The Jose Flash Review
The Gallows

Found footage bukan barang baru, apalagi di ranah horor. Mulai dari jaman dulu ketika penonton horor masih terbagi dalam kategori yang bisa accept konsep ini dan ada pula yang sama sekali tidak suka, sampai sekarang found footage sudah mulai banyak diterima karena ternyata punya penceritaan yang tak beda jauh dengan film narasi biasa. Apalagi dengan perkembangan teknologi yang membuat kualitas gambar kamera rumahan semakin mendekati kamera profesional, found footage sudah bukan menjadi sesuatu yang unik lagi. Metode ini sudah menjadi sekedar pilihan dalam keefektifan menyampaikan cerita. Apakah penonton bisa merasa yang disaksikan di layar lebih nyata dengan metode penceritaan itu? Intinya, tidak semua cerita cocok dieksekusi dengan konsep ini.

The Gallows lahir dari duo penulis naskah-sutradara, Travis Cluff dan Chris Lofing, yang namanya masih belum begitu terdengar karena selama ini baru membuat beberapa film pendek dan satu film panjang indie, Gold Fools. Masih merupakan proyek indie yang kebetulan dibeli hak distribusinya oleh Warner Bros. (lewat New Line Cinema), aktor-aktris yang dipasang pun bukan nama-nama populer. Uniknya, nama depan karakter yang ditampilkan  menggunakan nama depan asli pemerannya. Dengan mengusung tema urban legend, penonton dibuat mengira cerita yanga disampaikan The Gallows adalah kisah nyata, padahal totally fiktif.

The Gallows membuka ceritanya dengan sebuah kejadian mengerikan di tahun 1993, di mana sebuah pementasan drama berjudul The Gallows (= tali gantungan) memakan korban salah satu aktornya tewas tergantung sungguhan di atas panggung. 20 tahun kemudian, kelompok drama sekolah berniat mementaskan lagi drama tersebut. Maka cerita pun bergulir di antara pemain-pemain barunya.

Meski menggunakan konsep found footage, The Gallows ternyata menyampaikan ceritanya seperti film biasa. Di awal-awal kesannya mungkin tidak begitu penting, namun di situlah ia membangun latar belakang ceritanya dan juga karakter-karakternya. Tak masalah bagi saya, karena ternyata dibungkus dengan cukup menarik, apalagi mendengar celetukan-celetukan si perekam, Ryan, yang kadang menggelitik. Kengerian baru digelar kemudian dengan timing dan kadar yang pas. Didukung set sekolah di malam hari yang memang creepy, suasana pun otomatis menjadi semakin mencekam. Yes, jumpscare di sana-sini juga tak lupa ditampilkan sebagai hiburan. Namun kebanyakan berasal dari nuansa creepy yang berhasil dibangun secara simultan. Sayangnya, menjelang klimaks intensitasnya semakin menurun dan sebagai sebuah found footage, The Gallows terlalu bertele-tele menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

Oh yes, saya tidak keberatan dengan logika “ngapain masih nyalain kamera di saat segenting itu”, toh jelas kalau para karakter kita juga butuh cahaya lampu (dan juga fungsi night vision) dari kamera untuk melihat di kegelapan. Tapi detail yang menampilkan terlalu banyak penjelasan jelas tidak perlu dan semakin jauh dari logika found footage. Maka tak heran jika kemudian muncul pertanyaan, “Siapa yang merekam? Buat apa merekam itu?”. That’s why jelas bahwa The Gallows punya materi cerita yang menarik untuk disampaikan, namun tak sepenuhnya perlu konsep found footage dalam penyampaiannya.

Yang patut disayangkan juga, karena faktor konsep found footage dalam menyampaikan begitu banyak detail penjelasan, efeknya justru serba tanggung. Oke, mungkin penjelasan berhasil tersampaikan, tapi “spirit” yang menjadi momok sepanjang film menjadi abstrak dan tak punya “roh”. And for me, this has made the whole horror was such a waste. Momen-momen mengerikan yang ditampilkan menjadi sia-sia dan sekedar potongan-potongan kejadian mengerikan, karena in the end, sosoknya tidak terasa benar-benar nyata.

Para aktor-aktris yang namanya masih asing di telinga sebenarnya tak tampil buruk, namun memang tak perlu juga penampilan yang luar biasa. Di antara keempat pemain utama, Ryan Shoos dan Pfeifer Brown terasa paling menarik perhatian. Cassidy Gifford pun tampil menarik dengan sex appeal yang entah bagaimana bisa mencuri layar padahal fisiknya biasa-biasa saja. Sementara Reese Mishler juga tak terlalu gemilang, kebanyakan justru cenderung canggung, di balik wajah yang sebenarnya memang menjual.

Sebagai sebuah found footage, The Gallows punya sinematografi yang layak dan sama sekali tidak mengganggu. Tata suara juga patut dihargai lebih. Meski fasilitas Dolby Atmos sebenarnya tak terlalu mutlak dibutuhkan, namun beberapa adegan terasa lebih berdimensi berkat fasilitas ini.


Di balik kekurangan di sana-sini, The Gallows memang tak lantas menjadi sajian found footage maupun horor yang remarkable. Namun dengan cerita yang menarik dan beberapa momen horor yang berhasil dicapai, ia masih layak disimak sebagai hiburan ringan di waktu senggang atau sekedar have a horror fun.

Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.