3.5/5
Adventure
Animation
Arthouse
Based on Book
Drama
Europe
Fable
Family
Fantasy
French
Kid
mature relationship
Psychological
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Little Prince (Le Petit Prince)
Di Indonesia mungkin tak banyak
yang akrab dengan dongeng dari novella The
Little Prince (TLP) atau judul aslinya Le
Petit Prince karya Antoine de Saint-Exupéry yang pertama kali
dipublikasikan tahun 1943. Meski bercerita tentang seorang pangeran cilik dan
punya gaya ilustrasi yang kanak-kanak, TLP sebenarnya sebuah alegori
orang-orang dewasa dari sudut pandang anak-anak. Tentu materi seperti ini susah
untuk dinikmati, apalagi dipahami, oleh anak-anak. Namun statusnya yang
tergolong klasik, terutama di negara asalnya, Perancis, maka keputusan untuk
mengadaptasinya menjadi sebuah film animasi bisa jadi tergolong mudah. Yang
jadi masalah, bagaimana caranya mempenetrasi pasar umum seluas-luasnya dengan
materi cerita yang masih tergolong segmented, begitu juga dengan gaya
penceritaan ala sinema Perancis yang pada satu titik juga belum bisa dipahami
dan dinikmati secara luas. Maka PR Irena Brignull dan Bob Persichetti sebagai
penulis naskah, serta Mark Osborne sebagai sutradara, tidaklah mudah, meskipun
masing-masing punya track record yang cukup di animasi. Brignull lewat Boxtrolls yang masuk bursa Oscar tahun
lalu, Persichetti di berbagai film animasi Disney dan DreamWorks sejak jaman The Hunchback of Notre Dame, Hercules, Mulan, Tarzan, hingga Shrek 2, Monsters vs Aliens, dan Puss
in Boots. Sementara Mark Osborne pernah ditunjuk sebagai sutradara bersama
John Stevenson untuk mega box-office DreamWorks, Kung Fu Panda. Maka TLP terasa seperti berada pada tangan yang
tepat.
Seorang single mom memutuskan
untuk memperlakukan putri tunggalnya dengan disiplin keras. Tiap menit dari
hidupnya sudah terjadwal dan terencana secara rapi hingga bertahun-tahun ke
depan. Apalagi dalam waktu dekat bakal ada tes masuk ke sekolah bergengsi,
Werth Academie. Si putri tunggal menurut saja kepada sang ibu. Namun ketika
bertemu tetangga baru mereka yang ternyata seorang kakek nyentrik, Si Putri
Cilik mulai berubah. Si Kakek menceritakan pengalamannya bersama Pangeran Cilik
ketika mereka bertemu di Gurun Sahara. Cerita Si Kakek menginspirasi Si Putri
Cilik untuk menemukan kebahagiaannya sendiri dan melanggar jadwal-jadwal ketat
Sang Ibu. Hingga pada satu titik, ketika Si Kakek jatuh sakit, Si Putri Cilik
bersikeras untuk menemukan Si Pangeran Cilik.
Tak sepenuhnya mengadaptasi
mentah-mentah dari versi novella, TLP memilih untuk menyandingkannya dengan
kisah Si Putri Cilik dan Sang Ibu sebagai perbandingan sosial di dunia modern.
Memang keduanya sejalan dan saling terkoneksi, bahkan mungkin dengan harapan penonton
bisa lebih mudah memahami esensi cerita TLP. Namun bukan berarti penceritaan
seperti ini membuatnya jadi lebih mudah untuk dicerna. Di babak pertama ketika
cerita Si Putri Cilik dan Si Pangeran Cilik berjalan beriringan secara
bergantian, penonton biasa mungkin akan dibuat bingung untuk mengikuti keduanya
sekaligus. Namun jika mampu memahaminya, seharusnya kedua cerita ini bisa
terkoneksi dengan baik, meski lewat pace cerita yang tergolong lebih lambat
ketimbang pace film animasi Hollywood yang serba dinamis. Biasa, ala-ala film
Perancis.
Ketika memasuki babak berikutnya,
yaitu setelah 1 jam pertama, penonton dibawa ke cerita Si Putri Cilik
bertualang mencari Si Pangeran Cilik yang sebenarnya. Di titik ini, fantasi dan
kenyataan yang diceritakan terpisah di awal, mulai membaur menjadi satu. Sayangnya, pembauran ini terasa aneh
karena batas yang semakin blur antara fantasi dan kenyataan. Too fantastic to
be true sekaligus too realistic to be just a fantasy. Penonton yang di paruh
pertama sudah bingung, bakal dibuat semakin bingung di titik ini. Sementara
penonton yang tadinya sudah paham dengan alegori cerita, tidak menemukan banyak
hal yang membuat penasaran apa yang akan terjadi selanjutnya, karena memang
tidak jelas apa yang ingin dituju atau dimau Si Putri Cilik. Satu pertanyaan yang
mungkin bakal terjawab di akhir, apa yang dicari Si Putri Cilik, konklusi apa
yang ingin disampaikan oleh pertemuan karakter-karakter ini. Well, meski secara
cerita mungkin akan membingungkan, setidaknya TLP cukup konsisten dan bold
dalam menghadirkan emosi-emosi dari beberapa adegan-adegan pentingnya. Tak
perlu memahami secara keseluruhan untuk bisa merasakan emosi-emosi dari
kejadian kecil yang sifatnya universal. Soal esensi, penonton mungkin bisa
merefleksikan dan menemukannya kelak, termasuk bagi anak-anak yang masih jauh
untuk bisa memahami ceritanya.
Meski tergolong produksi
Perancis, nyatanya versi asli TLP justru yang berbahasa Inggris, baru di-dub
versi Bahasa Perancis. Segudang aktor-aktris berkelas digandeng untuk
menghidupkan ceritanya. Meski tak ada yang benar-benar terasa outstanding dan
remarkable, namun kesemuanya sudah termasuk mampu menghidupkan karakter
masing-masing dengan maksimal. Mulai Jeff Bridges sebagai Si Kakek, Rachel
McAdams sebagai Sang Ibu, James Franco sebagai Si Rubah, Marion Cotillard
sebagai Sang Mawar, Benicio del Toro sebagai Sang Ular, dan Paul Rudd sebagai
Mr. Prince. Namun yang paling utama adalah Mackenzie Foy, pengisi suara
karakter utama, Si Putri Cilik, yang sebelumnya kita kenal sebagai Renesmee
Cullen, Cindy di The Conjuring, dan Murphy
ketika berusia 10 tahun di Interstellar.
Ini pun bukan pengalaman pertamanya mengisi suara untuk film animasi, setelah
sebelumnya terlibat di versi Bahasa Inggris dari produksi animasi Perancis yang
masuk bursa Oscar tahun 2013 lalu, Ernest
& Celestine.
Tak ada yang terlalu istimewa di
teknis, termasuk animasi yang tidak menampilkan sesuatu yang baru. Beberapa set
terlihat begitu indah, termasuk penceritaan kisah asli Si Pangeran Kecil yang
menggunakan teknik ala stop-motion. Kekuatan terbesar justru ada di score yang
digarap oleh komposer sebesar Hans Zimmer. Dibantu Richard Harvey dan artis
Perancis, Camille, score TLP terasa semegah film-film Hollywood dengan bumbu
traditional French folk yang signatural dan cozy. Meski tak selalu dihadirkan
mengiringi tiap adegan (yang justru lebih banyak mengandalkan silent moment),
namun score Zimmer jelas terasa yang paling kuat sepanjang durasi, termasuk
dalam menggiring emosi penonton menjadi lebih dalam. Sementara tata suara tak
menemui kendala berarti, tapi juga tak ada yang terlalu istimewa pula. Efek
surround hanya beberapa kali dimanfaatkan pada detail-detail minor yang mungkin
terlewatkan oleh penonton umum. But overall, still no complaint at all.
TLP memang masih berusaha
menyampaikan esensi-esensi novella aslinya, seperti sindiran-sindiran terhadap
sifat orang dewasa lewat kacamata anak-anak. Yang mana banyak orang dewasa lupa
bagaimana cara melihat keindahan ketika terlalu dibuat sibuk mencari uang dan
menjadi seperti robot. Juga pengingat tentang persahabatan, relationship, dan
kehilangan dengan analogi yang sederhana. Bagi penonton dewasa yang pernah
merasakan kesemuanya, mungkin TLP bisa menjadi pengingat dengan pola pikir
anak-anak yang justru lebih murni. Tak heran jika penonton dewasa bisa sampai
berkaca-kaca ketika menonton film ini. It’s all about self-related with each
audience. So, terlepas dengan apa kata orang, tak ada salahnya Anda mencoba
menontonnya sendiri. Siapa tahu Anda termasuk yang bisa memahami, bahkan
mungkin relate dengan semua yang terjadi dalam film. Jika Anda termasuk yang
demikian, TLP bakal menjadi karya yang begitu mengesankan.
Lihat data film ini di IMDb.