3.5/5
Asia
Drama
Father-and-Daughter
FFI 2017
Indonesia
Mother-and-son
Parenting
Pop-Corn Movie
Psychological
Romance
Socio-cultural
Teen
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Posesif
Nama Edwin sebagai sineas selama ini memang lebih populer di ranah indie, festival, maupun pemutaran-pemutaran alternatif, seperti lewat Babi Buta yang Ingin Terbang dan Kebun Binatang (Postcards from the Zoo). Tahun 2017 ini melalui PH yang diberi nama Palari Films, ia mencoba berkarya di ranah pemutaran teatrikal umum untuk pertama kalinya. Tak seperti biasanya yang penuh metafora yang berat dan segmented, tema yang dipilih justru kehidupan remaja SMA yang jelas punya audience terbesar. Tak tanggung-tanggung, Gina S. Noer (Ayat-Ayat Cinta, Perempuan Berkalung Sorban, Habibie & Ainun) digandeng untuk menyusun naskahnya. Di lini akting ada Adipati Dolken yang disandingkan dengan pendatang baru yang sebelumnya lebih dikenal sebagai salah satu host acara TV My Trip My Adventure, Putri Marino. Didukung Cut Mini, Yayu Unru, Gritte Agatha (The Underdogs), dan Chicco Kurniawan (Stip & Pensil). Tak mau sekedar kisah asmara remaja menye-menye, Posesif memilih isu abusive relationship untuk dibahas.
Lala yang selama ini dikenal sebagai siswa berprestasi sekaligus atlet loncat indah, dibuat jatuh hati sejak pertama kali bertemu dengan siswa baru, Yudhis. Segala jurus pendekatannya berhasil membuat mereka akhirnya menjalin hubungan serius. Yudhis pula yang mempengaruhi Lala untuk berani mengambil keputusan sesuai kata hatinya. Lala mengundurkan diri dari tim yang dilatih oleh sang ayah sendiri. Namun lama-kelamaan sikap Yudhis terhadap Lala semakin kelewat posesif. Lala mulai merasa terancam tapi masih enggan untuk mengambil keputusan tegas terhadap Yudhis. Hingga ketika Yudhis memaksanya untuk ikut kuliah di Bandung, Lala dihadapkan pada keputusan sulit; sang kekasih yang akhirnya ia sadari memerlukan dirinya untuk bisa lepas dari sikap posesif, atau sang ayah yang harus hidup sebatang kara jika ia jadi kuliah di Bandung.
Dengan reputasi yang sudah terlanjur kuat sebagai sineas berkualitas, wajar jika Edwin memasukkan sesuatu yang perlu dibahas serius. Abusive relationship yang memang menjadi isu sosial hangat saat ini adalah pilihan yang tepat. Arah yang dibawa Edwin dan naskah Gina pun tergolong tepat meski bukan sesuatu yang baru, dimana selalu ada api di balik setiap asap. Ada hubungan sebab-akibat yang disampaikan dengan rasional sekaligus thoughtful secara psikologis. Meski pembangunan thriller-nya masih bisa jauh lebih ‘menggigit’, setidaknya pengarahan Edwin terutama dalam membangun pasang-surut hubungan Yudhis-Lala tergarap dengan baik, natural, dan transisi yang mulus. Bahkan momen-momen kasmaran dihadirkan dengan begitu manis (lengkap dengan penggunaan soundtrack-soundtrack yang tepat guna, terutama Dan dari Sheila on 7, Sampai Jadi Debu dari Banda Neira, Teralih dari Matter Halo, yang cukup berhasil membentuk signatural). Masih ada style-style a la indie dan/atau arthouse, seperti keheningan dan flow lambat yang tersisa. Sedikit kurang mewakili energi anak SMA (kecuali kaum bitter geek yang menurut saya mustahil karakter Lala yang ceria, berprestasi, dan populer menjadi salah satunya), tapi masih tak terlalu jadi masalah bagi saya sepanjang masih mengalirkan plotnya dengan lancar dan tak sampai berlarut-larut. Pun pilihan simbol-simbol metafora yang digunakan, terutama penguin dan paus, tergolong relevan dan mudah dicerna.
Ada kalanya inkonsistensi karakter masih bisa ditolerir, apalagi untuk tema remaja (anak SMA) yang memang sewajarnya labil. Namun apa yang ditunjukkan karakter Lala inkonsistensi bukan hanya soal alasan ‘masih labil’, tapi sudah jauh dari desain karakter awal yang sebenarnya cukup kuat. Secara bertubi-tubi karakternya dibuat terus berubah pikiran secara cepat, bahkan sampai coming out of nowhere (Bali? Dapat ilham dadakan dari mana?). Terutama sekali terlihat jelas menjelang akhir ketika Lala akhirnya bertekad membantu Yudhis. Begitu Yudhis memilih meninggalkan Lala dengan maksud baik, ia justru putus asa pulang ke rumah dan langsung minta maaf kepada sang ayah. Selabil-labilnya remaja putri, bukankah sewajarnya butuh waktu menyendiri dulu barang beberapa hari? Baru kemudian buatlah momentum rekonsiliasi ayah-anak di saat suasana sudah mulai tenang dan sama-sama jernih. Bukankah impact-nya akan jauh lebih hangat dan bersahaja, bahkan untuk style arthouse sekalipun? Bahkan mungkin lebih positif lagi jika memang berniat mengambil langkah menyelamatkan Yudhis bersama.
Ketika saya sudah mulai memaklumi hal tersebut karena pilihan membantu Yudhis yang menurut saya upaya menggerakkan plot ke arah positif mengingat muatan social value-nya, saya kembali dibuat mengernyitkan dahi dengan pilihan adegan penutup yang pada akhirnya tidak memberikan impact apa-apa kepada saya selain kesal. Sedikit ekspresi wajah karakter Lala yang tegas dan jelas, apapun itu pilihannya, seharusnya bisa memberikan emotional impact yang lebih membekas tentang hubungan mereka. Membiarkan nasib karakter Yudhis tidak jelas setelah mengundang simpati dari penonton terhadap dirinya menurut saya justru terkesan terjadi kebingungan mau membawa karakternya ke mana. Jika memang ingin konsisten meletakkan Lala sebagai sudut pandang cerita utama, maka tak perlu memasukkan adegan yang bisa membuat penonton sedemikian bersimpatinya. Jika memang ingin sekedar menunjukkan penyebab di balik sikap Yudhis, kecenderungannya justru sekedar membuat penonton memaklumi tindakan kekerasan yang dilakukan Yudhis. Dengan kata lain, meromantisasi kekerasan, dan itu bukan sebuah image yang positif untuk sebuah film yang menggembar-gemborkan sebagai awareness terhadap isu tersebut. Entah alasan apa sebenarnya memutuskan memasukkan adegan penutup demikian. Jika sekedar idealisme sutradara yang sudah dikenal dengan treatment storytelling demikian juga bukanlah keputusan bijak, mengingat Posesif mengangkat isu sosial yang nyata dan ditujukan kepada penonton umum, berbeda sekali dengan film-film Edwin sebelumnya yang lebih bersifat metafora fantasi dimana tentu lebih bebas serta ditujukan kepada penonton yang lebih segmented.
Baik Putri Marino maupun Adipati Dolken sama-sama tampil baik. Terutama sekali Dolken yang membawakan perannya dengan natural dengan transisi-transisi yang terlihat jelas tapi berlangsung mulus. Namun jujur, belum sampai menjadi luar biasa atau exceptional. Bukan soal upaya mereka untuk tampil lebih maksimal, tapi memang belum ada pilihan adegan yang bisa mengeksplorasinya lebih lagi. Cut Mini justru lebih mencuri perhatian saya di balik porsinya yang tak banyak tapi sangat kuat. Saya jauh lebih merasa terancam oleh kehadiran karakter Mama Yudhis ketimbang Yudhis sendiri. Sementara Yayu Unru juga sekedar tampil baik sesuai porsi karakternya. Sama seperti Marino dan Dolken, belum punya kesempatan momen yang membuat karakternya terasa lebih membekas.
Salah satu daya tarik dari Posesif yang paling menonjol adalah sinematografi Batara Goempar yang tak hanya menghadirkan camera work yang efektif bercerita dan mengeksplorasi berbagai emosi adegan, tapi juga poetically beautiful lewat pilihan-pilihan shot-nya. Sayang keindahan sinematografi tidak diimbangi editing W. Ichwandiardono. Beberapa transisi adegan terasa kasar dan secara emosional cukup significantly jumping. Penggalan lagu pengiring memang masih terdengar nyaman meski seharusnya bisa disesuaikan dengan lebih mulus lagi lewat modifikasi materi asli. Musica lscore dari Mar Galo dan Dave Lumenta masih mampu memberikan lebih banyak feel emosi adegan meski belum sampai terdengar begitu signatural.
Sebagai sebuah karya perdana di ranah teatrikal umum dan upaya merengkuh range penonton yang lebih luas, Posesif masih tergolong sangat baik. Setidaknya ada niat baik untuk mengangkat isu abusive relationship yang merupakan realita sosial memprihatinkan dalam masyarakat meski masih jauh dari kata utuh jika benar-benar berniat concern terhadap isu tersebut. Mungkin faktor idealisme treatment dan style storytelling yang memang sulit untuk diubah sedrastis itu. Wajar jika masih ditemukan sejumlah inkonsistensi. Sama seperti remaja sebagaimana tema yang diangkatnya, masih labil, tapi bagaimanapun sekali lagi, upaya baik yang masih patut diapresiasi. Standar baru film remaja? Tunggu dulu. Remaja yang berusaha menjadi hipster, mungkin. But once again, apa daya masih labil.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.