3/5
Drama
Horror
Indonesia
Pop-Corn Movie
Psychological
Romance
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Kakak
Nama Ivander Tedjasukmana mungkin
masih tak begitu familiar di telinga penikmat film Indonesia. Padahal kiprahnya
di dunia film sudah dimulai sejak menjadi asisten Monty Tiwa di Pocong 3. Kemudian ia dipercaya untuk
menyutradarai XXL: Double Extra Large
dan akhirnya mendampingi Tiwa di film horor yang sempat fenomenal, Keramat. Sempat menulis naskah Romantini yang masih disutradarai Tiwa,
dan terakhir tahun 2014 lalu menyutradarai Kota
Tua Jakarta. Akhir tahun 2014 lalu Ivander juga menulis serta menyutradarai
sendiri sebuah film horor yang diberi judul Kakak
di bawah Firefly Cinema. Untuk penulisan naskahnya, Ivander dibantu oleh
Almarhum Kim Kematt (Noble Hearts:
Mentari di Ufuk Timur dan Bara di
Negeri Hujan) yang baru 1 November 2015 lalu meninggal dunia karena kanker.
Kakak menjadi kenang-kenangan
terakhir Kim, sekaligus menandai film terakhir Laudya Cynthia Bella sebelum
memutuskan untuk berhijab awal tahun 2015 ini.
Adi dan Kirana adalah pasangan
muda yang masih belum dikaruniai anak. Gara-gara mengidap asthma, Kirana harus
tiga kali keguguran. Khawatir dengan kondisi istrinya, Adi memutuskan untuk
membeli sebuah rumah untuk tinggal sendiri, terpisah dari sang Ibu, Aida. Meski
awalnya tidak terlalu memberikan pengaruh terhadap Kirana, perlahan Kirana menjadi
lebih ceria dan rumah tangga Adi-Kirana pun perlahan kembali menghangat. Usut
punya usut ternyata keceriaan Kirana berasal dari sesosok makhluk halus yang
dipanggil dengan sebutan ‘kakak’. Meski sempat khawatir, setelah melihat
istrinya berubah menjadi lebih baik, Adi memilih untuk membiarkan Kirana dan
Kakak berhubungan. Sampai saat Kirana hamil lagi dan Kakak mulai menunjukkan
gelagat tidak baik, Adi meminta Kirana untuk memilih: anak yang ada di dalam
kandungannya atau Kakak.
Melihat dari ceritanya, Kakak jelas menggunakan pendekatan drama
untuk diramu dengan bumbu horor-nya, terutama drama rumah tangga. Tak ada
masalah sebenarnya, mengingat drama seperti ini bisa menjadi drive cerita yang
menarik dan bagus. Sebagai adegan pembuka, sebuah kilasan kejadian masa lalu
yang menceritakan sedikit asal mula karakter Kakak, terasa terlalu berlebihan.
Satu kejadian yang melibatkan 5 orang yang saling menyalahkan lalu kemudian
sama-sama menyalahkan diri sendiri dan penuh tangis. Penuh dialog-dialog cheesy
dan drama banget. Dari sini sebenarnya sudah jelas bahwa latar belakang
karakter Kakak bukan menjadi hal yang dipasang untuk membuat penonton penasaran
hingga akhir film.
Kemudian ketika masuk ke cerita
tentang Adi dan Kirana, barulah sedikit demi sedikit teror dimasukkan sambil
membangun hubungan antara keduanya. Pada titik ini sebenarnya cerita tak
bergerak terlalu banyak, namun satu per satu adegan teror (yang sebenarnya juga
lebih ke komedi ketimbang horor) cukup membuat penonton terhibur. Masih
menggunakan formula jumpscare untuk tetap mengesankan horor, namun secara
psikologis masih jauh dari kesan horor. Menurut saya, ini karena sosok Kakak
digambarkan tidak mengancam meski beberapa kali melakukan penampakan ala
Sadako. Barulah ketika Kakak ‘unjuk gigi’ menyerang beberapa karakter, sedikit
rasa khawatir muncul pada benak penonton. Itu pun juga tak terasa begitu
maksimal karena atmosfernya yang memang kurang mendukung suasana seram. Namun
kelemahan terbesar Kakak terletak
pada sosok makhluk halus yang tidak cukup ‘hidup’ untuk bisa dikenal dan
dirasakan penonton, selain sekedar efek-efek teknis seperti pergerakan benda
secara ajaib.
Penampilan Laudya Cynthia Bella
menjadi highlight yang paling menonjol dari Kakak.
Tak hanya karena porsinya yang mendominasi, namun juga karakter Kirana, seorang
istri yang stress karena kerap keguguran, berhasil dihidupkan dengan sangat
baik oleh Bella. Kalau mau mengamati karir akting Bella, bisa dibilang ini
adalah salah satu atau malah penampilan terbaiknya. Rollercoaster emosinya,
mulai stress, ceria, bahagia, gundah, dan takut, terasa begitu natural namun
tetap terasa maksimal. Surya Saputra sebagai sang suami tak buruk namun memang
tak ada yang istimewa juga. Beberapa kali justru terasa sangat Surya Saputra
sehari-hari yang kita kenal, sehingga terkesan tampil lepas. Untungnya
chemistry yang dibangunnya bersama Bella termasuk convincing. Highlight
berikutnya adalah pemeran Kakak, Yafi Tesa Zahara, yang aktingnya tak terlalu
banyak terlihat maupun terasa gara-gara riasan dan pose hantu yang harus
menyertainya sepanjang durasi.
Tidak ada yang istimewa dengan
sinematografi, selain lebih dari cukup untuk menyampaikan ceritanya. Begitu
juga editing yang tergolong pas, terutama dalam menghadirkan momen-momen
horornya. Sayangnya desain produksi yang lebih pas untuk genre drama di sini
masih terasa sangat kurang untuk mendukung nuansa-nuansa creepy maupun eerie.
Saya membayangkan ada cukup banyak adegan horor yang seharusnya bisa lebih
maksimal jika didukung desain produksi yang lebih bold. Untuk tata suara dan
scoring memang tak ada yang istimewa dan kadang terdengar terlalu gaduh
(terutama untuk adegan-adegan jumpscare-nya), namun atas nama memberikan nuansa
horor, masih sah lah.
Pada akhirnya, Kakak menjadi horor yang terasa tanggung,
namun menjadi sedikit lebih menarik berkat dukungan cerita yang digarap dan
dikembangkan dengan cukup layak. Kalau kangen dengan film horor Indonesia yang
digarap baik dan ingin melihat Bella tanpa hijab untuk terakhir kalinya, Kakak bisa jadi pilihan tontonan.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.