The Jose Flash Review
Blade Runner 2049

Di genre sci-fi, Blade Runner (BR - 1982) menjadi salah satu pionir yang punya pengaruh besar terhadap perkembangan genre tersebut hingga masa kini. Diadaptasi bebas dari novel karya Philip K. Dick (yang kerap dianggap sebagai Bapak Sci-Fi), Do Androids Dream of Electric Sheep?, BR kala itu menyuguhkan visualisasi distopia Los Angeles di tahun 2019 dengan berbagai pernak-pernik futuristik yang menginspirasi serial Battlestar Galactica dan Ghost in the Shell. Perlu 35 tahun kemudian sekuelnya, Blade Runner 2049 (BR2049), dirilis. Padahal pengembangan sebuah sekuel sudah didengungkan Ridley sejak 2007 dengan berbagai ide pengembangan yang terus berubah-ubah dan akhirnya mengalami pembatalan. Tahun 2011 Ridley akhirnya secara resmi mengumumkan produksi meski baru bisa dimulai tahun 2013. Ridley sendiri akhirnya mundur sebagai sutradara (konon kabarnya lebih mengutamakan men-direct Alien: Covenant) tapi tetap duduk sebagai salah satu produser. Denis Villeneuve yang kita kenal lewat The Prisoners, Sicario, dan terakhir, Arrival, ditunjuk untuk duduk di bangku sutradara dengan kembalinya Hampton Fancher yang menyusun naskah film pertama, dibantu Michael Green (Logan dan upcoming, Murder on the Orient Express versi 2017). 

Harrison Ford yang awalnya menolak ide sekuel BR akhirnya memutuskan ikut ambil bagian karena faktor naskah yang menurutnya salah satu terbaik yang pernah ia baca. Di jajaran cast baru didapuklah Ryan Gosling yang sudah menjadi pilihan tunggal sejak naskahnya disusun, Robin Wright, Ana de Armas, Sylvia Hoeks (baru saja kita lihat di Renegades), Dave Bautista, dan Jared Leto. Dirilis juga tiga film pendek; Blade Runner Black Out 2022, 2036: Nexus Dawn, dan 2048: Nowhere to Run untuk menjelaskan beberapa elemen cerita baru yang disinggung di BR2049. Berdurasi 164 menit, patut diingat sebelum memutuskan menonton bahwa seperti film pertamanya, BR2049 bukanlah film action sci-fi, tapi lebih ke philosophical investigative thriller drama dengan style noir yang cukup pekat. 
Seorang blade runner (petugas pemburu para replikan yang dianggap sudah waktunya ‘pensiun’) bernama K ditugaskan menginvestigasi gerakan kemerdekaan replikan yang berkembang pesat di sebuah peternakan. Investigasi ini mempertemukannya dengan Sapper Morton dan sosok mayat replikan wanita yang diduga tewas karena komplikasi saat menjalani operasi caesar. Padahal selama ini kehamilan pada replikan adalah hal yang mustahil. Sang atasan, Letnan Joshi, memutuskan untuk menghancurkan semua barang bukti karena dianggap bisa menyebabkan perang besar. 
Penasaran, K mencari tahu lebih dalam dengan mengunjungi markas Wallace, perusahaan produksi replikan. Mendengar kabar ini, Niander Wallace, pemilik Wallace, menyuruh asistennya, Luv, untuk memburu K dan anak yang diduga hasil reproduksi dari replikan. Niander percaya bahwa replikan yang bisa bereproduksi akan menjadi masa depan dunia. Sementara pencarian K justru membuatnya makin mempertanyakan eksistensi dan jati diri sesungguhnya, terlebih dengan adanya ingatan masa kecil yang selalu menghantui.
Meski tak secara langsung melanjutkan film pertama, ada banyak benang merah yang menghubungkan BR dan BR2049. Yang paling jelas terasa adalah bangunan universe, atmosfer yang serba muram tapi dihiasi warna-warni neon vibrant, serta pace pergerakan plot yang ‘santai’ jika tidak mau disebut super-lambat. Semua adegan yang dimunculkan dalam film sebenarnya penting dan tergolong padat. Hanya saja tidak bisa dipungkiri bahwa ‘energi’ tiap adegan kelewat santai dan durasi tiap adegan tidak perlu menampilkan sedetail itu. Ini semua agaknya merupakan upaya (atau lebih tepatnya, obsesi?) untuk menjaga konsistensi dari film pertamanya. Tak heran bagi penonton masa kini yang lebih nyaman mengikuti pengembangan plot yang dinamis dan enerjik, BR2049 terasa membosankan dan melelahkan. Bahkan tidak sedikit pula yang menganggapnya film terburuk yang pernah mereka tonton.
Namun jika Anda merasa masih bisa menikmati tipe film seperti ini, BR2049 sebenarnya menawarkan pengembangan tema serta isu dari film pertama dengan relevansi yang tak kalah menarik. Konflik pribadi karakter K tentang eksistensi dan identitas diri menjadi representasi pembaruan pola pikir manusia saat ini atas isu yang diangkat. Menyeimbangkan sekaligus menjawab isu yang didengungkan sejak film pertama, ia juga menghadirkan karakter Joi yang seolah memberikan konklusi  penting bahwa identitas sebagai manusia atau replikan tak lagi jadi masalah dengan semakin samarnya perbedaan antara keduanya. Sebuah filosofis tentang kemanusiaan dan replikan yang dikembangkan lewat plot investigatif yang secara konsisten bikin penasaran, lengkap dengan ‘tipuan-tipuan’ yang cukup mengasyikkan tanpa harus mengganggu konsistensi plot maupun logika. Selain itu, tentu saja desain produksi Dennis Gassner beserta tim art yang menghidupkan visualisasi universe-nya dengan begitu memukau dan bidikan camera work kolaborator Villeneuve sejak lama, Roger Deakins yang berhasil mengeksplorasinya secara maksimal. Editing Joe Walker pun sebenarnya berhasil membuat plotnya terasa mengalir di balik pace-nya yang memang super lambat. Musik Hans Zimmer yang bekerja sama dengan Benjamin Wallfisch semakin menghanyutkan pace lambat dengan sound-sound elektronik yang minimalis tapi cukup ‘menghipnotis’ sekaligus tetap terkesan megah di beberapa momen.
Mengisi dominasi porsi, Ryan Gosling berhasil menghidupkan berbagai emosi karakter K lewat gesture. Tak terlalu dramatis ataupun eksplisit tapi dapat terlihat, bahkan dirasakan, dengan sangat jelas. Keseimbangan antara sisi emosional dan kharisma action hero (kendati porsi aksinya tergolong sangat minim) pun mampu terjaga secara baik sepanjang durasi. Di lini berikutnya ada Ana de Armas yang tak hanya mempesona penonton lewat fisik dan aura seksi dalam mengisi karakter Joi, tapi juga menjadi kunci konklusi keseluruhan film secara meyakinkan. Begitu pula Sylvia Hoeks sebagai sosok femme fatale, Luv, yang memikat dengan sedikit benang merah kepada sosok villain di BR, Roy Batty (dibawakan oleh aktor yang juga berasal dari Belanda, Rutger Hauer). Jared Leto, seperti biasa, memberikan effort serta kharisma kemisteriusan penuh dalam menampilkan sosok Niander Wallace. Dengan mudahnya mencuri perhatian di balik porsi yang tergolong terbatas. Selebihnya, Robin Wright sebagai Letnan Joshi, Dave Bautista sebagai Sapper Morton, Mackenzie Davis sebagai Mariette, dan Hiam Abbass sebagai Freysa masing-masing punya momen tersendiri yang menjadikan penampilan mereka cukup memorable. Terakhir tentu saja penampilan Harrison Ford yang baru keluar di sekitar setengah jam terakhir tapi punya momentum penting di ending. Tetap powerful sebagai action hero sekaligus menyentuh di adegan-adegan emosional. 

BR2049 mungkin memang tipe film yang segmented. Namun jika Anda termasuk yang bisa menikmati dan memahaminya, ia adalah sekuel yang relevan meng-update isu dari film pertama dengan pola pikir manusia saat ini sekaligus memberikan konklusi yang memuaskan. Selain tentu saja bonus visualisasi yang mungkin tak lagi tergolong visioner, tapi secara konsisten melanjutkan film pertama dan masih sangat memanjakan mata. Ada sedikit hint akan pecah perang yang potensial mengubah pola style BR selama ini. Bisa jadi benar-benar direalisasikan ke depannya, tapi bisa juga hanya sekedar hint the worst thing that could have really happened tanpa berniat untuk benar-benar ditampilkan. Let’s see.
Lihat data film ini di IMDb.


The 90th Academy Awards Nominee for:

  • Best Achievement in Cinematography - Roger Deakins
  • Best Achievement in Visual Effects 
  • Best Achievement in Sound Editing
  • Best Achievement in Sound Mixing
  • Best Achievement in Production Design - Dennis Gassner & Alessandra Querzola
Diberdayakan oleh Blogger.