The Jose Flash Review
Lamaran

Meski sudah mencoba berbagai genre film, baik sebagai penulis naskah maupun sutradara, Monty Tiwa agaknya melahirkan karya-karya remarkable-nya di genre komedi, romantis, maupun gabungan keduanya. Begitu juga dengan Cassandra Massardi, penulis naskah yang seolah sudah klop dengan ‘selera’ Monty. Keduanya pernah berkolaborasi lewat Get Married 3, Get M4rried, serta Aku, Kau, dan KUA yang kesemuanya diproduksi di bawah bendera Starvision Plus. Rapi Films pun tertarik untuk ‘mempersatukan’ keduanya sekali lagi dalam sebuah komedi romantis berjudul Lamaran.

Pasangan yang kali ini dipertemukan di layar adalah Acha Septriasa yang aktingnya semakin diperhitungkan dengan peran-peran yang lebih dewasa, dan Reza Nangin yang mulai dikenal lewat Cinta tapi Beda dan ikon jaringan bioskop XXI. Dengan background thriller hukum, sebenarnya Lamaran berpotensi menjadi sebuah blend rom-com yang unik dan menarik. Benar saja, cerita ‘pacar pura-pura’ yang sebenarnya sudah sering diangkat, menjadi lebih menarik. Belum lagi gimmick benturan budaya Batak dan Sunda yang dijadikan sumber kelucuan. Di tangan Cassandra-Monty yang memang piawai di ranah ini, Lamaran bisa dikatakan berhasil menjadi tontonan yang menghibur.

Sayangnya, secara keseluruhan Lamaran tak lebih dari sekedar sajian komedi romantis. Ada cukup banyak minus di sana-sini yang membuatnya terasa tidak begitu solid dan menyia-nyiakan potensi yang ada. Pertama, background thriller law yang sebenarnya bisa menjadi kekuatan tersendiri dan unik, ternyata hanya ditampilkan sebagai tempelan semata. Jangankan menjadi blend yang bersinergi dengan plot utama, di sini sama sekali tidak ada detail kasus yang ditangani karakter utama kita, pengacara Tiar (Acha), sehingga mengharuskannya pura-pura menjadi tunangan Aan (Reza), mulai sebab hingga bagaimana akhirnya kasus itu bisa dimenangkan oleh Tiar dan menjebloskan karakter antagonis yang diperankan Dwi Sasono menjadi tersangka. Mungkin saja alasannya untuk menjaga fokus pada hubungan Tiar-Aan, namun ketika harus berani memasukkan materi sepenting itu dalam cerita dan cukup krusial, setidaknya harus mau juga memberikan penjelasan sebab dan penyelesaiannya. Lebih baik lagi jika menyatu dengan plot utama. Tapi di sini… tidak ada sama sekali.

Ada pula beberapa potensi adegan yang seharusnya bisa jadi lebih ‘heboh’ terlewatkan menjadi biasa saja. Yang paling  terasa disayangkan adalah adegan klimaks di mana seharusnya ketika subplot thriller hukumnya mulai menyatu dengan komedi romantisnya bisa jadi komedi chaotic yang heboh dan mengundang tawa sebesar-besarnya, di sini justru terasa kurang maksimal. Lucu sih, tapi seharusnya bisa lebih ‘pecah’. Apalagi dengan penampilan bintang tamu (yang sebenarnya sudah hampir pasti bisa ditebak kemunculannya) dengan image seheboh itu. Saya (dan saya yakin kebanyakan dari penonton lainnya juga) sebenarnya mengharapkan adegan klimaks yang jauh lebih memorable, meriah, dan grande.

Sebagai karakter utama, Acha sebenarnya tak buruk. Memang dialek Batak-nya masih jauh dari sempurna, namun setidaknya di telinga penonton yang awam dengan dialek Batak, tidak terasa seperti dibuat-buat. Terasa sedikit komikal (mengingat ini adalah sebuah komedi), namun sama sekali tidak terkesan terlalu dibuat-buat. Sementara Reza meski kharisma-nya sebagai lead masih kurang terasa kuat, harus diakui cukup mampu mengundang tawa sebagai karakter awkward.

Deretan pemeran pendukungnya justru tampil lebih menarik dan mencuri perhatian, terutama Mak Gondut yang penampilannya selalu ditunggu-tunggu sebagai pengundang tawa sejak Demi Ucok, serta duet komika Arie Kriting dan artis YouTube bule, Sacha Stevenson yang tak kalah mengocok perut. Kehadiran Mongol Stres yang masih memerankan karakter tipikalnya seperti di Comic 8, sedikit meramaikan suasana meski tak begitu menonjol. Sementara kehadiran Marwoto, Dwi Sasono, dan Tora Sudiro seolah hanya sekedar cameo yang tak begitu berkontribusi banyak, baik dalam cerita maupun sebagai objek pengocok perut.

Tak ada yang terlalu istimewa di divisi teknis. Sinematografi dan tata suara termasuk biasa saja, namun cukup mendukung adegan. Begitu juga desain produksi, tak ada yang begitu menarik perhatian, selain budaya-budaya Batak yang kebanyakan diimplementasikan pada kostum.

But again, in the end setidaknya Monty-Cassandra masih punya cukup banyak guyonan-guyonan yang berhasil membuat saya tertawa lepas, meski tak sampai terbahak-bahak juga. Tak ketinggalan pula momen-momen romantis yang klise sih, tapi tetap dengan mudahnya membuat penonton terharu (apalagi jika relate dengan kehidupan asamara Anda sendiri). As usual, untuk urusan kedua aspek ini, mereka juaranya, dan ini sudah cukup menjadi alasan untuk menyimak Lamaran.

Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
Diberdayakan oleh Blogger.