4.5/5
Comedy
Drama
Family
Father-and-Son
Film Lebaran
Indonesia
Inspirational
religious
Road Trip
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Mencari Hilal
Di berbagai scene festival film
dalam negeri dan internasional, nama Ismail Basbeth sudah bukan nama yang asing
lagi. Apalagi film pendeknya, Shelter,
yang berjaya di mana-mana. Terakhir, ia menyelesaikan film panjang pertamanya, Another Trip to the Moon (Menuju Rembulan) yang masuk nominasi
Tiger Awards Competition di International Film Festival Rotterdam 2015.
Siapapun yang mengenal Basbeth dan karya-karyanya, pasti tak asing dengan image
absurd (baca: eksperimental). Kemudian sebuah tantangan datang dari Hanung
Bramantyo untuk membuat film yang bisa dipahami dan dinikmati dengan mudah oleh
penonton Indonesia yang lebih luas dan umum. Tantangan itu pun diterima dengan Mencari Hilal (MH) yang menggandeng
nama-nama berkualitas di baliknya. Terutama penulis skenario Salman Aristo yang
dibantu Bagus Bramanti (Love & Faith,
Pintu Harmonika), dan Basbeth
sendiri.
Kisah MH bergulir ketika Mahmud,
seorang uztad yang merasa paling tahu tentang agamanya dan cara hidup yang
dianutnya selama ini sudah yang paling benar. Tak jarang ia harus
berkonfrontasi dengan orang-orang di sekitarnya yang punya pandangan yang
berbeda. Tak terkecuali sang putra, Heli, yang sekarang jadi jarang pulang
karena menjadi aktivis. Suatu kejadian mengharuskan Mahmud dan Heli melakukan
perjalanan mencari hilal, sebuah tradisi yang sudah lama hilang. Dari premise
ini dan melihat hasil akhirnya, MH sekilas seperti mengingatkan kita akan film
Perancis, Le Grand Voyage (LGV).
Memang ada perbedaan di mana LGV bercerita tentang sang ayah yang ingin naik
haji ke Mekkah dengan jalan darat dari Perancis ketika si anak harus menjalani
ujian. Sementara di MH, sang ayah mencari hilal yang diyakini menjadi patokan
hari raya Idul Fitri, padahal si anak sedang mengejar jadwal menjadi aktivis di
Nikaragua. Basically sama, generation gap yang menyebabkan perbedaan pola pikir
antara ayah dan anak, yang akhirnya dipersatukan dalam sebuah perjalanan.
Namun jika ditelaah lebih dalam,
MH melakukan pelokalan yang sangat baik. Tak hanya relevan, motivasi karakter
utama, Mahmud dan Heli ditulis dengan lebih rasional ketimbang LGV. Seiring
dengan perjalanannya, MH dipenuhi berbagai kejadian yang mungkin bagi banyak
penonton, terlalu sengaja dijejalkan sebagi protes sosial, seperti yang sering
dilakukan Hanung di film-filmnya, namun bagi saya ini sah-sah saja. Tak hanya
menjadi sebuah relevansi bagi keadaan negara kita saat ini yang sebenarnya, namun yang
lebih penting, bisa mendukung perkembangan karakter-karakter utama, yang mau
tak mau men-drive cerita pula. Lihat misalnya ketika bagaimana Mahmud dan Heli
ternyata bisa saling mendukung ketika menyelesaikan masalah pertikaian warga
dengan umat Kristen di sebuah kampung, atau ketika akhirnya Heli bisa memanfaatkan sahabat lama ayahnya
yang pola pikirnya bergeser setelah berpolitik, Arifin. Kesemua kejadian yang
mengalir dengan natural di layar punya peran yang signifikan bagi perkembangan
karakter Mahmud dan Heli, sekaligus mempersatukan pola pikir mereka yang
berbeda. Ending yang mengusung formula 'ternyata', khas film pendek Jogja, ternyata juga cukup menarik dengan metafora dari judulnya (nonton sendiri supaya lebih menarik). Naskah yang begitu solid ini juga tak ketinggalan dihiasi dialog-dialog
yang witty di sana-sini, sehingga MH masih tampil
sebagai sebuah sajian yang sangat menghibur.
Naskah yang begitu solid didukung
pula oleh penyutradaraan yang tak kalah baiknya oleh Basbeth. Tak sampai jatuh
menjadi melodrama yang berlebihan, di tangan Basbeth MH menjadi tontonan
hiburan yang mengalir dan hidup. Kalaupun sampai membuat Anda menitikkan air
mata, itu tidak berasal dari adegan-adegan yang didramatisir, tapi karena
memang relate dengan kehidupan nyata. Protes sosial yang diselipkan tak sampai pula jatuh menjadi terlalu
karikatur seperti yang sering dilakukan Hanung, malahan alur MH tetap mengalir dengan
elegan. Alur cerita yang berbobot pun menjadi terasa begitu sederhana dan mudah
untuk diikuti sekaligus dinikmati.
Tak ketinggalan pula performa
akting yang rata-rata prima. Terutama sekali Deddy Sutomo yang sangat berhasil
menghidupkan karakternya, seorang ayah keras kepala dengan pendiriannya. Tampak
begitu bijaksana dan berkharisma ketika menyampaikan keberatannya dengan
tenang, tampak keras sekaligus lembut, hingga perasaaan damai, semua
ditampilkan dengan begitu maksimal oleh Deddy. Pun juga chemistry father-son
yang sangat baik dengan Oka Antara. Sementara Oka sendiri meski tak terlalu
terasa istimewa, setidaknya masih memerankan karakternya dengan pas dan mampu
mengimbangi kharisma Deddy Sutomo.
Keunggulan lain yang patut
diapresiasi dari MH adalah berbagai keunggulan teknis, seperti sinematofrafi
Satria Kurnianto yang pernah berkolaborasi dengan Basbeth di Another Trip to the Moon. Berbgai framing-framing
cantik membingkai adegan-adegan penting MH menjadi lebih bermakna dan dalam.
Musik yang ditata oleh Charlie Meliala juga mengiringi adegan-adegan MH menjadi
lebih emosional.
Di tengah film-film Lebaran tahun
ini, MH sebenarnya menjadi pilihan yang paling menarik. Dengan kemasan yang
serba menarik dan cantik, ia juga menyajikan sebuah kontemplasi sederhana
tentang berbagai perbedaan yang ternyata bisa dipersatukan dan malah saling
mendukung. Sesuatu yang sebenarnya sangat sederhana namun masih sangat
dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia sampai sekarang. Sangat sayang jika
kenyataannya menjadi film Lebaran yang paling sedikit perolehan penontonnya. Go
see it in cinema, this one is one of the best Indonesian films this year, and
probably also in recent years.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.