3/5
Found footage
Horror
Indie
Pop-Corn Movie
Teen
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Gallows
Found footage bukan barang baru,
apalagi di ranah horor. Mulai dari jaman dulu ketika penonton horor masih
terbagi dalam kategori yang bisa accept konsep ini dan ada pula yang sama
sekali tidak suka, sampai sekarang found footage sudah mulai banyak diterima
karena ternyata punya penceritaan yang tak beda jauh dengan film narasi biasa.
Apalagi dengan perkembangan teknologi yang membuat kualitas gambar kamera
rumahan semakin mendekati kamera profesional, found footage sudah bukan menjadi
sesuatu yang unik lagi. Metode ini sudah menjadi sekedar pilihan dalam
keefektifan menyampaikan cerita. Apakah penonton bisa merasa yang disaksikan di
layar lebih nyata dengan metode penceritaan itu? Intinya, tidak semua cerita
cocok dieksekusi dengan konsep ini.
The Gallows lahir dari duo penulis naskah-sutradara, Travis Cluff
dan Chris Lofing, yang namanya masih belum begitu terdengar karena selama ini
baru membuat beberapa film pendek dan satu film panjang indie, Gold Fools. Masih merupakan proyek indie
yang kebetulan dibeli hak distribusinya oleh Warner Bros. (lewat New Line
Cinema), aktor-aktris yang dipasang pun bukan nama-nama populer. Uniknya, nama
depan karakter yang ditampilkan
menggunakan nama depan asli pemerannya. Dengan mengusung tema urban
legend, penonton dibuat mengira cerita yanga disampaikan The Gallows adalah kisah nyata, padahal totally fiktif.
The Gallows membuka ceritanya dengan sebuah kejadian mengerikan di
tahun 1993, di mana sebuah pementasan drama berjudul The Gallows (= tali gantungan) memakan korban salah satu aktornya
tewas tergantung sungguhan di atas panggung. 20 tahun kemudian, kelompok drama
sekolah berniat mementaskan lagi drama tersebut. Maka cerita pun bergulir di
antara pemain-pemain barunya.
Meski menggunakan konsep found
footage, The Gallows ternyata
menyampaikan ceritanya seperti film biasa. Di awal-awal kesannya mungkin tidak
begitu penting, namun di situlah ia membangun latar belakang ceritanya dan juga
karakter-karakternya. Tak masalah bagi saya, karena ternyata dibungkus dengan
cukup menarik, apalagi mendengar celetukan-celetukan si perekam, Ryan, yang
kadang menggelitik. Kengerian baru digelar kemudian dengan timing dan kadar
yang pas. Didukung set sekolah di malam hari yang memang creepy, suasana pun
otomatis menjadi semakin mencekam. Yes, jumpscare di sana-sini juga tak lupa
ditampilkan sebagai hiburan. Namun kebanyakan berasal dari nuansa creepy yang
berhasil dibangun secara simultan. Sayangnya, menjelang klimaks intensitasnya
semakin menurun dan sebagai sebuah found footage, The Gallows terlalu bertele-tele menjelaskan apa yang sebenarnya
terjadi.
Oh yes, saya tidak keberatan
dengan logika “ngapain masih nyalain kamera di saat segenting itu”, toh jelas
kalau para karakter kita juga butuh cahaya lampu (dan juga fungsi night vision)
dari kamera untuk melihat di kegelapan. Tapi detail yang menampilkan terlalu
banyak penjelasan jelas tidak perlu dan semakin jauh dari logika found footage.
Maka tak heran jika kemudian muncul pertanyaan, “Siapa yang merekam? Buat apa
merekam itu?”. That’s why jelas bahwa The
Gallows punya materi cerita yang menarik untuk disampaikan, namun tak
sepenuhnya perlu konsep found footage dalam penyampaiannya.
Yang patut disayangkan juga,
karena faktor konsep found footage dalam menyampaikan begitu banyak detail
penjelasan, efeknya justru serba tanggung. Oke, mungkin penjelasan berhasil
tersampaikan, tapi “spirit” yang menjadi momok sepanjang film menjadi abstrak
dan tak punya “roh”. And for me, this has made the whole horror was such a
waste. Momen-momen mengerikan yang ditampilkan menjadi sia-sia dan sekedar
potongan-potongan kejadian mengerikan, karena in the end, sosoknya tidak terasa
benar-benar nyata.
Para aktor-aktris yang namanya
masih asing di telinga sebenarnya tak tampil buruk, namun memang tak perlu juga
penampilan yang luar biasa. Di antara keempat pemain utama, Ryan Shoos dan
Pfeifer Brown terasa paling menarik perhatian. Cassidy Gifford pun tampil
menarik dengan sex appeal yang entah bagaimana bisa mencuri layar padahal
fisiknya biasa-biasa saja. Sementara Reese Mishler juga tak terlalu gemilang,
kebanyakan justru cenderung canggung, di balik wajah yang sebenarnya memang
menjual.
Sebagai sebuah found footage, The Gallows punya sinematografi yang
layak dan sama sekali tidak mengganggu. Tata suara juga patut dihargai lebih.
Meski fasilitas Dolby Atmos sebenarnya tak terlalu mutlak dibutuhkan, namun
beberapa adegan terasa lebih berdimensi berkat fasilitas ini.
Di balik kekurangan di sana-sini,
The Gallows memang tak lantas menjadi
sajian found footage maupun horor yang remarkable. Namun dengan cerita yang
menarik dan beberapa momen horor yang berhasil dicapai, ia masih layak disimak
sebagai hiburan ringan di waktu senggang atau sekedar have a horror fun.
Lihat data film ini di IMDb.