The Jose Flash Review
Comic 8: Casino Kings Part 1

Di ranah perfilman Indonesia, Anggy Umbara adalah nama yang telah menunjukkan keunikan lewat karya-karyanya. Dimulai dengan Mama Cake yang membungkus ‘dakwah’ dengan kemasan yang begitu pop, warna-warni vibrant dan imajinatif ketimbang natural, dan jalinan cerita yang seru. Begitu juga dengan Coboy Junior The Movie dan Comic 8 yang dengan jelas menunjukkan betapa ‘unik’-nya karya-karya dari Anggy. Meski jelas, terlepas dari kenyataan unik bisa berarti bagus maupun buruk, juga pasti menimbulkan gap fans berat dan haters yang semakin lebar. As for me, I still appreciate the uniqueness. Khusus untuk Comic 8 (C8), terlepas dari selera humor yang cocok dengan penontonnya atau tidak, menurut saya berhasil memanfaatkan para komika yang memang sedang sangat diminati, namun dengan naskah, pencitraan, dan konsep fantasi yang tidak main-main. Twist di ending harus diakui menarik, tak sekedar asal twist, dan yang pasti bisa dikembangkan lebih jauh menjadi sebuah franchise. Dari story base itulah Comic 8: Casino Kings Part 1 (CK1) dibangun.
Kali ini para komika yang ternyata pasien rumah sakit jiwa yang dicuci otaknya dan dimanfaatkan sebagai agen rahasia, kembali ‘dicuci otaknya’ untuk mengemban misi yang lebih berat, kompleks, dan berbahaya. Secara garis besar, premise-nya seperti gabungan spoof dari The Hunger Games dan The Raid. Tentu saja tujuan utamanya cuma satu, menampilkan adegan-adegan big bang boom yang lebih banyak dan dahsyat seperti yang dijanjikan di trailernya. And yes, CK1 memang menepati janji-janji yang diumbar di trailernya. Adegan big bang boom digeber di tiap cut-nya, apalagi dengan editing super dinamis yang dilakukan Andi Mamo.

CK1 masih mengusung alur cerita yang back and forth dan memakai judul bab bak buku seperti C8. Bedanya, jika di C8 kebanyakan alur back and forth-nya dimanfaatkan untuk perkenalan karakter dan penjelasan di ending, di sini terasa lebih random. Mungkin ingin sedikit memberikan penonton rasa penasaran dengan tiap kejadian adegan, namun karena adegan-adegannya tak begitu ‘mengundang penasaran’, konsep back and forth ini lebih untuk men-create efek big bang boom yang lebih non-stop. Bagi penonton yang sudah familiar dan suka C8, maka tak ada kesulitan untuk mengikuti alurnya, pun juga menyukai gaya penceritaannya. Namun bagi yang tidak menonton C8 ataupun membencinya, kemungkinan besar akan dibuat bingung dan bahkan semakin membencinya.
Tapi tidak bisa dipungkiri, faktor kesuksesan yang membuat penonton berbondong-bondong ke bioskop bukanlah naskah yang brilian maupun efek big bang boom-nya, tapi penampilan para komika dengan kekhasan guyonan masing-masing. And for that term, meski lagi-lagi on and off, masing-masing komika cukup memuaskan penggemarnya. Apalagi kali ini dengan pembagian part yang cukup adil dan merata. Sementara Anggy juga tak lupa menambahkan sangat banyak all-star, baik yang populer di masa kini maupun aktor-aktirs lawas, untuk mendukung. Masing-masing pun juga diberi part yang sama kuatnya dan bekal joke-joke bereferensi pop culture Indonesia untuk men-serve lebih banyak kalangan. Saya yang tergolong cukup cocok dengan joke-joke C8, juga masih bisa tertawa terbahak-bahak di beberapa joke-nya, baik yang dibawakan komika maupun aktor-aktris pendukungnya.

Para komika berhasil tampil semakin luwes di depan kamera, mulai Ernest, Arie Kriting, Bintang Timur, Kemal, Ge Pamungkas, Fico, dan tentu saja terutama sekali Mongol Stres dan Babe Cabiita. Deretan pemeran pendukungnya juga tak kalah menariknya. Mulai Boy William yang juga kemampuannya mulai kelihatan, Dhea Ananda yang menggantikan Nirina Zubir,  Pandji Pragiwaksono, Indro Warkop. Hannah Al Rashid dan Donny Alamsyah yang biasanya serius pun kali ini mampu membuat terbahak-bahak tanpa kehilangan kesan kerennya dengan ability masing-masing. Sophia Latjuba seperti biasa, mempesona. Dan let’s not forget Prisia Nasution dengan aksen Melayu Singapore yang begitu luwes dan menarik untuk disimak.

Sinematografi dari Dicky R Maland yang sudah menjadi langganan Anggy sejak Mama Cake, masih memamerkan berbagai shot yang mendukung konsep serba grande, epic, luxury, dan cool. Efek visual menjadi ‘komoditas’ utama yang cukup kuat untuk teknis CK1. Meski tak semua tampak sepenuhnya rapi, namun tetap saja berada sedikit di atas efek visual rata-rata sinema kita. Sementara di divisi tata suara, meski tak ada yang begitu istimewa, pun juga tak begitu memanfaatkan gimmick efek surround, sudah lebih dari cukup untuk menghidupkan adegan-adegan serunya. Tata musik yang memanfaatkan daur ulang lagu-lagu milik Rhoma Irama dan Benyamin S. dengan aransemen yang cukup kreatif dan unik, turut mendukung cerita, adegan-adegan, serta konsep secara keseluruhan.

Pembagian CK menjadi 2 bagian dengan rentang waktu yang cukup lama (6 bulan, CK2 dijadwalkan rilis Februari 2016) mungkin memang faktor komersial, namun dengan desain produksi yang begitu megah, jauh lebih megah, niat, dan tentu saja cost more ketimbang C8, wajar jika produser ingin menggali potensial sedalam-dalamnya. Efeknya, secara keseluruhan CK1 terasa seperti sebuah potongan-potongan adegan dan teaser setup-setup ketimbang satu cerita yang utuh. Apalagi dengan konsep alur back and forth yang semakin menguatkan kesan itu. Tapi tak mengapa, dengan ending yang begitu ‘mengundang’ dan sedikit cuplikan dari part 2-nya, bisa diduga menyimpan cerita, lebih banyak nama-nama terkenal di lini pendukung, serta adegan-adegan yang semakin seru. Well, let’s just not judging CK from its first part only. Let’s wait until part 2 and then judge as one whole movie.

Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
Diberdayakan oleh Blogger.