Meski lahir dari keluarga film
(ayah seorang sutradara, Sjumandjaja, dan ibu seorang aktris, Tuti Kirana),
Djenar Maesa Ayu lebih dikenal sebagai penulis yang sudah menelurkan beberapa
novel dan cerpen. Tulisan-tulisannya yang berani dan cenderung provokatif lebih
banyak mengangkat teman perempuan. Tahun 2008 ia memberanikan diri menjadi
sutradara Mereka Bilang Saya Monyet,
gabungan dari 2 cerpen tulisannya sendiri, Lintah
dan Melukis Jendela. Diikuti Saia yang juga tayang terbatas di tahun
2009. Tahun 2015, Djenar kembali menelurkan karya film yang ia tulis,
sutradara, dan produseri sendiri, Nay.
Meski punya kesamaan nama karakter dari salah satu novelnya, Nayla, tapi film ini sama sekali bukan
adaptasi dari novel tersebut. Uniknya, Nay
didominasi oleh karakter utamanya, Nay yang hanya berkomunikasi lewat telepon
seluler dan sesekali ber-monolog.
Sejak awal (dan juga sepanjang
film) kita diperkenalkan dengan Nay yang sedang menyetir tanpa jelas arah di
suatu malam di Jakarta. Awalnya ia meminta pertanggung jawaban pacarnya, Ben,
karena ia tengah hamil. Namun Ben ternyata lebih memilih peduli dengan sang ibu
daripada Nay. Mendengar kabar Nay, ibu Ben pun ikut menuduh Nay macam-macam.
Merasa dendam dengan Ben dan ibunya, Nay memutuskan untuk tetap melahirkan bayinya,
with or without Ben. Apalagi ia juga bersumpah untuk menjadi ibu yang lebih
baik daripada ibunya dulu. Satu per satu detail masa lalu pun terkuak hingga
menjelaskan pola pikir Nay saat ini.
Secara gaya penceritaan, Nay jelas sangat mengingatkan dengan film
Inggris yang dibintangi Tom Hardy tahun 2013, Locke. Apalagi juga sama-sama punya hubungan dengan kehamilan dan
dialog-dialog imajiner dengan orang tua. Namun persamaan hanya sejauh itu saja.
Nay hanya memanfaatkan gaya
penceritaan yang serupa untuk mengembangkan karakter Nay dan mengulik masa lalu
Nay, terutama lewat adegan-adegan monolog (baca: dialog imajiner antara Nay dan
ibunya). Lewat percakapan-percakapan sepanjang film, kita diajak untuk mengenal
Nay, terutama tentang pola pikir-pola pikirnya yang harus diakui banyak
diadaptasi oleh sebagian dari kita.
Masih mengusung tema kekerasan
terhadap wanita sebagai latar belakang cerita, seperti ke-khas-an Djenar
biasanya. Kali ini kita diajak untuk ikut memikirkan dan merasakan menjadi Nay,
salah satu korban kekerasan yang harus mengambil keputusan tentang dirinya ke
depan. Inilah yang menjadi kekuatan utama Nay:
ia menjadi sebuah kontemplasi yang universal tentang kehidupan. Tentang sejauh
mana kita bisa menyalahkan seseorang atas apa yang terjadi dalam diri kita,
konsekuensinya, bagaimaa kita memandang suatu masalah dengan berbagai sudut
pandang, tidak hanya melalui mata ego kita, dan yang paling penting, keputusan
bagaimana kita menyikapi segala sesuatu yang terjadi dalam hidup. Karena itulah
yang nantinya akan mempengaruhi kehidupan kita selanjutnya. Terkesan kasar,
blak-blakan, dan cerewet, namun mampu menjadi sebuah kontemplasi yang cukup
dalam dan menyeluruh tentang hidup. Tak hanya dalam konteks sempit ‘wanita’,
tapi juga secara universal. Ini jelas berbeda dengan isu yang diusung Locke, meski sama-sama punya benang
merah “seseorang yang berusaha bertanggung jawab untuk tidak menjadi sama
dengan sang orang tua”. Setidaknya jika
Locke memlih untuk menyampaikan isunya melalui perkembangan cerita, Nay lebih sebagai sebuah kontemplasi.
Termasuk juga lewat senandung Que Sera
Sera yang punya relevansi cukup kuat dengan cerita.
Tampil solo, Sha Ine Febriyanti
sangat berhasil menghidupkan karakter Nay. Tak hanya berhasil membuat sepanjang
durasi Nay yang berpotensi
membosankan menjadi jauh lebih menarik. Meledak-ledak namun masih natural dan
jauh dari kesan menjengkelkan. Meski sepanjang film Ine sering tampak kurang convincing sedang menyetir, yang lebih penting Ine sudah berhasil menyampaikan
sekaligus menggerakkan emosi penonton.
Selain Ine, aktor-aktor lainnya
hanya tampil lewat suara. Seperti Paul Agusta, Cinta Ramlan, Niniek L Karim,
Farishad Latjuba, dan Joko Anwar. Hanya Farishad yang menurut saya terdengar
seperti membaca dan jauh dari kesan natural, sementara yang lain memberikan
voice cast yang convincing dan bernyawa.
Keterbatasan setting membuat
teknis harus bekerja lebih keras untuk menjadikan keseluruhan film lebih
menarik dan tak terkesan monoton. Ipung Rachmat Syaiful (tahun ini juga
menghasilkan Guru Besar Tjokroaminoto
dan Surga yang Tak Dirindukan)
memberikan tata kamera yang cukup variatif dan merekam tiap emosi Ine dengan
maksimal. Ditambah editing yang serba pas dari Wawan I Wibowo dan tak lupa tata
musik dari Zeke Khaseli dan Yudhi Arfani yang membangun mood Nay yang kelam namun berkelas.
Dikerjakan secara indie (bahkan
sempat menggunakan metode crowd-funding), Nay
adalah karya sederhana yang mampu memberikan impact cukup besar bagi saya. Tak
se-solid Locke sebagai sebuah film
cerita, namun berhasil membuat saya merefleksikan berbagai isu kehidupan yang
ia angkat. Sampai sejauh ini, jelas Nay
menjadi karya yang berhasil di mata saya, sekaligus menjadi salah satu film
Indonesia yang paling berkesan tahun ini.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.