2.5/5
Depressive
Drama
Father-and-Daughter
Hollywood
The Jose Flash Review
Thriller
Zombie
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Maggie
Tema zombie sudah tak terhitung
banyaknya diangkat ke layar lebar, terutama dengan genre horor. Berbagai teori
tentang zombie sampai berbagai pendekatan dalam penyampaian cerita juga sudah
dicoba. Tak sedikit pula yang berhasil menyandang gelar cult classic, mulai
karya-karya sang maestro, George A. Romero, sampai yang modern pop seperti Shaun of the Dead, 28 Days
Later, Zombieland, dan World War Z.
Maggie rupanya ingin bermain-main di
ranah yang berbeda dengan tema zombie: father and daughter relationship.
Maggie membidik cerita pada seorang gadis remaja bernama Maggie
yang harus apes digigit zombie. Dia punya waktu sekitar 6-8 minggu sebelum
berubah menjadi benar-benar buas dan harus dikarantina. Maka sang ayah, Wade,
menjemput Maggie untuk menghabiskan sisa waktu bersama sambil menimbang-nimbang
keputusan yang paling tepat ketimbang mengantarkan Maggie ke karantina. Sebuah
premise cerita yang menarik sebenarnya jika ditulis dan divisualisasi secara
tepat. Namun yang terjadi pada Maggie
ternyata jauh dari menarik.
Jauh berbeda dengan film zombie
kebanyakan yang mengumbar adegan kekerasan sadis, horor yang mencekam, dan
thriller yang bikin sport jantung, Maggie
lebih menampilkan drama depresif yang dibangun melalui hubungan seorang ayah
dan putrinya. Beberapa menit pertama Maggie
masih menampilkan adegan-adegan yang menarik untuk disimak. Termasuk juga
ketika ditampilkan tetangga keluarga Vogel yang masih anak-anak harus dibunuh
karena terinfeksi dan sudah berubah menjadi tak terkontrol. Sebuah setup yang
seharusnya membuat Wade dan Maggie semakin sulit mengambil keputusan. Pun juga
chemistry antara Arnold Schwarzenegger (Wade) dan Abigail Breslin (Maggie)
dibangun dengan bagus. Namun nampaknya naskah tak memanfaatkan itu semua untuk
dikembangkan menjadi adegan yang lebih menarik lagi. Penonton seolah dibiarkan hanya
ikut menghitung waktu hingga Maggie benar-benar berubah menjadi zombie.
Ending-nya pun termasuk biasa
saja. Tak ada resolusi yang menarik ataupun memuaskan, padahal keputusan final
di ending menjadi satu-satunya alasan mengapa penonton merasa harus stay.
Secara keseluruhan pun Maggie juga
gagal menjadi drama depresif yang mengundang simpati maupun menguras emosi
penonton. Faktor utamanya, sekali lagi adalah tak ada detail cerita maupun
adegan yang membangun simpati penonton pada Wade dan Maggie. That’s it. That’s
the ending, and all of us feeling like just had the most wasted one and half
hour.
Menarik sebenarnya menyaksikan
Arnie bermain di pure drama sebagai seorang ayah, tanpa embel-embel action hero.
Ternyata ia bisa berakting cukup baik pula di ranah itu. Sayangnya naskah tidak
memberikan kedalaman lebih jauh lagi untuk membuat karakternya semakin menarik
simpati penonton. Begitu juga dengan Abigail Breslin yang berakting paling
memikat sepanjang film. Ketakutan, ketegaran, dan putus asa, berhasil
dihidupkan dengan sangat convincing dan pas oleh Breslin.
Sementara di teknis juga tak ada
yang begitu istimewa. Sinematografi dan tata suara tergolong biasa saja.
Editing ala arthouse yang sangat slow-paced sebenarnya bisa mendukung suasana
depresif dan kelam, namun hasilnya justru jatuh menjadi lebih membosankan.
In the end, Maggie sebenarnya punya premise yang menarik jika dikembangkan
dengan benar. Sayang penyutradaraan yang belum terlalu berpengalaman dari Henry
Hobson (sebelumnya lebih sering bertindak sebagai opening/main/closing title
film-film besar seperti The Help, The Lone Ranger, dan Snow White and the Huntsman), ditambah
naskah John Scott (juga baru pertama kali menulis naskah) yang lemah,
menjadikannya sajian yang tanpa greget dan mudah dilupakan. Syukur-syukur kalau
penontonnya tidak keburu ketiduran atau walk out sebelum filmnya berakhir.
Lihat data film ini di IMDb.