3.5/5
coming of age
Drama
Europe
Indonesia
Pop-Corn Movie
Romance
Teen
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
One Fine Day [2017]
Meski tergolong baru di ranah perfilman layar lebar nasional, geliat Screenplay Films tak kalah sukses dari pencapaian mereka di FTV. Tahun 2017 ini saja sudah ada lima film yang diproduksi, baik sendiri maupun bersama Legacy Pictures; Promise, London Love Story 2, Jailangkung, Kartini, dan yang baru saja rilis, One Fine Day (OFD). Dengan target audience remaja yang sudah terbangun dengan sangat kuat di tanah air, kesemuanya masuk dalam jajaran film terlaris tahun ini. Meski dari luar terkesan hanya sekedar modifikasi plot dan bongkar-pasang pemain, tetap saja ada daya tarik baru di tiap installment.
Di OFD kali ini mereka mencoba memasangkan primadona Screenplay, Michelle Ziudith, yang juga sudah terbukti punya penggemar yang luar biasa banyak dengan aktor pria idola remaja paling populer saat ini di tanah air, Jefri Nichol (bayangkan selama 2017 saja ia sudah membintangi 5 film sejak breakthrough performance di Pertaruhan). Selain itu ada Maxime Bouttier, aktor remaja yang juga punya potensi besar tapi belum benar-benar menonjol selain di Bidadari Terakhir. Didukung pula Surya Saputra, aktor sinetron Dimas Andrean, Ibnu Jamil, serta special appearance dari salah satu aktris muda paling populer saat ini terutama setelah Promise, Dear Nathan, dan Jailangkung, Amanda Rawles. Barcelona dipilih menjadi latar eksotis berikutnya setelah London dan Milan. Tentu eksotisme ini dilengkapi dengan theme song Te Amo Mi Amor yang sangat ear-catchy dan bisa jadi terpengaruh dari popularitas Despacito. Formula-formula yang menurut saya sangat menarik, apalagi untuk target audience utamanya, remaja.
Mahesa, Revan, dan Dastan punya mimpi untuk menjadi musisi. Namun kehidupan keras di Barcelona membuat mereka harus menyambung hidup dengan menjadi penipu. Suatu saat Mahesa dipertemukan dan dibuat terpesona oleh seorang gadis bernama Alana yang ternyata juga berasal dari Indonesia. Dengan pesonanya, Mahesa berhasil memikat Alana yang ternyata hidup dengan pengawasan 24 jam dari Pak Abdi. Diam-diam Alana mulai jatuh hati terhadap Mahesa meski statusnya masih menjadi pacar Danu yang membiayai semua kebutuhannya selama di Barcelona. Cemburu, Danu mengancam untuk mencelakai Mahesa. Track record Mahesa yang tergolong tak terpuji pun terkuak. Alana berada pada pilihan yang sama-sama tak menguntungkan tapi membuatnya sadar makna cinta yang sebenarnya.
Secara plot mungkin OFD tergolong sangat-sangat generik. Namun seperti yang pernah saya kemukakan di review film-film produksi Screenplay Films sebelumnya, mereka kembali menunjukkan sedikit pengembangan kedewasaan di sini. Ada tema pemahaman cinta yang sebenarnya (baca: lebih dewasa) dan pengejaran passion hidup yang teresonansi secara konsisten dan cukup jelas di balik kemasan cinta segi tiganya. Lupakan logika background yang terlalu dreamy (well, many of movies are very dreamy too but I never find it as a problem) seperti kehidupan mewah anak-anak kaum jetset di Barcelona, atau kesesuaian usia karakter dengan circle pergaulan (terutama di adegan pesta), sampai pemilihan Barcelona sebagai latar yang menurut saya bukanlah pilihan destinasi studi yang populer. Fokus saja pada plot utama yang meski harus diakui sangat generik (jika tak mau disebut sangat FTV), tapi digerakkan dengan energi yang asyik, fun, dan menyenangkan. Tentu saja faktor latar Barcelona yang eksotis berhasil dimanfaatkan maksimal terutama lewat jump-cut editing dari Wawan I Wibowo, musik Joseph S. Djafar, serta nomor-nomor musikal dari Ajay IDEAZ seperti Te Amo Mi Amor dan Vamos de Fiesta. Bahkan saya menyukai pemilihan soundtrack pengiring credit title, We’re Done dari Average Sex, yang menjaga energi hingga akhir. Camera work Rama Hermawan kali ini tergolong biasa (jujur, saya merindukan camera work sekeren di Promise), tapi masih mampu bersinergi dengan energi film dan cukup mengeksplorasi eksotisme Barcelona. Dramatisasi yang dihadirkan Asep Kusdinar pun terasa makin natural, tak kelewat meledak-ledak, tapi masih cukup mengena bagi beberapa penonton. Setidaknya bagi saya pribadi.
Jefri Nichol mungkin tampak terlalu muda untuk peran don juan yang mampu memikat seorang gadis seperti Michelle Ziudith. Namun setidaknya ia membawakan peran Mahesa dengan luwes dan natural. Pun juga chemistry yang dibangun cukup menyenangkan bersama Michelle. Sementara Michelle Ziudith sendiri mungkin masih stagnan dalam mengisi peran Alana, seperti peran-peran tipikal di film-film Screenplay sebelumnya. Namun sekali ini tergolong jauh dari kata ‘mengganggu’ (terima kasih atas penulisan karakter dan dialog-dialog Tisa TS dan Sukdev Singh yang sudah cukup drastis mengurangi kadar ke-cheesy-an biasanya). Beberapa momen paling emosional justru menjadi mengena berkat aktingnya (selain tentu saja dukungan musical score). Maxime Bouttier tampak tak punya kendala dalam menghidupkan peran Danu yang arogan dan sinis. Surya Saputra, Ibnu Jamil, dan Dimas Andrean ‘menyemarakkan’ film dengan porsi masing-masing. Terakhir, tentu pantang melewatkan special appearance dari Amanda Rawles yang selalu mempesona. Tetap mencuri perhatian meski porsinya tergolong sangat sedikit.
OFD membuat saya semakin yakin dengan tujuan pendewasaan Screenplay Films terhadap para fans setianya, yang merupakan usia remaja, secara perlahan tapi tetap terasa. Toh peningkatan yang perlahan tapi konstan lebih punya pengaruh daripada upaya terlalu keras untuk memaksa seseorang menjadi dewasa, bukan? Bagi penonton dewasa yang membenci film-film remaja khas produksi Screenplay Films mungkin masih belum akan dibuat berubah persepsi. Namun bagi penonton yang menjadi target audience-nya, OFD masih terasa konsisten dengan upaya-upaya penyegaran yang cukup berhasil. Jika Anda cukup open minded dan bisa mengabaikan logika di latar belakangnya, OFD masih menjadi sajian yang fun dan mengasyikkan. Setidaknya irama musik-musiknya masih mampu membuat Anda secara spontan bergoyang.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.