3/5
Comedy
Drama
Family
Film Lebaran
Indonesia
Law
Pop-Corn Movie
Romance
Socio-cultural
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Lamaran
Meski sudah mencoba berbagai
genre film, baik sebagai penulis naskah maupun sutradara, Monty Tiwa agaknya
melahirkan karya-karya remarkable-nya di genre komedi, romantis, maupun
gabungan keduanya. Begitu juga dengan Cassandra Massardi, penulis naskah yang seolah
sudah klop dengan ‘selera’ Monty. Keduanya pernah berkolaborasi lewat Get Married 3, Get M4rried, serta Aku, Kau,
dan KUA yang kesemuanya diproduksi di bawah bendera Starvision Plus. Rapi
Films pun tertarik untuk ‘mempersatukan’ keduanya sekali lagi dalam sebuah
komedi romantis berjudul Lamaran.
Pasangan yang kali ini
dipertemukan di layar adalah Acha Septriasa yang aktingnya semakin
diperhitungkan dengan peran-peran yang lebih dewasa, dan Reza Nangin yang mulai
dikenal lewat Cinta tapi Beda dan
ikon jaringan bioskop XXI. Dengan background thriller hukum, sebenarnya Lamaran berpotensi menjadi sebuah blend
rom-com yang unik dan menarik. Benar saja, cerita ‘pacar pura-pura’ yang
sebenarnya sudah sering diangkat, menjadi lebih menarik. Belum lagi gimmick
benturan budaya Batak dan Sunda yang dijadikan sumber kelucuan. Di tangan
Cassandra-Monty yang memang piawai di ranah ini, Lamaran bisa dikatakan berhasil menjadi tontonan yang menghibur.
Sayangnya, secara keseluruhan Lamaran tak lebih dari sekedar sajian
komedi romantis. Ada cukup banyak minus di sana-sini yang membuatnya terasa
tidak begitu solid dan menyia-nyiakan potensi yang ada. Pertama, background
thriller law yang sebenarnya bisa menjadi kekuatan tersendiri dan unik,
ternyata hanya ditampilkan sebagai tempelan semata. Jangankan menjadi blend
yang bersinergi dengan plot utama, di sini sama sekali tidak ada detail kasus
yang ditangani karakter utama kita, pengacara Tiar (Acha), sehingga
mengharuskannya pura-pura menjadi tunangan Aan (Reza), mulai sebab hingga
bagaimana akhirnya kasus itu bisa dimenangkan oleh Tiar dan menjebloskan
karakter antagonis yang diperankan Dwi Sasono menjadi tersangka. Mungkin saja
alasannya untuk menjaga fokus pada hubungan Tiar-Aan, namun ketika harus berani
memasukkan materi sepenting itu dalam cerita dan cukup krusial, setidaknya
harus mau juga memberikan penjelasan sebab dan penyelesaiannya. Lebih baik lagi
jika menyatu dengan plot utama. Tapi di sini… tidak ada sama sekali.
Ada pula beberapa potensi adegan
yang seharusnya bisa jadi lebih ‘heboh’ terlewatkan menjadi biasa saja. Yang
paling terasa disayangkan adalah
adegan klimaks di mana seharusnya ketika subplot thriller hukumnya mulai
menyatu dengan komedi romantisnya bisa jadi komedi chaotic yang heboh dan
mengundang tawa sebesar-besarnya, di sini justru terasa kurang maksimal. Lucu
sih, tapi seharusnya bisa lebih ‘pecah’. Apalagi dengan penampilan bintang tamu
(yang sebenarnya sudah hampir pasti bisa ditebak kemunculannya) dengan image
seheboh itu. Saya (dan saya yakin kebanyakan dari penonton lainnya juga)
sebenarnya mengharapkan adegan klimaks yang jauh lebih memorable, meriah, dan
grande.
Sebagai karakter utama, Acha
sebenarnya tak buruk. Memang dialek Batak-nya masih jauh dari sempurna, namun
setidaknya di telinga penonton yang awam dengan dialek Batak, tidak terasa
seperti dibuat-buat. Terasa sedikit komikal (mengingat ini adalah sebuah
komedi), namun sama sekali tidak terkesan terlalu dibuat-buat. Sementara Reza
meski kharisma-nya sebagai lead masih kurang terasa kuat, harus diakui cukup
mampu mengundang tawa sebagai karakter awkward.
Deretan pemeran pendukungnya
justru tampil lebih menarik dan mencuri perhatian, terutama Mak Gondut yang
penampilannya selalu ditunggu-tunggu sebagai pengundang tawa sejak Demi Ucok, serta duet komika Arie
Kriting dan artis YouTube bule, Sacha Stevenson yang tak kalah mengocok perut.
Kehadiran Mongol Stres yang masih memerankan karakter tipikalnya seperti di Comic 8, sedikit meramaikan suasana
meski tak begitu menonjol. Sementara kehadiran Marwoto, Dwi Sasono, dan Tora
Sudiro seolah hanya sekedar cameo yang tak begitu berkontribusi banyak, baik
dalam cerita maupun sebagai objek pengocok perut.
Tak ada yang terlalu istimewa di
divisi teknis. Sinematografi dan tata suara termasuk biasa saja, namun cukup
mendukung adegan. Begitu juga desain produksi, tak ada yang begitu menarik
perhatian, selain budaya-budaya Batak yang kebanyakan diimplementasikan pada
kostum.
But again, in the end setidaknya
Monty-Cassandra masih punya cukup banyak guyonan-guyonan yang berhasil membuat
saya tertawa lepas, meski tak sampai terbahak-bahak juga. Tak ketinggalan pula
momen-momen romantis yang klise sih, tapi tetap dengan mudahnya membuat
penonton terharu (apalagi jika relate dengan kehidupan asamara Anda sendiri).
As usual, untuk urusan kedua aspek ini, mereka juaranya, dan ini sudah cukup menjadi
alasan untuk menyimak Lamaran.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.