya.

Sampai sekarang saya masih belum bisa melupakan bagaimana Little Miss Sunshine (2006) menyampaikan tema kompleks (dan agak depresif)-nya lewat sebuah komedi dengan kacamata polos seorang Abigail Breslin cilik (kala itu). Debut film panjang sutradara/penulis naskah Australia yang sebelumnya lebih dikenal sebagai aktor TV di benuanya, Cameron Nugent, bertajuk A Boy Called Sailboat kurang lebih menawarkan konsep serupa.

Meski merupakan debut film panjang pertama, tapi kiprah Nugent tak boleh diremehkan begitu saja. Lewat rumah produksi yang didirikannya, iCandy, Nugent pernah mengerjakan video musik beberapa band terkenal Australia, seperti Kisschasy dan Angelas Dish. Bahkan Nugent pernah meraih penghargaan YouTube Commendation karena memecahkan rekor jumlah penonton untuk kawasan Australia. A Boy Called Sailboat sendiri sudah mengantongi beberapa penghargaan bergengsi, seperti Indie Spirit Award pilihan sutradara di Prescott Film Festival 2018, Best Director dan Best Screenplay di Boston Film Festival 2018, Best Family Film pilihan penonton di Newport Beach Film Festival 2018, serta Best Overall Film pilihan juri di Adelaide International Youth Film Festival 2019. Di Indonesia sendiri sempat diputar di Paradiso Ubud (ruang putar alternatif di Ubud) Juni 2019 lalu, kini sudah bisa disaksikan dari seluruh penjuru Nusantara lewat aplikasi KlikFilm.


Sailboat (iya, nama dari lahirnya memang demikian, bukan sekedar nama panggilan), anak tunggal dari pasangan José (Noel G - masih ingat Hector di The Fast and the Furious atau Moreno di Training Day? Terakhir kita melihatnya di Dragged Across Concrete dan The Mule) dan Meyo (Elizabeth De Razzo - yang pernah kita lihat di The 33), lebih banyak mendengarkan petuah dan kata-kata bijak dari 'Sang Abuela' (nenek). Ketika tak sengaja menemukan sebuah ukulele, ia teringat salah satu kalimat bijaknya, "You find the most important things when you're not looking". Meski belum pernah memainkannya, ia meyakini bahwa ukulele tersebut adalah hal penting. Tak lama kemudian ia mendapati kabar bahwa Sang Abuela sedang sakit keras. Di rumah sakit Sang Abuela meminta Sailboat membuatkan dan membawakan sebuah lagu khusus untuknya.

Dimulailah petualangan Sailboat dalam mencari cara belajar memainkan gitar dan membuatkan lagu dengan harapan bisa membahagiakan Sang Abuela sehingga cepat pulih. Sebuah kejadian tak disengaja membawanya ke kejadian-kejadian tak terduga lainnya hingga suatu hari secara magis Sailboat berhasil memainkan sebuah lagu ciptaannya sendiri yang ternyata justru menyentuh, bahkan mengubah hidup banyak orang di sekitarnya. Satu per satu warga mendatanginya untuk mendengarkan Sailboat membawakan lagu tersebut serta merasakan 'daya magisnya' secara langsung. Namun tentu saja tujuan utamanya adalah membawakannya untuk Sang Abuela yang sedang terbaring koma di rumah sakit.

Sinopsis di atas mungkin terdengar sederhana atau malah 'remeh', tapi somehow punya daya tarik keunikannya tersendiri, terutama dengan konsep penceritaan dari kacamata lugu Sailboat.
Ketika mengikuti alurnya yang meski terkesan mengalun lambat (saya lebih suka menyebutnya sebagai 'santai' atau 'lembut'), tapi dibumbui kejadian-kejadian konyol yang menimpa karakter-karakter eksentrik di sekitarnya, seperti kedua orang tuanya dengan keadaan rumah miring (bahkan harus disanggah dengan tiang kayu agar tidak roboh) di tengah dataran tandus New Mexico, Bing (Jake Busey - The FrightenersStarship TroopersEnemy of the State, Tomcats, dan The Predator versi 2018), sang guru yang sok pemberani menghadapi binatang liar, hingga Peeti, sahabat Sailboat yang matanya tak bisa berkedip padahal obsesinya menjadi pemain bola di tengah 'bencana' kekeringan panjang yang menimpa kotanya. Meski 'skala'-nya tergolong kecil tapi masih bisa membuat saya tersenyum dan geleng-geleng kepala.


Tiap kali permainan gitar Sailboat sepanjang film sengaja diganti suara dengungan agar penonton bisa membayangkan sendiri daya magis yang dihasilkan menurut selera atau preferensi masing-masing. Awalnya saya sempat mengira konsep ini untuk menyimpan momentum klimaks-nya ketika dibawakan di depan Sang Abuela, tapi ternyata tidak. Yang jelas ekspresi wajah orang-orang di sekitarnya yang disentuh dan diubah oleh lagu Sailboat lebih dari cukup sebagai bekal berfantasi penonton. Tentu dengan iringan lagu-lagu populer lawas macam Amazing Grace, La BambaMy Bonnie, Whittingham Fair, dan House of the Rising Sun yang diaransemen ulang versi Slava dan Leonard Grigoryan (duo bersaudara musisi asal Australia tapi musiknya bercorak Armenia, sesuai akar darah mereka), masih bisa sedikit banyak mempengaruhi imajinasi auditori penonton. Sederhana, damai, tapi mampu menyentuh, sekaligus manis.

Tata kamera yang John Garrett (operator kamera banyak film blockbuster, seperti Patriots Day, The Equalizer 2, Godzilla: King of Monsters, Avengers: Endgame, hingga Bad Boys for Life) juga tak menawarkan sesuatu yang inventif, selain beberapa pilihan wide-shot dan dari sudut pandang seseorang yang sedang diamati oleh beberapa orang, yang terasa sangat 'Wes Anderson' untuk mendukung kesan quirky maupun dalam upayanya men-'transfer' kesan lanskap ke penonton. Termasuk juga pilihan color tone paduan orange-turquoise yang dominan untuk mendukung suasana kekeringan.

Meneliti lebih dalam tiap adegan dan latar belakang karakter maupun peristiwa yang ditampilkan di layar, sebenarnya A Boy Called Sailboat menyelipkan detail lebih yang menarik untuk dianalisis. Yang paling simpel adalah menebak setting waktu yang dari mobil-mobil yang ditampilkan serta disebutkan secara spesifik, yaitu Chevrolet Chevelle, pick-up Chevy '72, dan van Chevy G20 Sport yang merupakan keluaran '60-'70-an. Belum lagi iringan musik dan penyebutan nama-namar artis musik yang memang populer di sekitaran era tersebut. Namun kemudian dipatahkan oleh penyebutan The Queen of the South (tentu saja merujuk pada sosok legendaris, Dolly Parton) serta lagunya, Steady as the Rain yang baru rilis tahun 1999. Di sisi lain, lagu tersebut awalnya dibawakan oleh sang adik, Stella Parton, dan dirilis tahun 1979 meski ditulis oleh Dolly sendiri.
Jadi setting waktu yang mana yang Anda percayai?

Kemudian detail latar belakang José yang terlihat paling punya banyak detail 'mencurigakan'. Perhatikan saja tato di wajahnya, lengannya, sensitivitasnya dalam mendengar detail suara, pilihan tempat tinggal yang jauh dari mana-mana, serta mobil klasik tapi tanpa kedua pintu belakang (yang mana merupakan letak alarm mobil pada umumnya). Detail ini yang membuat sosoknya menjadi yang paling menarik kedua setelah Sailboat. Apalagi setelah dikontraskan dengan interaksinya dengan sang istri, Sailboat, dan Sang Abuela.


Sebagaimana dengan Nugent sebagai sutradara/penulis naskah film panjang, A Boy Called Sailboat juga menjadi debut akting bagi Julian Atocani Sanchez. Meski tak bisa digolongkan sebagai penampilan yang istimewa di pantaran usianya, tapi setidaknya cocok dan bahkan meyakinkan dalam menampilkan segala keluguan Sailboat sebagaimana yang dimaksudkan oleh Nugent.
Bagaimana pun tidak mudah mengarahkan aktor bocah tanpa pengalaman akting sama sekali.
Setidaknya Julian tidak terlihat terasa canggung di depan kamera, luwes membawakan karakternya, bahkan keseriusan wajahnya terlihat meyakinkan ketika memainkan ukulele meski jika mengamati detail pergerakan jarinya yang memegang kunci terlihat random.

Beberapa penonton mungkin tertarik oleh adanya nama J.K. Simmons (Whiplash, La La Land, dan waralaba Spider-Man) di jajaran cast.
Tak salah memang jika namanya dipajang di berbagai materi promosi meski porsi perannya sebenarnya tak lebih dari sekedar 'special appearance'.
Bagi sebagian penonton mungkin menganggap karakternya sama sekali tak penting.
Memang screentime dan pengaruhnya terhadap karakter Sailboat di layar tak signifikan di permukaan terluar, tapi kemisteriusan sosoknya itu yang membuat menarik untuk dikulik lebih mendalam tiap kali penampilannya, terutama dari segi dialog yang diucapkan.


Secara keseluruhan A Boy Called Sailboat memang terasa bak sebuah film indie berskala kecil yang sederhana. Namun bukan berarti tanpa daya tarik sama sekali.
Bagaimana pun konsep 'one small thing leads to another' dari kacamata kepolosan kerap menawarkan hal-hal tak terduga dan bikin penasaran hingga penghujung film.
A Boy Called Sailboat bisa jadi salah satunya, setidaknya sebagai tontonan ringan pengisi waktu luang sambil bersantai bersama keluarga.

Toh pada akhirnya sejalan dengan kata-kata bijak Sang Abuela lewat narasi Sailboat sepanjang film, termasuk di antaranya, "sometimes you can do something for someone, but can also be something for everyone, but really, it is something for someone" dan "sometimes you got the gift, sometimes you give it to someone else, and sometimes it's not what anyone expected", saya seperti diingatkan bahwa hal-hal kecil secara tidak terduga bisa menjadi sesuatu yang berarti bagi banyak orang meski tujuan awalnya hanya untuk seseorang secara spesifik.
We'll never know what everything happened or given to us was meant to be.
Selama punya tujuan yang baik dan tulus, lakukan saja.



Lihat data film ini di IMDb dan film ini bisa ditonton lewat KlikFilm.
Diberdayakan oleh Blogger.