The Jose Flash Review
Careful What You Wish For

Salah satu genre yang sempat booming di era 90-an adalah erotic thriller. Rata-rata formulanya sama: affair yang berujung teror dan tak jarang berakhir tragis. Salah satu produser yang sering bermain dan pernah menelurkan judul-judul legendaris di area genre ini adalah Ashok Amritraj dengan franchise Night Eyes dan Scorned (A Woman’s Scorned). Setelah trend genre ini semakin berkurang, Amritraj dengan studionya, Hyde Park Entertainment, lebih banyak memproduksi genre lain yang lebih populer seperti horor dan action. Terakhir, film erotic thriller yang diproduksinya mungkin Original Sin yang dibintangi Antonio Banderas dan Angelina Jolie. Tahun ini rupanya erotic thriller nampaknya mulai dilirik lagi. Ditandai dengan The Boy Next Door­­-nya Rob Cohen yang dibintangi Jennifer Lopez dan Ryan Guzman. Maka tak heran jika Amritraj melihat peluang untuk kembali bermain-main di area yang sama. Mantan artis Disney, Nick Jonas pun dimanfaatkan untuk menarik perhatian.

Careful What You Wish For (CWYWF) nyatanya punya premise yang tak jauh berbeda dengan Night Eyes dan kebanyakan erotic thriller 90-an lainnya. Kalau mau referensi yang rentang waktunya yang lebih dekat, CWYWF seperti The Boy Next Door hanya saja dari sudut pandang si brondong (meski sang woman interest di sini, Isabel Lucas, tak setua Jennifer Lopez juga). Maka lebih tepatlah CWYWF membidik pasar yang lebih muda (baca: remaja). Tak heran jika penceritannya pun lebih naif ketimbang erotic thriller lain (well, erotic thriller yang lebih dewasa pun sebenarnya menghadirkan karakter pria yang nggak kalah naif-nya sih), namun bukan berarti buruk. Chris Frisina yang mana ini merupakan naskah film panjang pertamanya, ternyata cukup baik dan cermat dalam menyusun detail karakter yang logis dan relevan, terutama si brondong, Doug yang diperankan oleh Nick Jonas. Timing dalam membangun ketegangan dan ceritanya pun termasuk pas sehingga secara keseluruhan masih nyaman diikuti, meski mungkin penonton sudah familiar dengan tipikal film seperti ini. Turning over cerita yang lagi-lagi, sebenarnya sudah cukup familiar, juga mampu dihadirkan dengan menarik. Ketika saya mengira fokus cerita terletak pada bagaimana Doug berhadapan dengan resiko jika suami sang love interest mengetahui affairnya, ternyata ada fokus cerita yang lebih jauh lagi. Twist ala Wild Things di menjelang akhir cerita pun tidak asal ada, tapi relevan dengan hint dan clue yang tersebar di sepanjang cerita meski tidak terlalu obvious.

Naskah yang perpaduan Night Eyes dan Wild Things ini juga cukup baik digarap oleh sutradara Elizabeth Allen (Aquamarine dan Ramona and Beezus). Dengan pengalamannya menyutradarai beberapa episode serial remaja yang bernuansa serupa, seperti 90210 dan Gossip Girl, Elizabeth tak punya kendala berarti dalam menerjemahkan naskah Frisina. Hanya saja beberapa joke yang diletakkan tidak pada momen yang pas, sedikit merusak nuansa investigation thriller yang dibangun. But other than that, it’s still enjoyable to follow.

Melebihi ekspektasi saya, Nick Jonas rupanya tampil cukup baik. Tak hanya berhasil melepaskan image remaja manis, Nick mampu dengan luwes menerjemahkan karakter Doug yang aslinya geek namun harus berhadapan dengan kasus seberat itu. Chemistry yang dibangunnya bersama Isabel Lucas pun termasuk convincing. Hanya saja beberapa adegannya bersama Carson (Graham Rogers) maupun Paul Sorvino masih terasa canggung. Isabel Lucas, masih menjadi karakter tipikalnya, wanita ber-sex appeal tinggi yang misterius dan manipulatif. Tidak terlalu kuat karena faktor naskah yang memang tidak memberikan porsi yang cukup, namun tak buruk pula. Sebaliknya, Dermot Mulroney sebagai sang suami, terasa lebih kuat karena kharisma yang mengintimidasi meski screen presence-nya tak begitu banyak. Sementara Kandyse McClure sebagai Angie Alvarez yang screen presence-nya baru mendominasi di paruh kedua film, cukup kuat untuk menarik perhatian penonton, melebihi Isabel Lucas.


CWYWF memang tidak menawarkan sesuatu yang benar-benar baru maupun cukup kuat untuk bertahan lama dalam benak penonton. Apalagi sebagai erotic thriller, ia masih sangat sangat halus dan sopan (apalagi jika dibandingkan softcore-softcore era 90-an). Mungkin faktor target market utama yang lebih muda (baca: remaja), but I don’t know why saya merasa film-film erotic thriller yang dirilis akhir-akhir ini tak seberani dan sepanas era 90-an. Padahal sebenarnya sex scene atau minimal nudity yang menjadi daya tarik utama. Tanpa kedua aspek tersebut yang cukup kental, tak banyak yang bisa membuat penonton tertarik untuk nonton.

Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.