The Jose Flash Review
Mereka yang Tak Terlihat

Kesuksesan film-film horor di tangga box office Indonesia tahun ini membuat jadwal bulan Oktober hingga akhir tahun 2017 ini didominasi oleh horor-horor dari berbagai PH. Skylar Pictures yang sebelumnya memproduksi Jinx, Surat Kecil untuk Tuhan (2011), Tebus, The Witness, dan Guardian, pun tak mau kalah. Kembali menunjuk salah satu sutradara/penulis naskah spesialis horor Indonesia, Billy Christian, setelah Rumah Malaikat yang diproduksi SAS Film (sister company Skylar Pictures), kali ini menghadirkan kemasan yang sedikit berbeda lewat Mereka yang Tak Terlihat (MyTT), yaitu memadukan horor dengan pendekatan lebih ke arah drama hubungan ibu-anak. Estelle Linden, bintang sinetron muda yang ternyata punya talenta lebih hingga pernah dipercaya menyutradarai dan memproduseri BFF (Best Friends Forever), juga film produksi SAS Film, pun dipercaya membantu penulisan naskah selain mengisi peran utama.

Sejak kepergian sang nenek, Saras mulai merasakan memiliki indera keenam untuk melihat makhluk halus yang tak terlihat oleh manusia biasa. Tingkah anehnya membuat sang ibu yang seorang single mom, Lidya menganggap dirinya hanya mencari perhatian saja. Saras pun merasa hubungannya dengan sang ibu semakin berjarak. Apalagi dianggap sempat membahayakan sang adik, Laras. Sementara Tante Rima, kakak Lidya yang seorang psikolog, memilih untuk lebih memahami apa yang sebenarnya terjadi pada Saras. Lama-kelamaan Saras mulai terbiasa dengan penampakan di mana-mana, bahkan membantu mereka menyelesaikan permasalahan yang masih belum selesai di dunia. Menginjak dewasa, kemampuan Saras semakin berkembang. Ia bisa merasakan sesuatu sebelum benar-benar terjadi. Kemampuan yang membuat Saras semakin berjarak dengan Lidya. Siapa sangka Lidya ternyata sebenarnya punya rahasia masa lalu tersendiri yang membuatnya menyikapi demikian terhadap kemampuan Saras.
Film dibuka dengan narasi Saras yang secara langsung memperkenalkan diri kepada penonton lewat metode menembus dinding keempat. Jujur, menurut saya ada ini adalah treatment yang kelewat generik, terkesan cari mudahnya saja, dan sudah ketinggalan jaman. Namun kemudian ternyata treatment ini punya tujuan tertentu yang menjadi konklusi di penghujung film. Meski tetap saja ada pilihan treatment lain yang lebih natural dalam melakukan introduksi, akhirnya saya pun memilih untuk tidak menjadikannya masalah yang berarti.
Mengangkat tema kaum indigo, MyTT ternyata dibawa lebih ke arah drama daripada horor. Memang ada, bahkan banyak sekali, penampakan dengan berbagai kondisi dan jenis, tapi sekedar diletakkan sebagai rutinitas sehingga kerapkali tak benar-benar terasa sebagai elemen horor. Bagi yang mengharapkan sebuah sajian horor, ini bisa jadi mengecewakan. Namun sebenarnya dalam konteks plotnya, apa yang disuguhkan sebenarnya sesuai dengan perkembangan kondisi karakter utama, Saras. Mulai dari mengganggu hingga pada akhirnya sudah terbiasa. Rutinitas sehari-hari. Bagi penonton, anggap saja terapi supaya tak terlalu takut-takut amat ketika nanti benar-benar ‘diganggu’ penampakan di kehidupan nyata.
Keputusan memasukkan bebera kasus sebagai sub-plot, seperti misalnya kasus Adit , Dinda, dan sahabatnya sendiri, membuatnya seolah terdiri dari episode-episode yang terpisah satu sama lain dan kebingungan memilih fokus dalam mengembangkan plot utama. Meski tergolong generik dan klise, tapi sebenarnya tak digarap secara buruk. Bahkan berkat performance dari Dayu Wijanto dan Frisly Balqis, ia menjadi salah satu momen yang emosional dan menyentuh.
Di balik beberapa kelemahan, terutama dari segi pemilihan fokus plot, MyTT ternyata punya kekuatan lebih dalam menggerakkan emosi penonton sebagai ganti dari ekspekatasi horornya. Selain Dayu dan Frisly yang sudah sempat saya sebutkan sebelumnya, MyTT masih punya performance-performance yang tak kalah heart-breakingnya dari Sophia Latjuba yang berperan sebagai Lidya, dan Estelle Linden sendiri sebagai Saras. Roweina Umboh menjadi pendukung yang cukup hangat meski tak punya cukup porsi untuk menjadikannya tampil lebih berkesan sebagai Tante Rima. Yova Gracia menjadi penyegar yang cukup mengimbangi nuansa drama seriusnya. Sementara special appearance Maria Oentoe jadi pencuri perhatian tersendiri terutama berkat suara khasnya dan kharisma yang ternyata cukup kuat.
Sinematografi Budi Utomo terlihat cukup mengeksplorasi camera work sesuai kebutuhan adegan. Memang ada beberapa kesempatan yang terlihat bergerak kurang rapi, tapi overall upayanya patut mendapatkan apresiasi. Editing Andhy Pulung dan Edo Dunggio menjaga pace-nya mengalir cukup lancar dan enak diikuti di balik konsep sub-plot yang terkesan terpisah-pisah. Tata rias efek dan efek visual terlihat realistis lewat berbagai jenis penampakan yang dimunculkan. Musik Thoersi Argeswara semakin memperlarut emosi penonton, baik di adegan-adegan thriller yang masih pada koridor dan dosis drama yang pas, maupun di momen-momen emosionalnya. Masih ditambah pemanfaatan lagu Bunda dari Melly Goeslaw yang kali ini dibawakan oleh Estelle Linden. Tak sampai banjir air mata, tapi lebih dari cukup untuk menggerakkan emosi penonton. Terakhir, sound design serta sound mixing yang terdengar maksimal memanfaatkan fasilitas surround juga layak mendapatkan apresiasi lebih.

Sebagai sajian perpaduan antara drama dan horor, MyTT memang lebih cenderung ke drama dengan porsi horor yang nyaris tak terasa. Tak masalah sebenarnya selama masih memberikan impact ketimbang memaksakan untuk punya porsi yang sama seperti yang dilakukan Indera Keenam (2016). Pemilihan sub-plot-sub-plot dan treatment keseluruhan mungkin juga terasa kurang pas. Namun dalam upaya menyampaikan value utamanya, yaitu tentang hubungan ibu dan putrinya, MyTT tergolong berhasil menggerakkan emosi, setidaknya bagi saya sendiri. In this case, MyTT layak dinobatkan sebagai produksi Skylar Films terbaik sampai saat ini (kita lihat nanti hasil akhir Valentine yang tampak menjanjikan). Pun juga salah satu film arahan Billy Christian terbaik sampai saat ini. Along with Tuyul Part 1 dan 7 Misi Rahasia Sophie.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.

Diberdayakan oleh Blogger.