The Jose Flash Review
Thor: Ragnarok

Saya pernah berpendapat bahwa dua film Thor adalah installment individu Marvel Cinematic Universe (MCU) yang terlemah dibandingkan personel The Avengers lainnya. Bisa jadi karena konsepnya yang berdasarkan mitologi Norwegia sangat kontras dengan konsep hi-tech sci-fi karakter-karakter superhero MCU lainnya yang lebih realistis. Atau mungkin saja belum menemukan treatment yang tepat untuk membuatnya jadi menarik. Setelah Thor: The Dark World (2013) yang masih konsisten mengikuti treatment dari Thor (2011), agaknya Marvel Studios mulai berpikir untuk mengubah strategi dengan treatment yang lebih segar tanpa mengubah haluan outline konsep besar MCU secara keseluruhan. Maka terpilihlah Taika Waititi, sutradara asal Selandia Baru (pernah dinominasikan di Academy Awards tahun 2005 untuk kategori Best Short Film, Live Action di Two Cars, One Night dan mencuri perhatian festival-festival internasional lewat Hunt for the Wilderpeople 2016 silam) yang dianggap punya ide konsep visual yang paling cocok. Lebih mirip konsep visual Guardians of the Galaxy ketimbang dua film Thor sebelumnya, installment kelima dari fase ketiga MCU ini digadang-gadang menjadi bagian terpenting dari kisah Thor (malah ada rumor yang menyebutkan akan menjadi film terakhir Thor secara individual) sekaligus bagian penting sebelum masuk ke Avengers: Infinity War yang direncanakan tayang Mei 2018.

Istilah Ragnarok sebenarnya merujuk pada kejadian hancurnya alam semesta dan umat manusia setelah kematian tokoh-tokoh penting dalam mitologi Norwegia, seperti Odin, Thor, Loki, Heimdall, Freyr, Sol, Tyr, Jotun, Fenrir, dan Jörmungandr. Dunia yang baru kemudian digantikan oleh generasi Dewa-Dewi yang baru, yaitu anak-anak Odin, Thor, dan Sol. Di Thor: Ragnarok (TR), kejadian serupa yang sempat diramalkan terancam benar-benar terjadi ketika Thor yang baru saja kembali dari mengalahkan Surtur, Setan Api, harus mendapati sang ayah, Odin, mangkat. Sebelum pergi, Odin memperingatkan Thor akan kembalinya Hela, putri sulungnya yang berambisi besar untuk menguasai seluruh isi kosmik, tak hanya sembilan alam yang telah dikuasai Odin. Maka Hela pun menjelma menjadi Dewi Kematian. Seisi Asgard pun terancam punah. Setelah sempat berkonfrontasi, Thor dan Loki tak sengaja terlempar sampai planet Sakaar di bawah pimpinan Grandmaster yang eksentrik. Thor harus terlibat sebuah pertandingan a la Gladiator dengan musuh yang konon ‘mematikan’ untuk dapat menyelamatkan Asgard dari kiamat. Setelah berbagai upayanya, Thor mendapati fakta masa lalu keluarganya yang ternyata begitu kelam. Kini saatnya Thor yang menentukan akan seperti apa masa depan Asgard.
Apa yang dijanjikan di awal ternyata benar-benar dipenuhi. TR menjadi film Thor yang paling mengasyikkan (baca: groovy) untuk dinikmati. Terutama lewat gelaran humor-humor yang tak banyak dimanfaatkan di film-film Thor sebelumnya. Treatment improvisasi dialog bagi para aktornya ternyata cukup mujarab dalam upaya menghadirkan keasyikan tersendiri. Celetukan-celetukan konyol dan plesetan-plesetan menggelitik mewarnai hampir sepanjang film. Karakter Thor dan bahkan Loki sekalipun menjadi jauh lebih menyenangkan. Bahkan Hela yang sejatinya adalah karakter villain menjelma menjadi versi witty dari, let’s say, Maleficent. 
Tentu kemasan yang ‘ugal-ugalan’ tak lantas membuat TR menjadi suguhan yang tak serius sama sekali. Ia masih punya tingkat kepentingan plot yang terasa kuat dibandingkan kedua installment Thor sebelumnya. Thor sebagai karakter sentral sangat terasa punya pengembangan karakter yang cukup signifikan di sini. Lengkap dengan value esensial tentang hal yang lebih penting di atas hal-hal yang selama ini dianggap paling penting dalam konsepsi umum, terutama konsepsi kebangsaan. Menjadikan TR juga merupakan part yang paling esensial lewat konklusinya. Begitu juga treatment terhadap sosok Loki yang meski masih konsisten dengan trik-trik manipulatifnya, tapi tak ketinggalan membubuhkan sedikit ‘hati’ yang hangat di sini. Sosok villain, Hela, pun masih terasa ‘berbahaya’, vicious, dan mengancam di balik sisi elegant-playful-nya. Terakhir, tentu saja bagi Anda bertanya-tanya ke mana sosok Bruce Banner alias Hulk selama beberapa film fase ketiga MCU terakhir, come-back di sini cukup memberikan jawaban yang memuaskan sekaligus porsi serta pengembangan karakter yang jauh lebih memuaskan dibandingkan seri MCU manapun. 
Tak perlu meragukan sisi aksi dari TR. Waititi ternyata tak hanya jago berkelakar, tapi punya visi aksi yang epik. Bahkan mungkin bisa jadi salah satu film MCU yang punya adegan-adegan aksi paling epik, selain tentu saja sudah jelas yang paling epik dibandingkan dua installment individual Thor sebelumnya. Konsep fantasi mitologi yang sudah ada jadi terasa termanfaatkan dengan sangat maksimal. Masih ditambah konsep planet Sakaar yang groovy dan berbagai elemen-elemen luar angkasa, seperti desain tata kota, creature, kostum, dan pesawat-pesawat yang sedikit banyak terinspirasi dari desain Star Wars dengan sentuhan warna-warni yang groovy dan vibrant. Millenium Falcon with a spark of orange? Yes, please! Didukung sinematografi Javier Aguirresarobe yang tahu betul bagaimana membuat adegan-adegan aksi terkesan epik dan megah, termasuk pemanfaatan berbagai aspect ratio yang tepat guna dalam menghadirkan visual yang ber-impact grandeur. Di shot-shot yang ‘hanya’ menggunakan aspect ratio standard, 2.35:1 pun masih terasa megah karena memanfaatkan aspect ratio yang sesuai. Itulah sebabnya IMAX 3D menjadi format terbaik untuk mengalami TR, selain konversi 3D yang tak hanya memanjakan mata tapi juga memberikan feel lebih di berbagai adegan. Depth of field yang mengagumkan terutama untuk desain-desain produksinya dengan beberapa pop-out trick yang cukup fun.
Dengan editing Joel Negron dan Zene Baker yang menggerakkan plot secara lancar dan berenergi tinggi, serta score music suara-suara synthesiser a la pop-disco 80’an dari Mark Mothersbaugh seolah menyuntikkan energi tambahan yang luar biasa menggairahkan. Penggunaan Immigrant Song dari Led Zepplin pun terasa sangat sesuai dengan konsep serta energi. Tak hanya sekedar ikut-ikutan keberhasilan trend old-music di adegan-adegan laga. Jika memang punya sinkronisasi yang tepat dengan energi adegan, kenapa tidak?
Chris Hemsworth masih cukup konsisten membawakan sosok Thor dengan pengembangan karakter yang terasa natural dan sisi fun yang ternyata jauh dari kesan canggung atau trying too hard. Begitu juga Tom Hiddleston yang berhasil menyeimbangkan kedua sisi karakter Loki tanpa meninggalkan kesan asal. Tak perlu meragukan keeleganan sekaligus kepiawaian bela diri yang dilakoni Cate Blanchett untuk karakter Hela. Anthony Hopkins masih mampu mempertahankan kharisma serta wibawanya sebagai Odin di balik beberapa sisi playful tanpa harus jatuh kelewat komikal seperti yang dibawakannya di Transformers: The Last Knight. Mark Ruffalo membuktikan bahwa karakter Bruce Banner dan Hulk layak untuk punya film individual lewat porsi lebih banyak yang dimanfaatkan secara maksimal untuk menggaet simpati penonton. Tessa Thompson sebagai Valkyrie dan Jeff Goldblum sebagai Grandmaster yang mengingatkan saya akan sosok Emperor Ming di Flash Gordon, menjadi pencuri perhatian terbesar, selain cameo dari Sam Neill dan Liam Hemsworth yang tepat sasaran sebagai salah satu materi humor bereferensi.
Lewat kemasan yang groovy, fun, gelaran aksi yang seru dan epik, serta value konklusi yang penting dan kuat, TR layak menyandang gelar installment individual Thor terbaik, pun juga layak menjadi salah satu film terbaik dan ter-fun dari semua installment MCU. Alami dengan format IMAX 3D untuk mendapatkan pengalaman yang paling optimal, sebagaimana konsepnya dibuat sejak awal. Jangan lewatkan juga dua credit-added-scenes. Satu mid-credit yang cukup penting  dan menarik dalam menjembatani ke Avengers: Infinity Wars, serta satu after credit di paling ujung yang cukup menggelitik.
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.