3.5/5
Action
Adventure
Crime
Father-and-Daughter
Heist
Hollywood
Indie
Pop-Corn Movie
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Bus 657 (Heist)
Langkah yang dilakukan oleh
Stephen Cyrus Sepher bisa jadi teladan bagi siapa saja yang ingin menjadi
sineas tapi tidak tahu harus bermula dari mana. Hanya dengan modal US$ 350.000
saja, Sepher nekad memproduksi film panjang pertamanya berjudul One More Round, sebuah drama komedi
tentang krisis paruh baya. Diikuti beberapa film pendek, puncaknya tahun 2011
Sepher memproduksi 4 Minutes bersama
Ray Liotta, yang berhasil dinominasikan untuk Best Director dan Best Short Film
di Noor International Film Festival. Setelah itu, Sepher berhasil menjual
naskah berjudul Bus 657 untuk
diproduksi oleh Emmett/Furla/Oasis Films dengan budget US$ 25 juta. Scott Mann,
sutradara Inggris yang sering menang penghargaan untuk film pendek, ditunjuk
untuk duduk di bangku sutradara, sementara Lionsgate Premiere bersedia menjadi
distributor untuk limited release di layar lebar dan VoD (video on demand).
Meski salah satu bintangnya adalah Robert DeNiro, keputusan rilis terbatas dan
VoD, sempat membuat saya menyangsikan kualitasnya. Apalagi dengan budget
‘hanya’ US$ 25 juta padahal bergenre action thriller dan berani pasang Robert
De Niro, apa yang bisa diharapkan? Namun setelah melihat hasil akhirnya,
rupanya saya terlalu meng-underestimate Bus
657 yang di US dirilis dengan judul Heist.
Pemilik sebuah casino besar yang
dikenal sebagai The Pope, dikenal sebagai orang yang sangat keji. Ia tak
segan-segan menghabisi siapa saja yang berani mencuri darinya, sekecil apapun
nilainya. Adalah Vaughn, salah satu karyawan setianya yang harus dihadapkan
pada pilihan sulit ketika sang putri dirawat di rumah sakit dan butuh biaya
yang cukup besar untuk operasi. Karena menaati prinsipnya, The Pope tak mau
sedikitpun membantu Vaughn, meski tau Vaughn cukup lama setia bekerja dengan
jujur di casino-nya. Sebuah tawaran kerja sama datang dari Cox, salah satu
petugas security yang baru bekerja di casino itu beberapa bulan. Melihat
keadaan dan pengetahuan Vaughn, Cox mengajaknya merampok casino The Pope,
bersama temannya, Dante dan Mickey. Rencana pun disusun. Nyatanya sukses
merampok, bukan berarti mereka bisa lolos begitu saja. Tak diduga mereka harus
menyandera sebuah bus bernomer 657 untuk meloloskan diri. Kali ini mereka tak
hanya berurusan dengan anak buah The Pope, tapi juga polisi. The Pope pun memilih
untuk mengejar secara diam-diam, mengingat uang yang dirampok Vaughn dan timnya
adalah hasil money laundry yang tentu membahayakan diri dan casino-nya jika
sampai diendus polisi.
Cliché? Sangat. Sudah
berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus kali anak yang sakit dijadikan motivasi
cerita perampokan. Formula penyanderaan bis pun bukan barang baru, mengingat
kita pernah menyaksikan formula action thriller serupa dengan sangat maksimal
lewat Speed-nya Jan de Bont dan bahkan Swordfish-nya Dominic Sena yang punya adegan penyanderaan bis
gila-gilaan di klimaksnya. Baik Mann maupun Sepher mungkin belum berhasil
sampai selevel itu, tapi Bus 657
ternyata tampil dengan cukup memikat sebagai sebuah action thriller. Setidaknya
berhasil menghadirkan ketegangan dan rasa was-was dari penonton. Kelebihan
lainnya, naskah Sepher yang dikerjakan bersama Max Adams berani menampilkan
kejutan-kejutan twist yang didukung oleh setup-setup relevan sebelumnya. Bahkan
memberikan latar belakang lebih untuk karakter The Pope yang mengkontraskan
dad-daughter issue dengan Vaughn, membuat cerita cliché-nya tak terkesan asal
ada dan punya kedalaman lebih. Namun bukan berarti naskahnya tanpa celah.
Beberapa keputusan polisi yang terkesan terlalu mudah ‘memuluskan’ semua
permintaan Vaughn dan kawan-kawan tanpa motivasi yang kuat, membuat beberapa
logika cerita terkesan agak dipaksakan. Memang sih alasan-alasannya masih bisa
dilogika, namun dibandingkandengan
resikonya, tetap saja terkesan tak sebanding. Well, agak mengganggu,
tapi atas nama mulusnya alur cerita, masih sah dilakukan. Apalagi dibayar
dengan adegan-adegan action thriller yang cukup menegangkan, twist yang cukup
mengasyikkan, dialog yang mengena dengan beberapa joke, dan isu utama yang digarap lebih dalam. Not bad at all. Pretty
good, actually.
Kepercayaan mengisi karakter utama
ternyata dimanfaatkan dengan cukup meyakinkan oleh Jeffrey Dean Morgan sebagai
Vaughn. Berkat porsi dan kekuatan aktingnya yang cukup dominan serta dibawakan
dengan baik pula, kharisma karakter Vaughn berhasil mengundang simpati
penonton. Dave Bautista yang baru saja kita lihat di Spectre masih memerankan karakter tipikal yang sudah melekat erat
pada dirinya. Robert De Niro seperti biasa tampil maksimal dengan kharisma
aktingnya yang luar biasa, meski karakternya tak terlalu unik dan tergolong
tipikal untuk dirinya. Gina Carano cukup bad-ass meski porsinya tak terlalu
banyak. Mark-Paul Gosselaar pun cukup mencuri perhatian sebagai karakter
abu-abu, Marconi.
Untuk teknis, entah faktor apa
yang membuat gambar-gambar Bus 657
tergolong buruk. Mulai grainy pada gambar-gambar gelap sampai cukup banyaknya gambar
yang blur dan pecah-pecah untuk aerial shot. Padahal konon di-shot menggunakan
Red Epic. Mungkin faktor mastering untuk bioskop Indonesia atau memang aslinya
seperti itu. Just awful. Sementara untuk tata suara lebih dari cukup untuk
menghidupkan nuansa action thriller-nya, kendati tak ada yang terlalu istimewa
pula. Not bad at all for a US$ 25 million movie.
Well, yeah. Penyutradaraan Mann
maupun naskah Sepher mungkin belum sekelas Speed-nya
Jan de Bont atau Swordfish-nya
Dominic Sena. Namun sebagai sebuah debut dengan budget minim untuk genre
tersebut, it’s way way beyond expectation. Menghibur dan heart warming.
Lihat data film ini di IMDb.