3.5/5
Horror
Indonesia
Investigation
Mystery
Pop-Corn Movie
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Badoet
Penonton film Indonesia mungkin
mengenal nama Daniel Topan sebagai aktor pendukung di film-film horor seperti Danau Hitam dan Oo Nina Bobo, atau dengan porsi yang sedikit lebih besar di Street Society. Namun ternyata Daniel
punya background pendidikan yang membuatnya layak pula duduk di belakang layar,
Daniel mengantongi gelar master degree in film making di New York Film
Academy. Maka Daniel mencoba
peruntungan memproduseri film sendiri di bawah payung DT Films. Kiprahnya
dimulai dengan sebuah film horor yang trailernya sempat menarik perhatian
pecinta horor di seluruh dunia, Badoet.
Daniel menggandeng sutradara yang gemar mencoba berbagai genre namun dengan
kualitas dan style signatural, Awi Suryadi, yang pernah mengarahkannya di Street Society.
Badoet mengambil setting di sebuah rumah susun pinggiran kota
Jakarta. Kehidupan bertetangga yang harmonis terusik ketika sekelompok
anak-anak tak sengaja bermain petak umpet di sebuah pasar malam yang masih
belum buka. Vino, salah satu dari anak-anak itu, membawa pulang sebuah kotak
musik dari salah satu stand di pasar malam. Siapa sangka kotak musik yang ia
tunjukkan ke teman-temannya ini membawa bencana. Satu per satu temannya tewas
secara misterius. Teror ini membuat Donald, seorang mahasiswa yang juga sering menjadi
teman main Vino, penasaran. Bersama Farel, sepupu Donald, dan Kayla, mereka
mencoba mengungkap apa yang menjadi penyebab kasus-kasus kematian misterius
itu. Petunjuknya, kesemua anak yang meninggal meninggalkan gambar-gambar sosok
badut. Ketika ketiganya hampir menjadi korban, muncul Nikki, cewek indigo yang
sebelumnya sempat twit-war dengan Donald di twitter. Feeling Nikki yang tidak
enak berujung pada revealing siapa sosok badut yang misterius ini.
Sosok badut di film horor
sebenarnya masih tergolong sangat jarang. Namun karena pernah tampil dengan
sangat menyeramkan hingga menjadi sosok iconic di It (1990). Kemudian Eli Roth tahun 2014 juga pernah mencoba
memproduseri Clown yang juga
menampilkan sosok badut di film
horor. Dengan referensi yang tak terlalu banyak, maka tak heran jika banyak
yang teringat dengan film-film tersebut sejak Badoet diperkenalkan, bahkan tak sedikit yang menuduhnya menjiplak.
Wajar, mengingat banyak orang Indonesia (yang belum tentu merupakan penonton
film Indonesia juga) yang selalu sinis dengan film Indonesia dan hanya jago
menuduh plagiat padahal hanya berbekal referensi yang minim. Jika mau melihat
lebih dalam, Badoet punya cerita yang
jauh berbeda. Ada pula yang mengatakan The
Conjuring dan Sinister sebagai
referensi, itu juga wajar. Jika Anda pernah berada di project film-making tentu
Anda tahu betul bahwa ketika pitching naskah pun, Anda akan diminta untuk
menyebutkan beberapa judul sebagai gambaran bakal seperti apa look dan feel
filmnya nanti. So, it’s really not about originality at all. Lagian, what’s
really really original nowadays? Semua judul yang disebutkan juga punya
referensi mirip dengan plot film lain sebelumnya. So let’s not make these as
issues, apalagi tanpa modal referensi dan informasi yang cukup.
Back to Badoet. Dari trailernya tak sedikit yang mengira ini adalah sebuah
thriller pembunuhan. Tak sepenuhnya salah, namun sebenarnya Badoet adalah pure horror dengan latar
belakang mistik (baca: Badoet
menghadirkan sosok makhluk halus, bukan manusia pembunuh). Namun jangan keburu
skeptis dulu. Kendati menghadirkan makhluk halus dan masih menyisakan beberapa
jumpscare yang menjadi ‘hiburan utama’ bagi kebanyakan penonton horor kita,
namun ia tak mau terjebak menjadi horor murahan yang hanya bermodalkan jumpscare. Ia justru memanfaatkan
teror kematian yang bikin deg-degan di paruh pertama film. If you remember how
it felt when watching Final Destination,
yang mana justru teror kematian itu sendiri yang paling menyeramkan, di situlah
Badoet banyak bermain. Didukung
dengan atmosfer rumah susun dan pasar malam, sinematografi, editing, serta tata
musik yang semakin meneror penonton, Badoet
dengan sangat sukses menghantui penonton secara psikologis. Bahkan bagi saya
yang sebenarnya tergolong ‘tahan banting’ ketika menonton film horor, Badoet berhasil membuat saya merinding
tidak karuan, sampai-sampai membuat mata saya sedikit berair. Ini sangat jarang
terjadi ketika saya menonton film horor. Maka itu artinya Badoet berhasil, dan harus saya akui, ia punya momen-momen paling
seram dari semua film horor yang pernah saya tonton, termasuk film-film
Hollywood.
Namun bukan berarti Badoet tanpa celah. Tidak, saya tidak
akan mengeluh tentang dialog yang memang dibuat se-simple mungkin agar bisa
dipahami dan dinikmati seluas-luasnya range penonton. Tapi yang tak bisa
dipungkiri adalah setelah membangun misteri dengan sangat kuat, ia seolah
kebingungan bagaimana menyajikan penjelasan dan penyelesaiannya. Meski
divisualisasikan dengan gore yang masih menarik, revealing moment-nya terkesan
‘gampangan’. Begitu juga dengan penyelesaian yang semakin kehilangan
excitement. Untung saja ketika klimaks penyelesaiannya, ada dua adegan yang
dibuat intercut, sehingga intensitasnya meski terkesan sedikit menurun, namun tak sampai terjerumus ke
jurang enerji terendah. Setidaknya, penonton masih bisa dibuat berdebar-debar
dan gregetan. Bahkan saya berpikir, intercut ini sengaja dimasukkan karena
menyadari satu adegan resolve maka akan membuat tensinya menurun secara
drastis. A good move. Apalagi segera setelah itu, tensi dan nuansa ngeri
diangkat lagi di bagian akhir yang sukses membungkus Badoet menjadi tontonan horor yang paling berkesan tahun ini,
bahkan in years in term of film Indonesia.
Di jajaran karakter utamanya,
sebenarnya tak ada yang benar-benar tampil menonjol (dan tak terlalu perlu juga
sebenarnya). Namun setidaknya penampilan kesemuanya tak mengganggu tujuan
utama, yaitu menciptakan nuansa horor sengeri dan seseram mungkin. Daniel Topan
sendiri masih tak jauh-jauh dari peran tipikalnya, meski kali ini dengan peran
utama yang tentu punya porsi jauh lebih banyak. Begitu juga dengan Christopher
Nelwan yang tahun lalu kita lihat di Marmut
Merah Jambu dan Aurellie Moeremans yang
barusan kita lihat di Tarot dan
duologi LDR. Yang tampil paling menarik perhatian
justru Tiara Westlake sebagai Nikki yang tampil jauh berbeda dibanding
peran-perananya di sinetron dan FTV sebelumnya. Ronny P. Tjandra yang kali ini
ditunjuk sebagai sosok Sang Badut pun memberikan aura yang mengerikan. Tanpa
membaca namanya di credit mungkin saya tak akan menyangkan jika dirinya yang
berada di balik make up itu. Terakhir, penampilan Ratu Felisha sebagai ibu
Vino, dan Fernandito Raditya sebagai Vino sendiri, juga patut mendapatkan pujian, terutama di
adegan klimaks.
Di teknis hampir semuanya
berhasil ‘menyumbangkan’ nyawa yang diperlukan pun juga maksimal untuk Badoet. Mulai sinematografi Jimmy Indra
yang cukup banyak bermain variasi angle untuk menghadirkan atmosfer horor,
desain produksi Ikent Gimbal, terutama untuk setting pasar malam dan kamar si
badut, dan make up Aktris Handradjasa yang dengan brilian menghadirkan sosok
badut menjadi begitu signatural. Terakhir, tata suara dari Khikmawan Santosa
dan musik Ricky Lionardi, semakin menghiasi atmosfer horornya menjadi lebih
maksimal, termasuk dalam memanfaatkan fasilitas surround dengan maksimal.
So yes, meski belum sempurna
sebagai satu sajian utuh yang bagus, setidaknya Badoet sudah sangat berhasil dalam menghadirkan horor yang
menghadirkan atmosfer kengerian sengeri-ngerinya. OTeror yang dihadirkan
benar-benar terasa dan dibangun dengan sangat baik. Konsep cerita pun disusun
dengan sangat baik tanpa harus dibuat ribet dan kompleks, masih pas dengan penggemar horor Indonesia. Dialog yang terkesan lebih banyak bercanda juga membuatnya terkesan ringan dan menyenangkan untuk ditonton seru-seruan rame-rame. Come on… jujur, tujuan
utama Anda nonton horor untuk ‘merasakan’, bukan untuk berpikir keras, bukan? If
you think so, yes, Badoet is a horror
you really shouldn’t miss in theatres! Jika Anda menyukainya dan want even more,
open ending-nya memberikan kesempatan untuk itu. So make it 100.000 audiences
minimal, and prepare for more Badoet
to come. If you think the verdict I've given is quite weird, saya memang sengaja membuat verdict sedikit lebih tinggi dari 3.5/5. Menurut saya Badoet layak mendapatkan lebih dari 3.5/5 tapi masih belum sempurna untuk mencapai 4/5. So, 3.75/5 mungkin adalah verdict yang paling pas.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.