Fenomena The Raid ternyata membawa gaung perubahan yang cukup besar untuk
perfilman Indonesia. Sejak kesuksesannya (dan juga sekuelnya, The Raid: Berandal), produser-produser
mulai melirik lagi genre action untuk film Indonesia setelah sempat cukup lama
dihindari. Padahal di tiap era film Indonesia, genre action selalu ada. Sebelum
The Raid, terakhir generasi Dede
Yusuf yang ‘berani’ unjuk gigi di layar bioskop. Satu per satu film action
Indonesia bermunculan. Bahkan seorang Gatot Brajamusti atau yang dikenal dengan
nama AA Gatot pernah tertarik memproduksi dan membintangi sendiri film action
fenomenal, Azrax. Tahun ini, Fajar Nugros sudah menggarap action komedi dengan
star-ensemble sebagai salah satu daya tariknya. Di penghujung tahun, MNC
Pictures yang sudah memproduksi 7/24,
Di Balik 98, dan 3 Dara, mencoba peruntungan di ranah action-comedy, yang konon
menjadi perpaduan formula pas untuk penonton Indonesia yang haus tontonan pure
entertainment. Tak mau tanggung-tanggung, Salman Aristo didapuk sebagai penulis
naskah, sementara bangku sutradara dipercayakan kepada Ody C. Harahap.
Menjadi seorang tukang ojek
rupanya tak cukup bagi Jamal yang punya mimpi besar jadi seorang entrepreneur.
Sayang tak banyak hal yang bisa dilakukannya dengan benar hingga semua orang,
termasuk sang ibu, menganggapnya hanya membawa sial. Pacarnya, Mirna, juga
sedang diujung tanduk karena dijodohkan dengan orang lain oleh orang tuanya.
Kondisi ini dibaca oleh Ivan yang akhirnya memanfaatkan Jamal untuk mengantar
seseorang bernama Dito ke Bos Tanah Tinggi. Dengan tawaran uang yang cukup
banyak, Jamal menyanggupi. Ternyata Dito juga menjadi buruan dari Mami Tuti,
germo yang mengirim gerombolan anak buah untuk menghabisi nyawanya. Jamal yang
tak berdaya akhirnya harus menuruti rencana Dito. Terkuaklah masa lalu dan
rencana Dito dengan Bos Tanah Tinggi sebelum akhirnya meletus perseteruan
antara Dito, Geng Bos Tanah Tinggi, dan Mami Tuti.
ak ada yang benar-benar istimewa
dari plot Skakmat. Mulai dari asmara
yang menjadi motivasi karakter utama terlibat ‘dunia hitam’, tema balas dendam,
prostitusi, dan perang geng. Semuanya diramu dengan kepiawaian Salman Aristo
dalam sebuah naskah yang cerdas, berbobot, namun tak melupakan unsur
hiburannya. Berbagai formula komedi, terutama chaotic comedy, diselipkan di
sana-sini, yang bagusnya, cerdas dan menyatu dengan sangat baik dalam cerita
maupun adegan-adegan laganya. Tak selalu mengundang tawa terbahak-bahak, namun
setidaknya berhasil membuat saya tersenyum dan mengakui kualitas
guyonan-guyonannya.
Analogi catur dalam cerita juga
menjadi elemen yang menarik. Meski kehadirannya secara ‘fisik’ dalam cerita
termasuk kurang nge-blend dan terkesan sekedar asal ada, namun nyatanya punya
relevansi yang sangat kuat dengan cerita secara keseluruhan. Saya pun memaklumi
penjelasan analogi ini dalam dialog meski sebenarnya tak perlu. Wajar,
mengingat target audience utama Skakmat
adalah penonton menengah ke bawah yang belum terlalu familiar dengan konsep
analogi. So let’s say, it tried to introduce this kind of concept to them.
Hitung-hitung, sekalian mengedukasi penonton.
Namun sebenarnya yang tak boleh
dilupakan oleh Skakmat sebagai sebuah
film action adalah energi yang cukup untuk membuatnya seru untuk
diikuti. Jangan salah, Skakmat punya
semua adegan pertarungan yang diidam-idamkan penonton. Termasuk four-way-fight
Donny Alamsyah-Cecep Arif Rahman-Hannah Al Rashid-Tanta Ginting yang
mengalahkan three-way-fight-nya Yayan Ruhiyan-Dian Sastrowardoyo-Kelly Tandiono
di Gangster. Adegan pertarungan-pertarungannya
pun ditata lebih natural ketimbang Gangster
yang terkesan staged. Namun somehow energi action Skakmat masih berada di bawah Gangster.
Entah faktor penyutradaraan, tata kamera, editing, atau tata suara efek. I just
feel it could have been fueled even more.
Tanta Ginting yang selama ini
lebih sering membawakan peran-peran serius, kali ini membuktikan bisa bagus
juga memainkan peran komedik bak aktor lenong. Dengan logat Betawi yang kental,
gesture heroine bodor, dan haircut norak, Tanta mendominasi hampir keseluruhan
atmosfer komedik Skakmat dengan
sangat baik. Donny Alamsyah pun membangun chemistry bodor yang tak kalah
gokilnya dengan Tanta. Kehadiran Cecep Arif Rahman dan Hannah Al Rashid
memeriahkan film dengan peran-peran yang meski tipikal mereka, masih berhasil
menarik perhatian.
Di teknis, sinematografi Padri
Nadeak menyumbangkan angle-angle yang berhasil merekam tiap adegan fight-nya
dengan cukup epic. Mulai one-on-one fight, keroyokan, sampai four-way-fight di
klimaks dan favorit saya, pertarungan di celah gang sempit, semuanya terekam
dengan sangat baik. Namun visual yang prima ternyata tidak diikuti tata suara.
Sebagai film action, tata suara Skakmat
masih terasa sangat kurang untuk menciptakan energi dan atmosfer keseruan.
Bukannya dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk membuat adegan-adegan fight-nya
terkesan lebih seru, fasilitas surround malah dimanfaatkan untuk gimmick yang
tidak begitu esensial. Scoring-nya pun masih terkesan dimasukkan dan diedit
dengan kurang halus, termasuk untuk theme song Jika dari Virzha yang sebenarnya punya lirik dan melodi yang cocok
untuk energi Skakmat secara
keseluruhan.
In the end, Skakmat menjadi sajian yang cukup berhasil menghibur, baik dengan
adegan-adegan action-nya maupun jokes-nya. Tak sampai menjadi film yang benar-benar
bakal memorable, namun come on… Terlihat sekali Skakmat hanya berniat sekedar untuk menghibur. Dengan naskah Salman
yang menjadikan plot generiknya jadi jauh lebih menarik dan jajaran cast yang
ada, Skakmat jelas lebih dari sekedar
layak untuk menjadi tontonan ringan yang menghibur.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.