3.5/5
3D
Action
Adventure
Blockbuster
Box Office
dystopian
Fantasy
Franchise
Hollywood
IMAX
Politic
Romance
SciFi
Socio-cultural
The Jose Flash Review
Thriller
Young Adult
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Hunger Games: Mockingjay Part 2
Setiap franchise besar
(setidaknya dari segi komersial) selalu punya akhir yang sejatinya memuaskan
semua fans setianya. Tak heran jika ada part terakhir dari franchise besar yang
sengaja dibagi dua bagian. Idealnya, supaya tiap detail yang ada di source aslinya
(dalam banyak kasus, novel) tak terlewatkan dalam versi film. Tentu ini
semata-mata tak lepas dari tujuan ingin memuaskan para fanatik yang lebih
mengutamakan kepersisan dengan materi asli. Alasan tambahan yang tak kalah
penting, terutama dari segi produser, pemasukan yang berlipat. Harry Potter sudah membuktikan formula
ini berhasil, karena memang menjalankan kedua fungsi tersebut secara simultan. Twilight Saga juga mengekor formula ini
dengan cukup berhasil pula (terutama dari segi komersial) meski tak bisa bohong
bahwa Breaking Dawn part 1 terasa
tidak berisi, yang untungnya tertolong dengan part 2 yang menghadirkan
visualisasi pertarungan akhir yang seru meski tidak nyata. Sekali lagi studio
Lionsgate tidak mau melepaskan salah satu franchise pendulang emas terbesarnya,
The Hunger Games, berakhir begitu
saja. Tak hanya membagi seri terakhir, Mockingjay
menjadi dua bagian, Lionsgate pun berencana untuk membuat whether prekuel atau
sekuel dari part terakhir ini. Well, selagi bisa diperah, kenapa tidak bukan?
Apalagi studio independent yang tak sering-sering bisa menghasilkan keuntungan
besar.
The Hunger Games: Mockingjay Part 1 (THGM1) terasa tidak begitu
banyak pergerakan cerita selain memperkenalkan President Alma Coin dari
District 13 yang memimpin gerakan pemberontakan terhadap President Snow dan
pemerintahan Panem, serta pembuatan video propaganda dengan Katniss Everdeen
sebagai simbol perlawanan, maka di part 2 inilah puncak perlawanan pecah dan
mengakhiri segalanya. President Alma berhasil mengumpulkan pasukan dari
berbagai distrik dan siap melancarkan serangan ke Capitol dan melengserkan
President Snow. Bukan perkara mudah karena President Snow sudah mengantisipasi
dengan menyebarkan pod jebakan di seluruh penjuru Capitol menuju ke istana President
Snow. Belum lagi mereka harus berhadapan dengan para mutt, makhluk mutan
ciptaan President Snow. Tak hanya perang yang membuat Katniss harus membuat
keputusan-keputusan penting, tapi juga antara kekasihnya sejak lama, Gale, atau
pasangan settingan selama di Hunger Games, Peeta, yang menunjukkan kasih sayang
lebih selama ini.
Adalah hal biasa jika satu seri
dipecah menjadi 2 bagian, maka awal dari bagian ke-2 menjadi jembatan yang
mengingatkan penonton dengan apa yang terjadi di part 1. Begitu juga dengan
THGM2 yang 20 menit awalnya berusaha me-refresh ingatan penonton, terutama
tentang hubungan antara Katniss dan Peeta yang tak jelas. Karakter Katniss yang
menjadi sentral pun diberi pilihan dilematis yang akhirnya membawa kita ke
momen-momen seru dan menegangkan, yaitu ketika pasukan pemberontak mulai masuk
ke Capitol. Mulai menghindarkan diri dari jebakan pod yang breathtaking,
kejar-kejaran dengan genangan minyak, sampai serangan mutt. Sedikit
mengingatkan saya akan The Maze Runner:
Scorch Trials belum lama ini, namun dengan visualisasi dan rangkaian adegan
yang jauh lebih seru dan menghibur.
Sayangnya rangkaian adegan seru
tersebut adalah all that you can get from this installment. THGM2 memilih
visualisasi yang lebih “adem ayem” untuk menutup keseluruhan ceritanya.
Sebenarnya tak ada yang salah, mengingat secara keseluruhan di balik
adegan-adegan laga, THG punya plot politik dan sosial yang kental. Maka sebuah
ending yang membuat saya bergumam “ya begitulah politik” ketika menghadirkan
twist-nya. It’s a good conclusion dimana Katniss dibuat punya pilihan keputusan
sendiri yang menurutnya bisa membawa masa depan lebih baik untuk Panem
ketimbang kemungkinan bakal jatuh ke lubang yang lain lagi yang mungkin malah
lebih dalam dan lebih gelap. Who knows. Namun yang patut disayangkan adalah,
after all of what happened all this time, sebuah klimaks yang visualisasinya
‘begitu saja’ jelas membuatnya terasa semacam antiklimaks. Not bad, even very
realistic, but can’t lie that it’s such an anticlimax feel. Tak lupa THGM2 juga menutup dengan
konklusi dari sudut pandang personal Katniss sendiri, yang mungkin tidak
dipedulikan oleh sebagian penonton, namun sebenarnya sebuah konsistensi dari
sudut pandang penceritaan dan perkembangan karakter Katniss selama ini.
Setelah semua yang dialami oleh
Katniss dan kebingungan di THGM1, Jennifer Lawrence diberi cukup banyak
kesempatan di sini untuk menunjukkan tiap detail emosi dan dilematis yang
dialami karakternya. Dengan kualitasnya selama ini, Lawrence jelas memberikan
performa yang terbaik di sini. Sementara aktor-aktris pengisi karakter-karakter
lain masih tampil stabil dari sebelum-sebelumnya, mulai Josh Hutcherson sebagai
Peeta, Woody Harrelson sebagai Haymitch, Donald Sutherland sebagai President
Snow, Julianne Moore sebagai President Alma, Sam Claflin sebagai Finnick Odair,
sampai Liam Hemsworth yang tetap saja gagal mencuri simpati penonton untuk
bersanding bersama Katniss gara-gara performanya yang masih saja datar.
Terakhir, tentu saja performa
terakhir dari Alm. Philip Seymour Hoffman menjadi fokus tersendiri. I know
we’re gonna miss his performance after this.
Dari jajaran teknis, saya
mencatat desain produksi Philip Messina yang luar biasa, mulai dari tiap sudut
Capitol yang meski terkesan hancur namun masih tetap terlihat nuansa
sophisticated dan stylish-nya, sampai butik milik Tigres yang mengingatkan kita
akan betapa fashionable-nya franchise ini di installment-installment awal.
Impressive! Adegan-adegan menegangkannya didukung oleh visual effect dan
sinematografi Jo Willems yang berhasil memframing tiap adegan sesuai kebutuhan. Tiap adegan terasa begitu megah apalagi di layar IMAX, meski tanpa efek 3D yang terasa begitu signifikan, baik dalam bentuk depth apalagi gimmick pop-out. Sementara scoring dari James Newton Howard mencapai titik emosi puncaknya di
sini.
Setelah menyaksikan THGM part 1
dan part 2, sebenarnya sangat terasa bahwa pemecahan seri terakhir menjadi 2
bagian ini sangat mubazir. Part 1 jadi terasa hanya sekedar intro dari sebuah
kejadian-kejadian massive, sementara part 2 seperti kehabisan
excitement-nya meski sudah
didukung dengan momen-momen aksi yang breathtaking. Apalagi dengan klimaks yang
terkesan antiklimaks seperti ini, part 2 terasa sedikit lebih baik daripada
part 1. Sebagai sajian yang punya momen-momen seru dan konklusi yang secara
konsep bagus, saya masih bisa menikmati THGM2, namun saya juga tak bisa bohong
bahwa energi THGM2 tak sekuat The Hunger
Games atau The Hunger Games: Catching
Fire. Tentu saja bagi yang sudah mengikuti franchise ini sejak awal atau
bahkan menjadi fans beratnya, THGM2 sayang untuk dilewatkan.
Lihat data film ini di IMDb.